Monday 26 September 2011

hukum internasional

Hukum internasional Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas berskala internasional. Pada awalnya, Hukum Internasional hanya diartikan sebagai perilaku dan hubungan antarnegara namun dalam perkembangan pola hubungan internasional yang semakin kompleks pengertian ini kemudian meluas sehingga hukum internasional juga mengurusi struktur dan perilaku organisasi internasional dan pada batas tertentu, perusahaan multinasional dan individu. Hukum internasional adalah hukum bangsa-bangsa, hukum antarbangsa atau hukum antarnegara. Hukum bangsa-bangsa dipergunakan untuk menunjukkan pada kebiasaan dan aturan hukum yang berlaku dalam hubungan antara raja-raja zaman dahulu. Hukum antarbangsa atau hukum antarnegara menunjukkan pada kompleks kaedah dan asas yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa atau negara. Hukum Internasional merupakan keseluruhan kaedah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara: (i) negara dengan negara (ii) negara dengan subyek hukum lain bukan negara atau subyek hukum bukan negara satu sama lain. == Perbedaan dan persamaan == Hukum Internasional publik berbeda dengan Hukum Perdata Internasional. Hukum Perdata Internasional ialah keseluruhan kaedah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara atau hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata (nasional) yang berlainan. Sedangkan Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata. Persamaannya adalah bahwa keduanya mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara(internasional). Perbedaannya adalah sifat hukum atau persoalan yang diaturnya (obyeknya). Bentuk Hukum internasional Hukum Internasional terdapat beberapa bentuk perwujudan atau pola perkembangan yang khusus berlaku di suatu bagian dunia (region) tertentu : Hukum Internasional Regional Hukum Internasional yang berlaku/terbatas daerah lingkungan berlakunya, seperti Hukum Internasional Amerika / Amerika Latin, seperti konsep landasan kontinen (Continental Shelf) dan konsep perlindungan kekayaan hayati laut (conservation of the living resources of the sea) yang mula-mula tumbuh di Benua Amerika sehingga menjadi hukum Internasional Umum. Hukum Internasional Khusus Hukum Internasional dalam bentuk kaedah yang khusus berlaku bagi negara-negara tertentu seperti Konvensi Eropa mengenai HAM sebagai cerminan keadaan, kebutuhan, taraf perkembangan dan tingkat integritas yang berbeda-beda dari bagian masyarakat yang berlainan. Berbeda dengan regional yang tumbuh melalui proses hukum kebiasaan. [sunting] Hukum Internasional dan Hukum Dunia Hukum Internasional didasarkan atas pikiran adanya masyarakat internasional yang terdiri atas sejumlah negara yang berdaulat dan merdeka dalam arti masing-masing berdiri sendiri yang satu tidak dibawah kekuasaan lain sehingga merupakan suatu tertib hukum koordinasi antara anggota masyarakat internasional yang sederajat. Hukum Dunia berpangkal pada dasar pikiran lain. Dipengaruhi analogi dengan Hukum Tata Negara (constitusional law), hukum dunia merupakan semacam negara (federasi) dunia yang meliputi semua negara di dunia ini. Negara dunia secara hirarki berdiri di atas negara-negara nasional. Tertib hukum dunia menurut konsep ini merupakan suatu tertib hukum subordinasi. [sunting] Masyarakat dan Hukum Internasional Adanya masyarakat-masyarakat Internasional sebagai landasan sosiologis hukum internasional. Adanya suatu masyarakat Internasional. Adanya masyarakat internasional ditunjukkan adanya hubungan yang terdapat antara anggota masyarakat internasional, karena adanya kebutuhan yang disebabkan antara lain oleh pembagian kekayaan dan perkembangan industri yang tidak merata di dunia seperti adanya perniagaan atau pula hubungan di lapangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, keagamaan, sosial dan olah raga mengakibatkan timbulnya kepentingan untuk memelihara dan mengatur hubungan bersama merupakan suatu kepentingan bersama. Untuk menertibkan, mengatur dan memelihara hubungan Internasional inilah dibutuhkan hukum dunia menjamin unsur kepastian yang diperlukan dalam setiap hubungan yang teratur. Masyarakat Internasional pada hakekatnya adalah hubungan kehidupan antar manusia dan merupakan suatu kompleks kehidupan bersama yang terdiri dari aneka ragam masyarakat yang menjalin dengan erat. Asas hukum yang bersamaan sebagai unsur masyarakat hukum internasional. Suatu kumpulan bangsa untuk dapat benar-benar dikatakan suatu masyarakat Hukum Internasional harus ada unsur pengikat yaitu adanya asas kesamaan hukum antara bangsa-bangsa di dunia ini. Betapapun berlainan wujudnya hukum positif yang berlaku di tiap-tiap negara tanpa adanya suatu masyarakat hukum bangsa-bangsa merupakan hukum alam (naturerech) yang mengharuskan bangsa-bangsa di dunia hidup berdampingan secara damai dapat dikembalikan pada akal manusia (ratio) dan naluri untuk mempertahankan jenisnya. Kedaulatan Negara : Hakekat dan Fungsinya Dalam Masyarakat Internasional. Negara dikatakan berdaulat (sovereian) karena kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri hakiki negara. Negara berdaulat berarti negara itu mempunyai kekuasaan tertentu. Negara itu tidak mengakui suatu kekuasaan yang lebih tinggi daripada kekuasaannya sendiri dan mengandung 2 (dua) pembatasan penting dalam dirinya: Kekuasaan itu berakhir dimana kekuasaan suatu negara lain mulai. Kekuasaan itu terbatas pada batas wilayah negara yang memiliki kekuasaan itu. Konsep kedaulatan, kemerdekaan dan kesamaan derajat tidak bertentangan satu dengan lain bahkan merupakan perwujudan dan pelaksanaan pengertian kedaulatan dalam arti wajar dan sebagai syarat mutlak bagi terciptanya suatu masyarakat Internasional yang teratur. Masyarakat Internasional dalam peralihan: perubahan-perubahan dalam peta bumi politik, kemajuan teknologi dan struktur masyarakat internasional. Masyarakat Internasional mengalami berbagai perubahan yang besar dan pokok ialah perbaikan peta bumi politik yang terjadi terutama setelah Perang Dunia II. Proses ini sudah dimulai pada permulaan abad XX mengubah pola kekuasaan politik di dunia. Timbulnya negara-negara baru yang merdeka, berdaulat dan sama derajatnya satu dengan yang lain terutama sesudah Perang Dunia Perubahan Kedua ialah kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi berbagai alat perhubungan menambah mudahnya perhubungan yang melintasi batas negara. Perkembangan golongan ialah timbulnya berbagai organisasi atau lembaga internasional yang mempunyai eksistensi terlepas dari negara-negara dan adanya perkembangan yang memberikan kompetensi hukum kepada para individu. Kedua gejala ini menunjukkan bahwa disamping mulai terlaksananya suatu masyarakat internasional dalam arti yang benar dan efektif berdasarkan asas kedaulatan, kemerdekaan dan persamaan derajat antar negara sehingga dengan demikian terjelma Hukum Internasional sebagai hukum koordinasi, timbul suatu komplek kaedah yang lebih memperlihatkan ciri-ciri hukum subordinasi. [sunting] Sejarah dan Perkembangannya Hukum Internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang mengatur hubungan antara negara-negara, lahir dengan kelahiran masyarakat Internasional yang didasarkan atas negara-negara nasional. Sebagai titik saat lahirnya negara-negara nasional yang modern biasanya diambil saat ditandatanganinya Perjanjian Perdamaian Westphalia yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun di Eropa. Zaman dahulu kala sudah terdapat ketentuan yang mengatur, hubungan antara raja-raja atau bangsa-bangsa: Dalam lingkungan kebudayaan India Kuno telah terdapat kaedah dan lembaga hukum yang mengatur hubungan antar kasta, suku-suku bangsa dan raja-raja yang diatur oleh adat kebiasaan. Menurut Bannerjce, adat kebiasaan yang mengatur hubungan antara raja-raja dinamakan Desa Dharma. Pujangga yang terkenal pada saat itu Kautilya atau Chanakya.Penulis buku Artha Sastra Gautamasutra salah satu karya abad VI SM di bidang hukum. [sunting] Kebudayaan Yahudi Dalam hukum kuno mereka antara lain Kitab Perjanjian Lama, mengenal ketentuan mengenai perjanjian, diperlakukan terhadap orang asing dan cara melakukan perang.Dalam hukum perang masih dibedakan (dalam hukum perang Yahudi ini) perlakuan terhadap mereka yang dianggap musuh bebuyutan, sehingga diperbolehkan diadakan penyimpangan ketentuan perang. Lingkungan kebudayaan Yunani.Hidup dalam negara-negara kita.Menurut hukum negara kota penduduk digolongkan dalam 2 golongan yaitu orang Yunani dan orang luar yang dianggap sebagai orang biadab (barbar). Masyarakat Yunani sudah mengenal ketentuan mengenai perwasitan (arbitration) dan diplomasi yang tinggi tingkat perkembangannya. Sumbangan yang berharga untuk Hukum Internasional waktu itu ialah konsep hukum alam yaitu hukum yang berlaku secara mutlak dimanapun juga dan yang berasal dari rasion atau akal manusia. Hukum Internasional sebagai hukum yang mengatur hubungan antara kerajaan-kerajaan tidak mengalami perkembangan yang pesat pada zaman Romawi. Karena masyarakat dunia merupakan satu imperium yaitu imperium roma yang menguasai seluruh wilayah dalam lingkungan kebudayaan Romawi. Sehingga tidak ada tempat bagi kerajaan-kerajaan yang terpisah dan dengan sendirinya tidak ada pula tempat bagi hukum bangsa-bangsa yang mengatur hubungan antara kerajaan-kerajaan. Hukum Romawi telah menyumbangkan banyak sekali asas atau konsep yang kemudian diterima dalam hukum Internasional ialah konsep seperti occupatio servitut dan bona fides. Juga asas “pacta sunt servanda” merupakan warisan kebudayaan Romawi yang berharga. [sunting] Abad pertengahan Selama abad pertengahan dunia Barat dikuasai oleh satu sistem feodal yang berpuncak pada kaisar sedangkan kehidupan gereja berpuncak pada Paus sebagai Kepala Gereja Katolik Roma. Masyarakat Eropa waktu itu merupakan satu masyarakat Kristen yang terdiri dari beberapa negara yang berdaulat dan Tahta Suci, kemudian sebagai pewaris kebudayaan Romawi dan Yunani. Di samping masyarakat Eropa Barat, pada waktu itu terdapat 2 masyarakat besar lain yang termasuk lingkungan kebudayaan yang berlaianan yaitu Kekaisaran Byzantium dan Dunia Islam. Kekaisaran Byzantium sedang menurun mempraktikan diplomasi untuk mempertahankan supremasinya. Oleh karenanya praktik Diplomasi sebagai sumbangan yang terpenting dalam perkembangan Hukum Internasional dan Dunia Islam terletak di bidang Hukum Perang. [sunting] Perjanjian Westphalia Perjanjian Damai Westphalia terdiri dari dua perjanjian yang ditandatangani di dua kota di wilayah Westphalia, yaitu di Osnabrück (15 Mei 1648) dan di Münster (24 Oktober 1648). Kedua perjanjian ini mengakhiri Perang 30 Tahun (1618-1648) yang berlangsung di Kekaisaran Suci Romawi dan Perang 80 Tahun (1568-1648) antara Spanyol dan Belanda. Perdamaian Westphalia dianggap sebagai peristiwa penting dalam sejarah Hukum Internasional modern, bahkan dianggap sebagai suatu peristiwa Hukum Internasional modern yang didasarkan atas negara-negara nasional. Sebabnya adalah : Selain mengakhiri perang 30 tahun, Perjanjian Westphalia telah meneguhkan perubahan dalam peta bumi politik yang telah terjadi karena perang itu di Eropa . Perjanjian perdamaian mengakhiri untuk selama-lamanya usaha Kaisar Romawi yang suci. Hubungan antara negara-negara dilepaskan dari persoalan hubungan kegerejaan dan didasarkan atas kepentingan nasional negara itu masing-masing. Kemerdekaan negara Belanda, Swiss dan negara-negara kecil di Jerman diakui dalam Perjanjian Westphalia. Perjanjian Westphalia meletakkan dasar bagi susunan masyarakat Internasional yang baru, baik mengenai bentuknya yaitu didasarkan atas negara-negara nasional (tidak lagi didasarkan atas kerajaan-kerajaan) maupun mengenai hakekat negara itu dan pemerintahannya yakni pemisahan kekuasaan negara dan pemerintahan dari pengaruh gereja. Dasar-dasar yang diletakkan dalam Perjanjian Westphalia diperteguh dalam Perjanjian Utrech yang penting artinya dilihat dari sudut politik Internasional, karena menerima asas keseimbangan kekuatan sebagai asas politik internasional. [sunting] Ciri-ciri masyarakat Internasional Negara merupakan satuan teritorial yang berdaulat. Hubungan nasional yang satu dengan yang lainnya didasarkan atas kemerdekaan dan persamaan derajat. Masyarakat negara-negara tidak mengakui kekuasaan di atas mereka seperti seorang kaisar pada zaman abad pertengahan dan Paus sebagai Kepala Gereja. Hubungan antara negara-negara berdasarkan atas hukum yang banyak mengambil alih pengertian lembaga Hukum Perdata, Hukum Romawi. Negara mengakui adanya Hukum Internasional sebagai hukum yang mengatur hubungan antar negara tetapi menekankan peranan yang besar yang dimainkan negara dalam kepatuhan terhadap hukum ini. Tidak adanya Mahkamah (Internasional) dan kekuatan polisi internasional untuk memaksakan ditaatinya ketentuan hukum Internasional. Anggapan terhadap perang yang dengan lunturnya segi-segi keagamaan beralih dari anggapan mengenai doktrin bellum justum (ajaran perang suci) kearah ajaran yang menganggap perang sebagai salah satu cara penggunaan kekerasan. [sunting] Tokoh Hukum Internasional Hugo Grotius mendasarkan sistem hukum Internasional atas berlakunya hukum alam. Hukum alam telah dilepaskan dari pengaruh keagamaan dan kegerejaan. Banyak didasarkan atas praktik negara dan perjanjian negara sebagai sumber Hukum Internasional disamping hukum alam yang diilhami oleh akal manusia, sehingga disebut Bapak Hukum Internasional. Fransisco Vittoria (biarawan Dominikan – berkebangsaan Spanyol Abad XIV menulis buku Relectio de Indis mengenai hubungan Spanyol dan Portugis dengan orang Indian di AS. Bahwa negara dalam tingkah lakunya tidak bisa bertindak sekehendak hatinya. Maka hukum bangsa-bangsa ia namakan ius intergentes. Fransisco Suarez (Yesuit) menulis De legibius ae Deo legislatore (on laws and God as legislator) mengemukakan adanya suatu hukum atau kaedah obyektif yang harus dituruti oleh negara-negara dalam hubungan antara mereka. Balthazer Ayala (1548-1584) dan Alberico Gentilis mendasarkan ajaran mereka atas falsafah keagamaan atau tidak ada pemisahan antara hukum, etika dan teologi.

Saturday 24 September 2011

materi ujian upa(ujian profesi advokat)

Alternatif penyelesaian
sengketa Perselisihan dan sengketa diantara dua pihak yang melakukan hubungan kerjasama mungkin saja terjadi. Terjadinya perselisihan dan sengketa ini sering kali disebabkan apabila salah satu pihak tidak menjalankan kesepakatan yang telah dibuat dengan baik ataupun karena ada pihak yang wanprestasi, sehingga merugikan pihak lainnya. Penyelesaian sengketa bisa melalui dua cara yaitu pengadilan dan arbitrase. Konflik bisa terjadi antara pengadilan dan arbitrase dalam penentuan kewenangan mutlak untuk menyelesaikan perkara. Kewenangan mutlak arbitrase tercipta melalui klausul arbitrase yang terdapat pada suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak sebelum terjadi sengketa atau berdasarkan kesepakatan para pihak setelah timbul perselisihan. Bab XV, Pasal 32 Undang-undang Penanaman Modal No.25 Tahun 2007 mengatur mengenai penyelesaian sengketa. Dalam ketentuan tersebut diuraikan bagaimana cara penyelesaian sengketa yang digunakan apabila terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara pemerintah dengan penanam modal. Cara penyelesaian sengketa tersebut antara lain: a) musyawarah dan mufakat; b) arbitrase; c) pengadilan; d) ADR; e) khusus untuk sengketa antara pemerintah dengan penanam modal dalam negeri, sengketa diselesaikan melalui arbitrase atau melalui pengadilan; f) khusus untuk sengketa antara pemerintah dengan penanam modal asing, sengketa diselesaikan melalui arbitrase internasional yang telah disepakati. Cara penyelesaian melalui arbitrase dapat dilakukan melalui arbitrase nasional, Badan Arbitrase Nasional (BANI) , arbitrase ad hoc maupun arbitrase asing. Arbitrase asing yang biasa dipilih dalam penyelesaian sengketa penanaman modal antara lain seperti: ICSID (International Center for Settlement of Investment Disputes) dan ICC (International Chamber of Commerce). Berkaitan dengan arbitrase asing tersebut, Indonesia telah meratifikasi New York Conventionon Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award of 1958. ADR atau Alternative Dispute Resolution diartikan atau Penyelesaian Sengketa Alternatif, menurut UU No.30 Tahun 1999, adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Permasalahan yang timbul ialah mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing. Ciri putusan arbitrase asing adalah didasarkan atas faktor wilayah teritorial. Dengan demikian, suatu putusan tetap dikatakan sebagai putusan arbitrase asing apabila putusan dijatuhkan di luar negeri dan tidak digantungkan pada syarat perbedaan kewarganegaraan maupun perbedaan tata hukum. Terlepas dari kedua aturan tersebut, saat ini untuk pengakuan dan pelaksanaan atas putusan arbitrase asing diatur lebih lanjut dalam ketentuan UU No 30 tahun 1999 Pasal 65 s.d. 69. mengenai arbitrase asing diatur dalam Bab VI bagian kedua tentang Arbitrase Internasional dan yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan arbitrase asing adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA
PEMBUKAAN Bahwa semestinya organisasi profesi memiliki Kode Etik yang membebankan kewajiban dan sekaligus memberikan perlindungan hukum kepada setiap anggotanya dalam menjalankan profesinya. Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile) yang dalam menjalankan profesinya berada dibawah perlindungan hukum, undang-undang dan Kode Etik, memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian Advokat yang berpegang teguh kepada Kemandirian, Kejujuran, Kerahasiaan dan Keterbukaan. Bahwa profesi Advokat adalah selaku penegak hukum yang sejajar dengan instansi penegak hukum lainnya, oleh karena itu satu sama lainnya harus saling menghargai antara teman sejawat dan juga antara para penegak hukum lainnya. Oleh karena itu juga, setiap Advokat harus menjaga citra dan martabat kehormatan profesi, serta setia dan menjunjung tinggi Kode Etik dan Sumpah Profesi, yang pelaksanaannya diawasi oleh Dewan Kehormatan sebagai suatu lembaga yang eksistensinya telah dan harus diakui setiap Advokat tanpa melihat dari organisasi profesi yang mana ia berasal dan menjadi anggota, yang pada saat mengucapkan Sumpah Profesi-nya tersirat pengakuan dan kepatuhannya terhadap Kode Etik Advokat yang berlaku. Dengan demikian Kode Etik Advokat Indonesia adalah sebagai hukum tertinggi dalam menjalankan profesi, yang menjamin dan melindungi namun membebankan kewajiban kepada setiap Advokat untuk jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada klien, pengadilan, negara atau masyarakat dan terutama kepada dirinya sendiri. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Yang dimaksud dengan: a. Advokat adalah orang yang berpraktek memberi jasa hukum, baik didalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang yang berlaku, baik sebagai Advokat, Pengacara, Penasehat Hukum, Pengacara praktek ataupun sebagai konsultan hukum. b. Klien adalah orang, badan hukum atau lembaga lain yang menerima jasa dan atau bantuan hukum dari Advokat. c. Teman sejawat adalah orang atau mereka yang menjalankan praktek hukum sebagai Advokat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. d. Teman sejawat asing adalah Advokat yang bukan berkewarganegaraan Indonesia yang menjalankan praktek hukum di Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. e. Dewan kehormatan adalah lembaga atau badan yang dibentuk oleh organisasi profesi advokat yang berfungsi dan berkewenangan mengawasi pelaksanaan kode etik Advokat sebagaimana semestinya oleh Advokat dan berhak menerima dan memeriksa pengaduan terhadap seorang Advokat yang dianggap melanggar Kode Etik Advokat. f. Honorarium adalah pembayaran kepada Advokat sebagai imbalan jasa Advokat berdasarkan kesepakatan dan atau perjanjian dengan kliennya. BAB II KEPRIBADIAN ADVOKAT Pasal 2 Advokat Indonesia adalah warga negara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia, dan yang dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi hukum, Undang-undang Dasar Republik Indonesia, Kode Etik Advokat serta sumpah jabatannya. Pasal 3 a. Advokat dapat menolak untuk memberi nasihat dan bantuan hukum kepada setiap orang yang memerlukan jasa dan atau bantuan hukum dengan pertimbangan oleh karena tidak sesuai dengan keahliannya dan bertentangan dengan hati nuraninya, tetapi tidak dapat menolak dengan alasan karena perbedaan agama, kepercayaan, suku, keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik dan kedudukan sosialnya. b. Advokat dalam melakukan tugasnya tidak bertujuan semata-mata untuk memperoleh imbalan materi tetapi lebih mengutamakan tegaknya Hukum, Kebenaran dan Keadilan. c. Advokat dalam menjalankan profesinya adalah bebas dan mandiri serta tidak dipengaruhi oleh siapapun dan wajib memperjuangkan hak-hak azasi manusia dalam Negara Hukum Indonesia. d. Advokat wajib memelihara rasa solidaritas diantara teman sejawat. e. Advokat wajib memberikan bantuan dan pembelaan hukum kepada teman sejawat yang diduga atau didakwa dalam suatu perkara pidana atas permintaannya atau karena penunjukan organisasi profesi. f. Advokat tidak dibenarkan untuk melakukan pekerjaan lain yang dapat merugikan kebebasan, derajat dan martabat Advokat. g. Advokat harus senantiasa menjunjung tinggi profesi Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile). h. Advokat dalam menjalankan profesinya harus bersikap sopan terhadap semua pihak namun wajib mempertahankan hak dan martabat advokat. i. Seorang Advokat yang kemudian diangkat untuk menduduki suatu jabatan Negara (Eksekutif, Legislatif dan judikatif) tidak dibenarkan untuk berpraktek sebagai Advokat dan tidak diperkenankan namanya dicantumkan atau dipergunakan oleh siapapun atau oleh kantor manapun dalam suatu perkara yang sedang diproses/berjalan selama ia menduduki jabatan tersebut. BAB III HUBUNGAN DENGAN KLIEN Pasal 4 a. Advokat dalam perkara-perkara perdata harus mengutamakan penyelesaian dengan jalan damai. b. Advokat tidak dibenarkan memberikan keterangan yang dapat menyesatkan klien mengenai perkara yang sedang diurusnya. c. Advokat tidak dibenarkan menjamin kepada kliennya bahwa perkara yang ditanganinya akan menang. d. Dalam menentukan besarnya honorarium Advokat wajib mempertimbangkan kemampuan klien. e. Advokat tidak dibenarkan membebani klien dengan biaya-biaya yang tidak perlu. f. Advokat dalam mengurus perkara cuma-cuma harus memberikan perhatian yang sama seperti terhadap perkara untuk mana ia menerima uang jasa. g. Advokat harus menolak mengurus perkara yang menurut keyakinannya tidak ada dasar hukumnya. h. Advokat wajib memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan oleh klien secara kepercayaan dan wajib tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antara Advokat dan klien itu. i. Advokat tidak dibenarkan melepaskan tugas yang dibebankan kepadanya pada saat yang tidak menguntungkan posisi klien atau pada saat tugas itu akan dapat menimbulkan kerugian yang tidak dapat diperbaiki lagi bagi klien yang bersangkutan, dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf a. j. Advokat yang mengurus kepentingan bersama dari dua pihak atau lebih harus mengundurkan diri sepenuhnya dari pengurusan kepentingan-kepentingan tersebut, apabila dikemudian hari timbul pertentangan kepentingan antara pihak-pihak yang bersangkutan. k. Hak retensi Advokat terhadap klien diakui sepanjang tidak akan menimbulkan kerugian kepentingan klien. BAB IV HUBUNGAN DENGAN TEMAN SEJAWAT Pasal 5 a. Hubungan antara teman sejawat Advokat harus dilandasi sikap saling menghormati, saling menghargai dan saling mempercayai. b. Advokat jika membicarakan teman sejawat atau jika berhadapan satu sama lain dalam sidang pengadilan, hendaknya tidak menggunakan kata-kata yang tidak sopan baik secara lisan maupun tertulis. c. Keberatan-keberatan terhadap tindakan teman sejawat yang dianggap bertentangan dengan Kode Etik Advokat harus diajukan kepada Dewan Kehormatan untuk diperiksa dan tidak dibenarkan untuk disiarkan melalui media massa atau cara lain. d. Advokat tidak diperkenankan menarik atau merebut seorang klien dari teman sejawat. e. Apabila klien hendak mengganti Advokat, maka Advokat yang baru hanya dapat menerima perkara itu setelah menerima bukti pencabutan pemberian kuasa kepada Advokat semula dan berkewajiban mengingatkan klien untuk memenuhi kewajibannya apabila masih ada terhadap Advokat semula. f. Apabila suatu perkara kemudian diserahkan oleh klien terhadap Advokat yang baru, maka Advokat semula wajib memberikan kepadanya semua surat dan keterangan yang penting untuk mengurus perkara itu, dengan memperhatikan hak retensi Advokat terhadap klien tersebut. BAB V TENTANG SEJAWAT ASING Pasal 6 Advokat asing yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku menjalankan profesinya di Indonesia tunduk kepada serta wajib mentaati Kode Etik ini. BAB VI CARA BERTINDAK MENANGANI PERKARA Pasal 7 a. Surat-surat yang dikirim oleh Advokat kepada teman sejawatnya dalam suatu perkara dapat ditunjukkan kepada hakim apabila dianggap perlu kecuali surat-surat yang bersangkutan dibuat dengan membubuhi catatan "Sans Prejudice ". b. Isi pembicaraan atau korespondensi dalam rangka upaya perdamaian antar Advokat akan tetapi tidak berhasil, tidak dibenarkan untuk digunakan sebagai bukti dimuka pengadilan. c. Dalam perkara perdata yang sedang berjalan, Advokat hanya dapat menghubungi hakim apabila bersama-sama dengan Advokat pihak lawan, dan apabila ia menyampaikan surat, termasuk surat yang bersifat "ad informandum" maka hendaknya seketika itu tembusan dari surat tersebut wajib diserahkan atau dikirimkan pula kepada Advokat pihak lawan. d. Dalam perkara pidana yang sedang berjalan, Advokat hanya dapat menghubungi hakim apabila bersama-sama dengan jaksa penuntut umum. e. Advokat tidak dibenarkan mengajari dan atau mempengaruhi saksi-saksi yang diajukan oleh pihak lawan dalam perkara perdata atau oleh jaksa penuntut umum dalam perkara pidana. f. Apabila Advokat mengetahui, bahwa seseorang telah menunjuk Advokat mengenai suatu perkara tertentu, maka hubungan dengan orang itu mengenai perkara tertentu tersebut hanya boleh dilakukan melalui Advokat tersebut. g. Advokat bebas mengeluarkan pernyataan-pernyataan atau pendapat yang dikemukakan dalam sidang pengadilan dalam rangka pembelaan dalam suatu perkara yang menjadi tanggung jawabnya baik dalam sidang terbuka maupun dalam sidang tertutup yang dikemukakan secara proporsional dan tidak berkelebihan dan untuk itu memiliki imunitas hukum baik perdata maupun pidana. h. Advokat mempunyai kewajiban untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-Cuma (pro deo) bagi orang yang tidak mampu. i. Advokat wajib menyampaikan pemberitahuan tentang putusan pengadilan mengenai perkara yang ia tangani kepada kliennya pada waktunya. BAB VII KETENTUAN-KETENTUAN LAIN TENTANG KODE ETIK Pasal 8 a. Profesi Advokat adalah profesi yang mulia dan terhormat (officium nobile), dan karenanya dalam menjalankan profesi selaku penegak hukum di pengadilan sejajar dengan Jaksa dan Hakim, yang dalam melaksanakan profesinya berada dibawah perlindungan hukum, undang-undang dan Kode Etik ini. b. Pemasangan iklan semata-mata untuk menarik perhatian orang adalah dilarang termasuk pemasangan papan nama dengan ukuran dan! atau bentuk yang berlebih-lebihan. c. Kantor Advokat atau cabangnya tidak dibenarkan diadakan di suatu tempat yang dapat merugikan kedudukan dan martabat Advokat. d. Advokat tidak dibenarkan mengizinkan orang yang bukan Advokat mencantumkan namanya sebagai Advokat di papan nama kantor Advokat atau mengizinkan orang yang bukan Advokat tersebut untuk memperkenalkan dirinya sebagai Advokat. e. Advokat tidak dibenarkan mengizinkan karyawan-karyawannya yang tidak berkualifikasi untuk mengurus perkara atau memberi nasehat hukum kepada klien dengan lisan atau dengan tulisan. f. Advokat tidak dibenarkan melalui media massa mencari publitas bagi dirinya dan atau untuk menarik perhatian masyarakat mengenai tindakan-tindakannya sebagai Advokat mengenai perkara yang sedang atau telah ditanganinya, kecuali apabila keterangan-keterangan yang ia berikan itu bertujuan untuk menegakkan prinsip-prinsip hukum yang wajib diperjuangkan oleh setiap Advokat. g. Advokat dapat mengundurkan diri dari perkara yang akan dan atau diurusnya apabila timbul perbedaan dan tidak dicapai kesepakatan tentang cara penanganan perkara dengan kliennya. h. Advokat yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Hakim atau Panitera dari suatu lembaga peradilan, tidak dibenarkan untuk memegang atau menangani perkara yang diperiksa pengadilan tempatnya terakhir bekerja selama 3 (tiga) tahun semenjak ia berhenti dari pengadilan tersebut. BAB VIII PELAKSANAAN KODE ETIK Pasal 9 a. Setiap Advokat wajib tunduk dan mematuhi Kode Etik Advokat ini. b. Pengawasan atas pelaksanaan Kode Etik Advokat ini dilakukan oleh Dewan Kehormatan. BAB IX DEWAN KEHORMATAN Bagian Pertama KETENTUAN UMUM Pasal 10 1. Dewan Kehormatan berwenang memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh Advokat. 2. Pemeriksaan suatu pengaduan dapat dilakukan melalui dua tingkat, yaitu: a. Tingkat Dewan Kehormatan Cabang/Daerah. b. Tingkat Dewan Kehormatan Pusat. 3. Dewan Kehormatan Cabang/daerah memeriksa pengaduan pada tingkat pertama dan Dewan Kehormatan Pusat pada tingkat terakhir. 4. Segala biaya yang dikeluarkan dibebankan kepada: a. Dewan Pimpinan Cabang/Daerah dimana teradu sebagai anggota pada tingkat Dewan Kehormatan Cabang/Daerah; b. Dewan Pimpinan Pusat pada tingkat Dewan Kehormatan Pusat organisasi dimana teradu sebagai anggota; c. Pengadu/Teradu. Bagian Kedua PENGADUAN Pasal 11 1. Pengaduan dapat diajukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan merasa dirugikan, yaitu: a. Klien. b. Teman sejawat Advokat. c. Pejabat Pemerintah. d. Anggota Masyarakat. e. Dewan Pimpinan Pusat/Cabang/Daerah dari organisasi profesi dimana Teradu menjadi anggota. 2. Selain untuk kepentingan organisasi, Dewan Pimpinan Pusat atau Dewan Pimpinan Cabang/Daerah dapat juga bertindak sebagai pengadu dalam hal yang menyangkut kepentingan hukum dan kepentingan umum dan yang dipersamakan untuk itu. 3. Pengaduan yang dapat diajukan hanyalah yang mengenai pelanggaran terhadap Kode Etik Advokat. Bagian Ketiga TATA CARA PENGADUAN Pasal 12 1. Pengaduan terhadap Advokat sebagai teradu yang dianggap melanggar Kode Etik Advokat harus disampaikan secara tertulis disertai dengan alasan-alasannya kepada Dewan Kehormatan Cabang/Daerah atau kepada dewan Pimpinan Cabang/Daerah atau Dewan Pimpinan Pusat dimana teradu menjadi anggota. 2. Bilamana di suatu tempat tidak ada Cabang/Daerah Organisasi, pengaduan disampaikan kepada Dewan Kehormatan Cabang/Daerah terdekat atau Dewan Pimpinan Pusat. 3. Bilamana pengaduan disampaikan kepada Dewan Pimpinan Cabang/Daerah, maka Dewan Pimpinan Cabang/Daerah meneruskannya kepada Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang berwenang untuk memeriksa pengaduan itu. 4. Bilamana pengaduan disampaikan kepada Dewan Pimpinan Pusat/Dewan Kehormatan Pusat, maka Dewan Pimpinan Pusat/Dewan Kehormatan Pusat meneruskannya kepada Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang berwenang untuk memeriksa pengaduan itu baik langsung atau melalui Dewan Dewan Pimpinan Cabang/Daerah. Bagian Keempat PEMERIKSAAN TINGKAT PERTAMA OLEH DEWAN KEHORMATAN CABANG/DAERAH Pasal 13 1. Dewan Kehormatan Cabang/Daerah setelah menerima pengaduan tertulis yang disertai surat-surat bukti yang dianggap perlu, menyampaikan surat pemberitahuan selambatlambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari dengan surat kilat khusus/tercatat kepada teradu tentang adanya pengaduan dengan menyampaikan salinan/copy surat pengaduan tersebut. 2. Selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari pihak teradu harus memberikan jawabannya secara tertulis kepada Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang bersangkutan, disertai surat-surat bukti yang dianggap perlu. 3. Jika dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari tersebut teradu tidak memberikan jawaban tertulis, Dewan Kehormatan Cabang/Daerah menyampaikan pemberitahuan kedua dengan peringatan bahwa apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal surat peringatan tersebut ia tetap tidak memberikan jawaban tertulis, maka ia dianggap telah melepaskan hak jawabnya. 4. Dalam hal teradu tidak menyampaikan jawaban sebagaimana diatur di atas dan dianggap telah melepaskan hak jawabnya, Dewan Kehormatan Cabang/Daerah dapat segera menjatuhkan putusan tanpa kehadiran pihak-pihak yang bersangkutan. 5. Dalam hal jawaban yang diadukan telah diterima, maka Dewan Kehormatan dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari menetapkan hari sidang dan menyampaikan panggilan secara patut kepada pengadu dan kepada teradu untuk hadir dipersidangan yang sudah ditetapkan tersebut. 6. Panggilan-panggilan tersebut harus sudah diterima oleh yang bersangkutan paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari sidang yang ditentukan. 7. Pengadu dan yang teradu: a. Harus hadir secara pribadi dan tidak dapat menguasakan kepada orang lain, yang jika dikehendaki masing-masing dapat didampingi oleh penasehat. b. Berhak untuk mengajukan saksi-saksi dan bukti-bukti. 8. Pada sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak: a. Dewan Kehormatan akan menjelaskan tata cara pemeriksaan yang berlaku; b. Perdamaian hanya dimungkinkan bagi pengaduan yang bersifat perdata atau hanya untuk kepentingan pengadu dan teradu dan tidak mempunyai kaitan langsung dengan kepentingan organisasi atau umum, dimana pengadu akan mencabut kembali pengaduannya atau dibuatkan akta perdamaian yang dijadikan dasar keputusan oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang langsung mempunyai kekuatan hukum yang pasti. c. Kedua belah pihak diminta mengemukakan alasan-alasan pengaduannya atau pembelaannya secara bergiliran, sedangkan surat-surat bukti akan diperiksa dan saksi-saksi akan didengar oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah. 9. Apabila pada sidang yang pertama kalinya salah satu pihak tidak hadir: a. Sidang ditunda sampai dengan sidang berikutnya paling lambat 14 (empat belas) hari dengan memanggil pihak yang tidak hadir secara patut. b. Apabila pengadu yang telah dipanggil sampai 2 (dua) kali tidak hadir tanpa alasan yang sah, pengaduan dinyatakan gugur dan ia tidak dapat mengajukan pengaduan lagi atas dasar yang sama kecuali Dewan Kehormatan Cabang/Daerah berpendapat bahwa materi pengaduan berkaitan dengan kepentingan umum atau kepentingan organisasi. c. Apabila teradu telah dipanggil sampai 2 (dua) kali tidak datang tanpa alasan yang sah, pemeriksaan diteruskan tanpa hadirnya teradu. d. Dewan berwenang untuk memberikan keputusan di luar hadirnya yang teradu, yang mempunyai kekuatan yang sama seperti keputusan biasa. Bagian Kelima SIDANG DEWAN KEHORMATAN CABANG/DAERAH Pasal 14 1. Dewan Kehormatan Cabang/Daerah bersidang dengan Majelis yang terdiri sekurang-kurangnya atas 3 (tiga) orang anggota yang salah satu merangkap sebagai Ketua Majelis, tetapi harus selalu berjumlah ganjil. 2. Majelis dapat terdiri dari Dewan Kehormatan atau ditambah dengan Anggota Majelis Kehormatan Ad Hoc yaitu orang yang menjalankan profesi dibidang hukum serta mempunyai pengetahuan dan menjiwai Kode Etik Advokat. 3. Majelis dipilih dalam rapat Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang khusus dilakukan untuk itu yang dipimpin oleh Ketua Dewan Kehormatan Cabang/Daerah atau jika ia berhalangan oleh anggota Dewan lainnya yang tertua, 4. Setiap dilakukan persidangan, Majelis Dewan Kehormatan diwajibkan membuat atau menyuruh membuat berita acara persidangan yang disahkan dan ditandatangani oleh Ketua Majelis yang menyidangkan perkara itu. 5. Sidang-sidang dilakukan secara tertutup, sedangkan keputusan diucapkan dalam sidang terbuka. Bagian Keenam CARA PENGAMBILAN KEPUTUSAN Pasal 15 (1) Setelah memeriksa dan mempertimbangkan pengaduan, pembelaan, surat-surat bukti dan keterangan saksi-saksi maka Majelis Dewan Kehormatan mengambil Keputusan yang dapat berupa: a. Menyatakan pengaduan dari pengadu tidak dapat diterima; b. Menerima pengaduan dari pengadu dan mengadili serta menjatuhkan sanksi-sanksi kepada teradu; c. Menolak pengaduan dari pengadu. (2) Keputusan harus memuat pertimbangan-pertimbangan yang menjadi dasarnya dan menunjuk pada pasal-pasal Kode Etik yang dilanggar. (3) Majelis Dewan Kehormatan mengambil keputusan dengan suara terbanyak dan mengucapkannya dalam sidang terbuka dengan atau tanpa dihadiri oleh pihak-pihak yang bersangkutan, setelah sebelumnya memberitahukan hari, tanggal dan waktu persidangan tersebut kepada pihak-pihak yang bersangkutan. (4) Anggota Majelis yang kalah dalam pengambilan suara berhak membuat catatan keberatan yang dilampirkan didalam berkas perkara. (5) Keputusan ditandatangani oleh Ketua dan semua Anggota Majelis, yang apabila berhalangan untuk menandatangani keputusan, hal mana disebut dalam keputusan yang bersangkutan. Bagian Ketujuh SANKSI-SANKSI Pasal 16 1. Hukuman yang diberikan dalam keputusan dapat berupa: a. Peringatan biasa. b. Peringatan keras. c. Pemberhentian sementara untuk waktu tertentu. d. Pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi. 2. Dengan pertimbangan atas berat atau ringannya sifat pelanggaran Kode Etik Advokat dapat dikenakan sanksi: a. Peringatan biasa bilamana sifat pelanggarannya tidak berat. b. Peringatan keras bilamana sifat pelanggarannya berat atau karena mengulangi kembali melanggar kode etik dan atau tidak mengindahkan sanksi peringatan yang pernah diberikan. c. Pemberhentian sementara untuk waktu tertentu bilamana sifat pelanggarannya berat, tidak mengindahkan dan tidak menghormati ketentuan kode etik atau bilamana setelah mendapat sanksi berupa peringatan keras masih mengulangi melakukan pelanggaran kode etik. d. Pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi bilamana dilakukan pelanggaran kode etik dengan maksud dan tujuan merusak citra serta martabat kehormatan profesi Advokat yang wajib dijunjung tinggi sebagai profesi yang mulia dan terhormat. 3. Pemberian sanksi pemberhentian sementara untuk waktu tertentu harus diikuti larangan untuk menjalankan profesi advokat diluar maupun dimuka pengadilan. 4. Terhadap mereka yang dijatuhi sanksi pemberhentian sementara untuk waktu tertentu dan atau pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi disampaikan kepada Mahkamah Agung untuk diketahui dan dicatat dalam daftar Advokat. Bagian Kedelapan PENYAMPAIAN SALINAN KEPUTUSAN Pasal 17 Dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah keputusan diucapkan, salinan keputusan Dewan kehormatan Cabang/Daerah harus disampaikan kepada: a. Anggota yang diadukan/teradu; b. Pengadu; c. Dewan Pimpinan Cabang/Daerah dari semua organisasi profesi; d. Dewan Pimpinan Pusat dari masing-masing organisasi profesi; e. Dewan Kehormatan Pusat; f. Instansi-instansi yang dianggap perlu apabila keputusan telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti. Bagian Kesembilan PEMERIKSAAN TINGKAT BANDING DEWAN KEHORMATAN PUSAT Pasal 18 1. Apabila pengadu atau teradu tidak puas dengan keputusan Dewan Kehormatan Cabang/Daerah, ia berhak mengajukan permohonan banding atas keputusan tersebut kepada Dewan Kehormatan Pusat. 2. Pengajuan permohonan banding beserta Memori Banding yang sifatnya wajib, harus disampaikan melalui Dewan Kehormatan Cabang/Daerah dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak tanggal yang bersangkutan menerima salinan keputusan. 3. Dewan Kehormatan Cabang/Daerah setelah menerima Memori Banding yang bersangkutan selaku pembanding selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak penerimaannya, mengirimkan salinannya melalui surat kilat khusus/tercatat kepada pihak lainnya selaku terbanding. 4. Pihak terbanding dapat mengajukan Kontra Memori Banding selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak penerimaan Memori Banding. 5. Jika jangka waktu yang ditentukan terbanding tidak menyampaikan Kontra Memori Banding ia dianggap telah melepaskan haknya untuk itu. 6. Selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak berkas perkara dilengkapi dengan bahan-bahan yang diperlukan, berkas perkara tersebut diteruskan oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah kepada dewan Kehormatan Pusat. 7. Pengajuan permohonan banding menyebabkan ditundanya pelaksanaan keputusan Dewan Kehormatan Cabang/Daerah. 8. Dewan kehormatan Pusat memutus dengan susunan Majelis yang terdiri sekurangkurangnya 3 (tiga) orang anggota atau lebih tetapi harus berjumlah ganjil yang salah satu merangkap Ketua Majelis. 9. Majelis dapat terdiri dari Dewan Kehormatan atau ditambah dengan Anggota Majelis Kehormatan Ad Hoc yaitu orang yang menjalankan profesi dibidang hukum serta mempunyai pengetahuan dan menjiwai Kode Etik Advokat. 10. Majelis dipilih dalam rapat Dewan Kehormatan Pusat yang khusus diadakan untuk itu yang dipimpin oleh Ketua Dewan Kehormatan Pusat atau jika ia berhalangan oleh anggota Dewan lainnya yang tertua. 11. Dewan Kehormatan Pusat memutus berdasar bahan-bahan yang ada dalam berkas perkara, tetapi jika dianggap perlu dapat meminta bahan tambahan dari pihak-pihak yang bersangkutan atau memanggil mereka langsung atas biaya sendiri. 12. Dewan Kehormatan Pusat secara prorogasi dapat menerima permohonan pemeriksaan langsung dari suatu perkara yang diteruskan oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah asal saja permohonan seperti itu dilampiri surat persetujuan dari kedua belah pihak agar perkaranya diperiksa langsung oleh Dewan Kehormatan Pusat. 13. Semua ketentuan yang berlaku untuk pemeriksaan pada tingkat pertama oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah, mutatis mutandis berlaku untuk pemeriksaan pada tingkat banding oleh Dewan Kehormatan Pusat. Bagian Kesepuluh KEPUTUSAN DEWAN KEHORMATAN Pasal 19 1. Dewan Kehormatan Pusat dapat menguatkan, merubah atau membatalkan keputusan Dewan Kehormatan Cabang/Daerah dengan memutus sendiri. 2. Keputusan Dewan kehormatan Pusat mempunyai kekuatan tetap sejak diucapkan dalam sidang terbuka dengan atau tanpa dihadiri para pihak dimana hari, tanggal dan waktunya telah diberitahukan sebelumnya kepada pihak-pihak yang bersangkutan. 3. Keputusan Dewan Kehormatan Pusat adalah final dan mengikat yang tidak dapat diganggu gugat dalam forum manapun, termasuk dalam MUNAS. 4. Dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah keputusan diucapkan, salinan keputusan Dewan Kehormatan Pusat harus disampaikan kepada: a. Anggota yang diadukan/teradu baik sebagai pembanding ataupun terbanding; b. Pengadu baik selaku pembanding ataupun terbanding; c. Dewan Pimpinan Cabang/Daerah yang bersangkutan; d. Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang bersangkutan; e. Dewan Pimpinan Pusat dari masing-masing organisasi profesi; f. Instansi-instansi yang dianggap perlu. 5. Apabila seseorang telah dipecat, maka Dewan Kehormatan Pusat atau Dewan Kehormatan Cabang/Daerah meminta kepada Dewan Pimpinan Pusat/Organisasi profesi untuk memecat orang yang bersangkutan dari keanggotaan organisasi profesi. Bagian Kesebelas KETENTUAN LAIN TENTANG DEWAN KEHORMATAN Pasal 20 Dewan Kehormatan berwenang menyempurnakan hal-hal yang telah diatur tentang Dewan Kehormatan dalam Kode Etik ini dan atau menentukan hal-hal yang belum diatur didalamnya dengan kewajiban melaporkannya kepada Dewan Pimpinan Pusat/Organisasi profesi agar diumumkan dan diketahui oleh setiap anggota dari masing-masing organisasi. BAB X KODE ETIK & DEWAN KEHORMATAN Pasal 21 Kode Etik ini adalah peraturan tentang Kode Etik dan Ketentuan Tentang Dewan Kehormatan bagi mereka yang menjalankan profesi Advokat, sebagai satu-satunya Peraturan Kode Etik yang diberlakukan dan berlaku di Indonesia. BAB XI ATURAN PERALIHAN Pasal 22 1. Kode Etik ini dibuat dan diprakarsai oleh Komite Kerja Advokat Indonesia, yang disahkan dan ditetapkan oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat & Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI) dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) yang dinyatakan berlaku bagi setiap orang yang menjalankan profesi Advokat di Indonesia tanpa terkecuali. 2. Setiap Advokat wajib menjadi anggota dari salah satu organisasi profesi tersebut dalam ayat 1 pasal ini. 3. Komite Kerja Advokat Indonesia mewakili organisasi-organisasi profesi tersebut dalam ayat 1 pasal ini sesuai dengan Pernyataan Bersama tertanggal 11 Februari 2002 dalam hubungan kepentingan profesi Advokat dengan lembaga-lembaga Negara dan pemerintah. 4. Organisasi-organisasi profesi tersebut dalam ayat 1 pasal ini akan membentuk Dewan kehormatan sebagai Dewan Kehormatan Bersama, yang struktur akan disesuaikan dengan Kode Etik Advokat ini. Pasal 23 Perkara-perkara pelanggaran kode etik yang belum diperiksa dan belum diputus atau belum berkekuatan hukum yang tetap atau dalam pemeriksaan tingkat banding akan diperiksa dan diputus berdasarkan Kode Etik Advokat ini. BAB XXII PENUTUP Pasal 24 Kode Etik Advokat ini berlaku sejak tanggal berlakunya Undang-undang tentang Advokat Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 23 Mei 2002 PERUBAHAN I KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA Ketujuh organisasi profesi advokat yang tergabung dalam Komite Kerjasama Advokat Indonesia (KKAI, yaitu Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), dan Himpunan Advokat & Pengacara Indonesia (HAPI), dengan ini merubah seluruh ketentuan Bab XXII, pasal 24 kode etik Advokat Indonesia yang ditetapkan pada tanggal 23 Mei 2002 sehingga seluruhnya menjadi : BAB XXII PENUTUP Kode etik Advokat ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, yaitu sejak tanggal 23 Mei 2002. Ditanda-tangani di: Jakarta Pada tanggal: 1 Oktober 2002 Oleh: KOMITE KERJA ADVOKAT INDONESIA
Alternatif penyelesaian sengketa (APS)
Alternatif penyelesaian sengketa (APS) adalah seperangkat pengalaman dan teknik hukum yang bertujuan untuk
1. Menyelesaikan sengketa hukum di luar pengadilan untuk keuntungan para pihak yang bersengketa 2. Mengurangi biaya litigasi konvensional dan pengunduran waktu yang biasa terjadi 3. Mencegah terjadinya sengketa hukum yang biasanya diajukan ke pengadilan Alternatif penyelesaian sengketa dilandasi prinsip “pemecahan masalah dengan bekerjasama yang disertai dengan itikat baik kedua belah pihak” dikarenakan dua alasan
1. Jenis perselisihan membutuhkan cara pendekatan yang berlainan dan para pihak yang bersengketa merancang prosedur / tata cara khusus untuk penyelesaian berdasarkan musyawarah
2. APS melibatkan partisipasi yang lebih intensif dan langsung dari kedua belah pihak dalam usaha penyelesaian sengketa APS mempunyai beragam bentuk yaitu 1. Negosiasi adalah suatu proses berkomunikasi satu sama lain yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan kita ketika pihak lain menguasai yang kita inginkan 2. Mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa dimana para pihak yang bersengketa memanfaatkan bantuan pihak ketiga yang independent untuk bertindak sebagai mediator (penengah) dengan menggunakan berbagai prosedur, teknik, dan keterampilan untuk membantu para pihak dalam menyelesaikan sengketa mereka melalui perundingan. Mediator tidak mempunyai kewenangan untuk membuat keputusan yang mengikat, tetapi para pihaklah yang didorong untuk membuat keputusan. Oleh karena itu bentuk penyelesaiannya adalah akta perdamaian antara para pihak yang berselisih 3. Konsiliasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa dimana para pihak yang bersengketa memanfaatkan bantuan pihak ketiga yang independent untuk bertindak sebagai konsiliator (penengah) dengan menggunakan berbagai prosedur, teknik, dan keterampilan untuk membantu para pihak dalam menyelesaikan sengketa mereka melalui perundingan. Konsiliator mempunyai kewenangan untuk membuat keputusan yang bersifat anjuran. Oleh karena itu bentuk penyelesaiannya adalah putusan yang bersifat anjuran 4. Inquiry (Angket) adalah Suatu proses penyelesaian sengketa dengan mengumpulkan fakta-fakta yang merupakan penyebab sengkta, keadaan waktu sengketa, dan jenis sengketa yang terjadi untuk mencapai versi tunggal atas sengketa yang terjadi. Angket ini dilakukan oleh komisi angket yang independent yang anggotanya diangkat oleh para pihak yang bersengketa. Keputusan bersifat rekomendasi yang tidak mengikat para pihak 5. Arbitrase adalah suatu proses penyelesaian perselisihan yang merupakan bentuk tindakan hukum yang diakui oleh UU dimana salah satu pihak atau lebih menyerahkan sengketanya dengan satu pihak lain atau lebih kepada satu orang arbitrer atau lebih dalam bentuk majelis arbitrer ahli yang professional yang akan bertindak sebagai hakim/peradilan swasta yang akan menerapkan tata cara hukum negara yang berlaku atau menerapkan tata cara hukum perdamaian yang telah disepakati bersama oleh para pihak terdahulu untuk sampai pada putusan yang terakhir dan mengikat
HUBUNGAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DAN TINDAKAN HUKUM PEJABAT TATA USAHA NEGARA
Dewasa ini dalam era Reformasi, paralel dengan perkembangan dunia yang semakin transparan serta informasi yang sangat cepat, masyarakat atau rakyat sudah tidak dapat dibohongi lagi oleh pihak penguasa bahkan semakin tidak takut, mereka semakin kritis dan jeli memandang setiap persoalan-persoalan dan gejolak yang timbul. Dalam negara Republik Indonesia sebagai suatu negara yang didasarkan atas hukum, pelaksanaan hukum sepenuhnya diserahkan kepada Pemerintah sebagai Penguasa (Eksekutif),. Pemerintah yang melaksanakan segala sesuatu mengenai kehidupan rakyatnya. Pemerintah dan yang diperintah sebenarnya merupakan dua subyek yang saling membutuhkan dan seharusnya saling melengkapi, saling membantu dan saling menghargai. Sebagai pelaksana keputusan-keputusan Legislatif dibidang hukum, maka pemerintah membentuk suatu instansi yang khusus dapat mengamati kehidupan serta pelaksanaannya didalam masyarakat. Wakil-wakil pemerintah (Aparatur Hukum) dibidang pelaksana penegakan hukum antara lain adalah Lembaga Mahkamah Agung atau Pengadilan. Bahwa eksistensi dari Indonesia sebagai negara hukum antara lain tercermin dari asas bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan atas hukum baik tertulis maupun tidak tertulis. Hal ini membawa konsekwensi disatu sisi hukum digunakan sebagai rel pijakan bagi pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, disisi lain hukum yang sama digunakan sebagai dasar pengujian terhadap tindakan pemerintah. Administrasi Negara Cq. Pemerintah yang disebut sebagai Badan/Pejabat TUN menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 adalah yang diberi tugas oleh peraturan perundang-undangan untuk mengurus berbagai segi kehidupan masyarakat. Badan/Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang untuk melakukan perbuatan Tata Usaha Negara yang dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) macam perbuatan : a) Mengeluarkan Keputusan (beschikking) ; b) Mengeluarkan Peraturan (regeling) c) Melakukan perbuatan materiil (Materiele daad) Karena perbuatan-perbuatan Administrasi Negara/Tata Usaha Negara tersebut lalu lahirlah hubungan hukum antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan TUN yang bersangkutan dengan warga masyarakat atau badan hukum perdata yang terkena oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Dari ke-3 (tiga) macam perbuatan tersebut, yang menjadi wewenang Peradilan Tata Usaha Negara adalah terbatas pada perbuatan mengeluarkan Keputusan tersebut dalam butir a, artinya keputusan yang dikeluarkan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dapat dinilai oleh Peradilan Tata Usaha Negara. Sedangkan mengenai perbuatan-perbuatan Administrasi Negara pada butir b dan c tidak termasuk kompetensi Peradilan TUN tetapi menjadi kompetensi Mahkamah Konstitusi maupun Peradilan Umum. Dengan demikian semua perbuatan Administrasi Negara dapat dinilai oleh Pengadilan, walaupun yang menilai itu mungkin tidak termasuk lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Bahwa yang dapat menjadi objek sengketa di Peradilan TUN adalah Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) . Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata”. Dari bunyi ketentuan pasal tersebut diatas, dapat kita lihat bahwa yang dimaksud Keputusan TUN yang dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara menunjukkan adanya ciri-ciri khusus yang meliputi beberapa elemen. Bahwa segenap elemen-elemen tersebut adalah bersifat kumulatif untuk dapat menjadi objek sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara ; Walaupun suatu keputusan sudah memenuhi pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tersebut, ada beberapa kategori Keputusan TUN yang tidak dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara yaitu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 peraturan perundangan tersebut. Batal atau Tidak Sahnya Keputusan Tata Usaha Negara. Bahwa dalam tindakan Hukum Administrasi dianut asas “Presumtio Justae Causa” yang maksudnya bahwa suatu Keputusan TUN harus selalu dianggap benar dan dapat dilaksanakan, sepanjang Hakim belum membuktikan sebaliknya. Badan Peradilan yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Tata Usaha Negara adalah Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Bahwa secara umum syarat-syarat untuk sahnya suatu keputusan Tata Usaha Negara adalah sebagai berikut : SYARAT MATERIIL : a) Keputusan harus dibuat oleh alat negara (organ) yang berwenang ; b) Karena keputusan itu suatu pernyataan kehendak (wilsverklaring) maka pembentukan kehendak itu tidak boleh memuat kekurangan yuridis ; c) Keputusan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan dasarnya dan pembuatnya harus memperhatikan cara (prosedur) membuat keputusan itu, bilamana hal ini ditetapkan dengan tegas dalam peraturan dasar tersebut. d) Isi dan tujuan keputusan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar ; SYARAT FORMIL : a) Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya keputusan dan berhubung dengan cara dibuatnya keputusan harus dipenuhi ; b) Keputusan harus diberi bentuk yang ditentukan ; c) Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan dilakukannya keputusan harus dipenuhi ; d) Jangka waktu yang ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya keputusan dan diumumkannya keputusan itu tidak boleh dilewati ; Bahwa bagi Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara, masalah yang sangat erat hubungannya dengan fungsi peradilan adalah masalah hak menguji (toetsing recht). Berdasarkan ketentuan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menganut pendirian yang mewajibkan penyelesaian sengketa Administrasi tertentu melalui Upaya Administratif sebelum gugatan diajukan. Setelah upaya administratif ditempuh, maka gugatan dapat diajukan ke Pengadilan. Maksudnya adalah agar diberi kesempatan untuk menyelesaikan administrasi terlebih dahulu melalui saluran yang tersedia berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Badan Peradilan Tata Usaha Negara hanya menilai apakah suatu tindakan Badan/Pejabat TUN dalam menjalankan urusan pemerintah itu sudah sesuai dengan norma-norma hukum (baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis) yang berlaku bagi tindakan tersebut. Dengan perkataan lain penilaian yang dilakukan oleh Peradilan Tata Usaha Negara terbatas hanya dari segi hukumnya (peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik). Dasar pengujian sebagaimana diatur dalam pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, yaitu : a) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku ; b) Badan atau Pejabat TUN pada waktu mengeluarkan keputusan telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut ; c) Badan atau Pejabat TUN pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut. Di dalam praktek Peradilan Tata Usaha Negara pengujian Hakim Tata Usaha Negara terhadap Surat Keputusan Tata Usaha Negara sesuai ketentuan Pasal 53 diatas, adalah meliputi 3 (tiga) aspek yaitu : 1. Aspek kewenangan : yaitu meliputi hal berwenang, tidak berwenang atau melanggar kewenangan, Dasar kewenangan Badan/Pejabat TUN adalah secara ATRIBUSI (berasal dari perundang-undangan yang melekat pada suatu jabatan), DELEGASI (adanya pemindahan/pengalihan suatu kewenangan yang ada) dan MANDAT (dalam hal ini tidak ada pengakuan kewenangan atau pengalihan kewenangan). 2. Aspek Substansi/Materi : yaitu meliputi pelaksanaan atau penggunaan kewenangannya apakah secara materi/substansi telah sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Aspek Prosedural : yaitu apakah prosedur pengambilan Keputusan Tata Usaha Negara yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan dalam pelaksanaan kewenangan tersebut telah ditempuh atau tidak. Pengujian tersebut tidak saja berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku tetapi juga dengan memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB), yaitu : 1. Asas yang berkaitan dengan proses persiapan dan proses pembentukan keputusan - Persiapan yang cermat ; - Asas fair play ; - Larangan detournement de procedure (menyalahi prosedur); 2. Asas yang berkaitan dengan pertimbangan serta susunan keputusan : - Keharusan memberikan pertimbangan terhadap semua kepentingan pada suatu keputusan ; - Pertimbangan tersebut harus memadai ; 3. Asas yang berkaitan dengan isi keputusan : 1. Asas kepastian hukum dan asas kepercayaan ; 2. Asas persamaan perlakuan ; 3. Larangan detournement de pouvoir ; 4. Asas kecermatan materiil ; 5. Asas keseimbangan ; 6. Larangan willekeur (sewenang-wenang) I. PENDAHULUAN Dalam sisitem ketatanegaraan Republik Indonesia terdapat tiga pilar kekeuasaan negara, yaitu Kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif (Kehakiman). Berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman, dalam Psl 24 UUD 1945 (Perubahan) Jo. UU No. 4 Thn 2004, ditegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) sebagai lingkungan peradilan yang terakhir dibentuk, yang ditandai dengan disahkannya Undang-undang No. 5 tahun 1986 pada tanggal 29 Desember 1986, dalam konsideran “Menimbang” undang-undang tersebut disebutkan bahwa salah satu tujuan dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) adalah untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram serta tertib yang menjamin kedudukan warga masyarakat dalam hukum dan menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta selaras antara aparatur di bidang tata usaha negara dengan para warga masyarakat. Dengan demikian lahirnya PERATUN juga menjadi bukti bahwa Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kepastian hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). Sebagai negara yang demokratis, Indonesia memiliki sistem ketatanegaraan dengan memiliki lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dari ketiga lembaga tersebut eksekutif memiliki porsi peran dan wewenang yang paling besar apabila dibandingkan dengan lembaga lainnya, oleh karenanya perlu ada kontrol terhadap pemerintah untuk adanya check and balances. Salah satu bentuk konrol yudisial atas tindakan administrasi pemerintah adalah melalui lembaga peradilan. Dalam konteks inilah maka Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) dibentuk dengan UU No. 5 tahun 1986, yang kemudian dengan adanya tuntutan reformasi di bidang hukum, telah disahkan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986. Perubahan yang sangat mendasar dari UU No. 5 Tahun 1986 adalah dengan dihilangkannya wewenang pemerintah ic. Departemen Kehakiman sebagai pembina organisasi, administrasi, dan keuangan serta dihilangkannya wewenang untuk melakukan pembinaan dan pengawasan umum bagi hakim PERATUN, yang kemudian semuanya beralih ke Mahkamah Agung. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan indepedensi lembaga PERATUN. Di samping itu adanya pemberlakuan sanksi berupa dwangsom dan sanksi administratif serta publikasi (terhadap Badan atau Pejabat TUN (Tergugat) yang tidak mau melaksanakan putusan PERATUN, menjadikan PERATUN yang selama ini dinilai oleh sebagian masyarakat sebagai “macan ompong”, kini telah mulai menunjukan “gigi” nya. Sejak mulai efektif dioperasionalkannya PERATUN pada tanggal 14 Januari 1991 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1991, yang sebelumnya ditandai dengan diresmikannya tiga Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) di Jakarta, Medan, dan Ujung Pandang, serta lima Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di jakarta, Medan, Palembang, Surabaya dan Ujung Pandang. Kemudian berkembang, dengan telah didirikannya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di seluruh Ibu Kota Propinsi sebagai pengadilan tingkat pertama. Hingga saat ini eksistensi dan peran PERATUN sebagai suatu lembaga peradilan yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang memeriksa, memutus dan mengadili sengketa tata usaha negara antara anggota masyarakat dengan pihak pemerintah (eksekutif), dirasakan oleh berbagai kalangan belum dapat memberikan kontribusi dan sumbangsi yang memadai di dalam memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat serta di dalam menciptakan prilaku aparatur yang bersih dan taat hukum, serta sadar akan tugas dan fungsinya sebagai pelayan dan pengayom masyarakat. Sesuai dengan tujuan penyampaian materi ini, sebagai pembekalan kepada para aparat/pejabat publik, yang diharapkan dapat memiliki pengetahuan tentang ruang lingkup PERATUN, subjek dan objek, serta proses beracara di persidangan. Oleh karenanya dalam makalah ini penulis titik beratkan pada masalah Hukum Acara (Hukum Formil) di Peratun, namun demikian penulis juga menyajikan sekilas tentang Hukum Materil sebagai pengantar pembahasan Hukum Formil di Peratun. Hal ini bertujuan agar dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai aparatur pemerintah, dapat diantisipasi/dihindarkan permasalahan-permasalahan yang dapat menimbulkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (Tujuan Prefentif). Di samping itu jika terjadi juga gugatan tersebut, para pejabat terkait sudah dapat memahami tindakan-tindakan yang harus dilakukan berkaitan dengan adanya gugatan tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara, atau dengan kata lain sudah dapat mengetahui bagaimana proses persidangan/mekanisme beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara (Tujuan Refresif). Penyajian makalah ini sengaja penulis sampaikan selengkap mungkin dengan tujuan memanfaatkan forum ini sebagai sarana sosialisasi Peratun, khususnya bagi para aparat pemerintah , karena memang harus diakui masih banyak kalangan masyarakat yang merasa asing dengan lembaga Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun). II. RUANG LINGKUP, TUGAS DAN WEWENANG PERATUN Peradilan Tata Usaha Negara adalah peradilan dalam lingkup hukum publik, yang mempunyai tugas dan wewenang : “memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara, yaitu suatu sengketa yang timbul dalam bidang hukum TUN antara orang atau badan hukum perdata (anggota masyarakat) dengan Badan atau Pejabat TUN (pemerintah) baik dipusat maupun didaerah sebagai akibat dikeluarkannya suatu Keputusan TUN (beschikking), termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku “ (vide Pasal 50 Jo. Pasal 1 angka 4 UU No. 5 tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004). Berdasarkan uraian tersebut, secara sederhana dapat dipahami bahwa yang menjadi subjek di Peratun adalah Seseorang atau Badan Hukum Perdata sebagai Penggugat, dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai Tergugat. Sementara itu yang menjadi objek di Peratun adalah Surat Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking). Subjek dan Objek gugatan di Peratun ini lebih lanjut akan dijelaskan dalam pembahasan mengenai unsur-unsur dari suatu Surat Keputusan TUN berikut ini. Pengertian dari Surat Keputusan TUN disebutkan dalam Pasal 1 angka 3, yaitu : “Keputusan Tata Usaha Negara adalah Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.” Selanjutnya dari pengertian ataupun definisi Keputusan TUN tersebut di atas, dapat diambil unsur-unsur dari suatu Keputusan TUN, yang terdiri dari 1. Bentuk Penetapan tersebut harus Tertulis Penetapan Tertulis itu harus dalam bentuk tertulis, dengan demikian suatu tindakan hukum yang pada dasarnya juga merupakan Keputusan TUN yang dikeluarkan secara lisan tidak masuk dalam pengertian Keputusan TUN ini. Namun demikian bentuk tertulis tidak selalu disyaratkan dalam bentuk formal suatu Surat Keputusan Badan/Pejabat TUN, karena seperti yang disebutkan dalam penjelasan pasal 1 angka 3 UU No. 5 tahun 1986, bahwa syarat harus dalam bentuk tertulis itu bukan mengenai syarat-syarat bentuk formalnya akan tetapi asal terlihat bentuknya tertulis, oleh karena sebuah memo atau nota pun dapat dikategorikan suatu Penetapan Tertulis yang dapat digugat (menjadi objek gugatan) apabila sudah jelas : - Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkannya. - Maksud serta mengenai hal apa isi putusan itu. - Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan didalamnya jelas bersifat konkrit, individual dan final. - Serta menimbulkan suatu akibat hukum bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata. 2. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN. Sebagai suatu Keputusan TUN, Penetapan tertulis itu juga merupakan salah satu instrumen yuridis pemerintahan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN dalam rangka pelaksanaan suatu bidang urusan pemerintahan. Selanjutnya mengenai apa dan siapa yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat TUN sebagai subjek Tergugat, disebutkan dalam pasal 1 angka 2 : “Badan atau Pejabat Tata Usaha negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Badan atau Pejabat TUN di sini ukurannya ditentukan oleh fungsi yang dilaksanakan Badan atau Pejabat TUN pada saat tindakan hukum TUN itu dilakukan. Sehingga apabila yang diperbuat itu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan suatu pelaksanaan dari urusan pemerintahan, maka apa saja dan siapa saja yang melaksanakan fungsi demikian itu, saat itu juga dapat dianggap sebagai suatu Badan atau Pejabat TUN. Sedang yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah segala macam urusan mengenai masyarakat bangsa dan negara yang bukan merupakan tugas legislatif ataupun yudikatif. Dengan demikian apa dan siapa saja tersebut tidak terbatas pada instansi-instansi resmi yang berada dalam lingkungan pemerintah saja, akan tetapi dimungkinkan juga instansi yang berada dalam lingkungan kekuasaan legislatif maupun yudikatif pun, bahkan dimungkinkan pihak swasta, dapat dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat TUN dalam konteks sebagai subjek di Peratun. 3. Berisi Tindakan Hukum TUN. Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa suatu Penetapan Tertulis adalah salah satu bentuk dari keputusan Badan atau Pejabat TUN, dan keputusan yang demikian selalu merupakan suatu tindakan hukum TUN, dan suatu tindakan hukum TUN itu adalah suatu keputusan yang menciptakan, atau menentukan mengikatnya atau menghapuskannya suatu hubungan hukum TUN yang telah ada. Dengan kata lain untuk dapat dianggap suatu Penetapan Tertulis, maka tindakan Badan atau Pejabat TUN itu harus merupakan suatu tindakan hukum, artinya dimaksudkan untuk menimbulkan suatu akibat hukum TUN. 1. Berdasarkan Peraturan Per UU an yang Berlaku. Kata “berdasarkan” dalam rumusan tersebut dimaksudkan bahwa setiap pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN harus ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena hanya peraturan perundang-undangan yang berlaku sajalah yang memberikan dasar keabsahan (dasar legalitas) urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat TUN (pemerintah). Dari kata “berdasarkan” itu juga dimaksudkan bahwa wewenang Badan atau Pejabat TUN untuk melaksanakan suatu bidang urusan pemerintahan itu hanya berasal atau bersumber ataupun diberikan oleh suatu ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku. 1. Bersifat Konkret, Individual dan Final. Keputusan TUN itu harus bersifat konkret, artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan TUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan, seperti Pemberhentian si X sebagai Pegawai, IMB yang diberikan kepada si Y dan sebagainya. Bersifat Individual artinya Keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu dan jelas kepada siapa Keputusan TUN itu diberikan, baik alamat maupun hal yang dituju. Jadi sifat individual itu secara langsung mengenai hal atau keadaan tertentu yang nyata dan ada. Bersifat Final artinya akibat hukum yang ditimbulkan serta dimaksudkan dengan mengeluarkan Penetapan Tertulis itu harus sudah menimbulkan akibat hukum yang definitif. Dengan mengeluarkan suatu akibat hukum yang definitif tersebut ditentukan posisi hukum dari satu subjek atau objek hukum, hanya pada saat itulah dikatakan bahwa suatu akibat hukum itu telah ditimbulkan oleh Keputusan TUN yang bersangkutan secara final. 1. Menimbulkan Akibat Hukum Bagi Seseorang / Badan Hukum Perdata. Menimbulkan Akibat Hukum disini artinya menimbulkan suatu perubahan dalam suasana hukum yang telah ada. Karena Penetapan Tertulis itu merupakan suatu tindakan hukum, maka sebagai tindakan hukum ia selalu dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Apabila tidak dapat menimbulkan akibat hukum ia bukan suatu tindakan hukum dan karenanya juga bukan suatu Penetapan Tertulis. Sebagai suatu tindakan hukum, Penetapan Tertulis harus mampu menimbulkan suatu perubahan dalam hubungan-hubungan hukum yang telah ada, seperti melahirkan hubungan hukum baru, menghapuskan hubungan hukum yang telah ada, menetapkan suatu status dan sebagainya. Di samping pengertian tentang Keputusan TUN dalam pasal 1 angka 3 tersebut diatas, dalam UU Peratun diatur juga ketentuan tentang pengertian yang lain dari Keputusan TUN, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 3, sebagai berikut : (1) Apabila badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara. (2) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedang jangka waktu sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud. (3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2); maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.” Ketentuan dalam Pasal 3 ini merupakan perluasan dari pengertian Keputusan TUN sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 3 diatas, yang disebut dengan Keputusan TUN yang Fiktif atau Negatif. Uraian dari ayat (1) Pasal 3 tersebut merupakan prinsip dasar bahwa setiap Badan atau Pejabat TUN itu wajib melayani setiap permohonan warga masyarakat yang diterimanya, yang menurut aturan dasarnya menjadi tugas dan kewajibannya dari Badan atau Pejabat TUN tersebut. Oleh karenanya apabila badan atau Pejabat TUN melalaikan kewajibannya, maka walaupun ia tidak mengeluarkan keputusan terhadap suatu permohonan yang diterimanya itu, ia dianggap telah bertindak menolak permohonan tersebut. Ada kalanya dalam aturan dasarnya ditentukan jangka waktu penyelesaian dari suatu permohonan, maka sesuai dengan ketentuan ayat (2) Pasal 3 tersebut, setelah lewat waktu yang ditentukan oleh aturan dasarnya, Badan atau Pejabat TUN belum juga menanggapinya (mengeluarkan keputusan) maka ia dianggap telah menolak permohonan yang diterimanya. Sementara itu dalam ayat (3) nya menentukan bahwa apabila aturan dasarnya tidak menyebutkan adanya batas waktu untuk memproses penyelesaian suatu permohonan yang menjadi kewajibannya, maka setelah lewat waktu 4 bulan Badan atau Pejabat TUN tersebut belum juga mengeluarkan keputusan, maka ia juga dianggap telah menolak permohonan yang diterimanya. Secara keseluruhan, ketentuan dalam Pasal 3 ini merupakan perluasandari pengertian Keputusan TUN (memperluas kompetensi pengadilan). Selanjutnya disamping ketentuan yang memperluas pengertian Keputusan TUN sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 diatas, juga UU Peratun mengatur tentang ketentuan yang mempersempit pengertian dari Keputusan TUN (mempersempit kompetensi pengadilan), artinya secara definisi masuk dalam pengertian suatu Keputusan TUN seperti dimaksud dalam Pasal 1 angka 3, akan tetapi secara substansial tidaklah dapat dijadikan objek gugatan di Peratun. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 49, yang menyebutkan : “Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan : a. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Keadaan-keadaan tersebut diatas dapat terjadi pada prinsipnya tergantung pada hasil penafsiran dari apa yang ditentukan dalam masing-masing peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk masing-masing keadaan, seperti penetapan keadaan perang, keadaan bahaya, bencana alam dan sebagainya. Selanjutnya dalam Pasal 2 disebutkan pengecualian dari Pengertian Keputusan TUN, yaitu :“ Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini : 1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata. 2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum. 3. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan. 4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana. 5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia; 7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum. III. HUKUM ACARA PERATUN 3.1. Karakteristik Hukum Acara Di Peratun. Secara sederhana Hukum Acara diartikan sebagai Hukum Formil yang bertujuan untuk mempertahankan Hukum Materil. Hal-hal yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya di atas, merupakan ketentuan-ketentuan tentang Hukum Materil di Peratun. Sementara itu mengenai Hukum Formilnya juga diatur dalam UU No. 5 tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004, mulai dari Pasal 53 s/d Pasal 132. Penggabungan antara Hukum Materil dan Hukum Formil ini merupakan karakteristik tersendiri yang membedakan Peradilan TUN dengan Peradilan lainnya. Untuk mengantarkan pada pembahasan tentang Hukum Acara di Peratun ini, terlebih dahulu akan diuraikan hal-hal yang merupakan ciri atau karakteristik Hukum Acara Peratun sebagai pembeda dengan Peradilan lainnya, khususnya Peradilan Umum (Perdata), sebagai berikut : + Adanya Tenggang Waktu mengajukan gugatan (Pasal 55). + Terbatasnya tuntutan yang dapat diajukan dalam petitum gugatan Penggugat (Pasal 53). + Adanya Proses Dismissal (Rapat Permusyawaratan) oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) (Pasal 62). + Dilakukannya Pemeriksaan Persiapan sebelum diperiksa di persidangan yang terbuka untuk umum (Pasal 63). + Peranan Hakim TUN yang aktif (dominus litis) untuk mencari kebenaran materil (Pasal 63, 80, 85,95 dan 103). + Kedudukan yang tidak seimbang antara Penggugat dengan Tergugat, oleh karenanya “konpensasi” perlu diberikan karena kedudukan Penggugat diasumsikan dalam posisi yang lebih lemah dibandingkn dengan Tergugat selaku pemegang kekuasaan publik. + Sistem pembuktian yang mengarah pada pembuktian bebas yang terbatas (Pasal 107). + Gugatan di pengadilan tidak mutlak menunda pelaksanaan Keputusan TUN yang digugat (Pasal 67). + Putusan Hakim yang tidak boleh bersifat ultra petita yaitu melebihi apa yang dituntut dalam gugatan Penggugat, akan tetapi dimungkinkan adanya reformatio in peius (membawa Penggugat pada keadaan yang lebih buruk) sepanjang diatur dalam perundang-undangan. + Putusan hakim TUN yang bersifat erga omnes, artinya putusan tersebut tidak hanya berlaku bagi para pihak yang bersengketa, akan tetapi berlaku juga bagi pihak-pihak lainnya yang terkait. + Berlakunya azas audi et alteram partem, yaitu para pihak yang terlibat dalam sengketa harus didengar penjelasannya sebelum hakim menjatuhkan putusan. 3.2. Gugatan. 3.2. 1. Pengertian Gugatan. Mengenai pengertian dari gugatan dijelaskan dalam Pasal 1 angka 5, sebagai berikut : “ Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan diajukan ke Pengadilan untuk mendapat putusan” Gugatan di Peratun diajukan oleh seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan akibat dikeluarkannya suatu Keputusan TUN. Oleh karenanya unsur adanya kepentingan dalam pengajuan gugatan merupakan hal yang sangat urgen dalam sengketa di Peratun. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 53 ayat (1), sebagai berikut : “ Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar KeputusanTata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi. Dari ketentuan Pasal 53 ayat (1) ini menjadi dasar siapa yang bertindak senagai Subjek Penggugat di Peratun, yaitu Orang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan TUN. Selanjutnya Pasal 53 ayat (2) menyebutkan alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan, adalah: a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Suatu gugatan yang akan diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara harus memuat hal-hal yang merupakan syarat formil suatu gugatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 56, yaitu : a. nama, kewarganegaraan, tempat tinggal dan pekerjaan penggugat atau kuasanya. b. nama jabatan, dan tempat tinggal tergugat. c. dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh pengadilan. 3.2.2. Pengajuan gugatan. Menurut Pasal 54 ayat (1) gugatan sengketa TUN diajukan secara tertulis kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat. Gugatan yang diajukan harus dalam bentuk tertulis, karena gugatan itu akan menjadi pegangan bagi pengadilan dan para pihak selama pemeriksaan. Apabila Tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan Tata Usaha Negara, gugatan diajukan pada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Dalam hal tempat kedudukan Tergugat tidak berada dalam daerah hukum pengadilan tempat kediaman Penggugat, maka gugatan diajukan kepada pengadilan tempat kedudukan Penggugat untuk diteruskan kepada pengadilan yang bersangkutan. Sedangkan apabila Penggugat dan Tergugat berada di luar negeri gugatan diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, dan apabila Tergugat berkedudukan di dalam negeri dan Penggugat diluar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara di tempat kedudukan Tergugat. Salah satu kekhususan di Peratun juga berkaitan dengan fungsi Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) yang bukan saja sebagai pengadilan tingkat banding, akan tetapi juga mempunyai fungsi sebagai pengadilan tingkat pertama seperti halnya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hal ini terjadi apabila sengketa TUN tersebut berkaitan dengan ketentuan Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004, yaitu yang mengatur tentang upaya banding administratif. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 51 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004, sebagai berikut : “ Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan di tingkat pertama sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ”. Berhubung sengketa TUN selalu berkaitan dengan keputusan Tata Usaha Negara, maka pengajuan gugatan ke Pengadilan dikaitkan pula dengan waktu dikeluarkannya keputusan yang bersangkutan. Pasal 55 menyebutkan bahwa : “ Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan ”. Dalam hal gugatan didasarkan pada alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 (Keputusan Fiktif-Negatif), maka tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari itu, dihitung setelah lewatnya tenggang waktu yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasarnya, yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan. Seandainya peraturan perundang-undangan yang menjadi dasarnya tidak menentukan tenggang waktunya, maka dihitung sejak sejak lewatnya tenggang waktu 4 (empat) bulan yang dihitung sejak diterimanya permohonan yang bersangkutan. Bilamana tenggang waktu tersebut diatas telah lewat, maka hak untuk menggugat menjadi gugur karena telah daluarsa. Diajukannya suatu gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara pada prinsipnya tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat. Namun demikian Penggugat dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan agar Surat Keputusan yang digugat tersebut ditunda pelaksanaannya selama proses berjalan, dan permohonan tersebut hanya dapat dikabulkan oleh pengadilan apabila adanya alasan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan Penggugat akan sangat dirugikan jika Keputusan TUN yang digugat itu tetap dilaksanakan (Pasal 67 ayat 4 a). 3.3. Pemeriksaan di persidangan 3.3. 1. Pemeriksaan Pendahuluan. Berbeda dengan peradilan lainnya, Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai suatu kekhususan dalam proses pemeriksaan sengketa, yaitu adanya tahap Pemeriksaan Pendahuluan. Pemeriksaan Pendahuluan ini terdiri dari : a. Rapat permusyawaratan/Proses Dismissal (Pasal 62). b. Pemeriksaan Persiapan (Pasal 63). Ad. a. Rapat Permusyawaratan (Proses Dismissal) : Rapat permusyawaratan yang disebut juga dengan Proses Dismissal atau tahap penyaringan yang merupakan wewenang Ketua Pengadilan, diatur dalam Pasal 62. Dalam proses dismissal ini Ketua Pengadilan, setelah melalui pemeriksaan administrasi di kepaniteraan, memeriksa gugatan yang masuk. Apakah gugatan tersebut telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam UU Peratun dan apakah memang termasuk wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara untuk mengadilinya. Dalam proses dismissal Ketua Pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan tidak diterima atau tidak berdasar, apabila : a. Pokok gugatan, yaitu fakta yang dijadikan dasar gugatan, nyata-nyata tidak termasuk wewenang Pengadilan. b. Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 tidak dipenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah diperingatkan. c. gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak. d. Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat. e. Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya. Penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara mengenai hal ini diucapkan dalam rapat permusyawaratan sebelum hari persidangan ditentukan, dengan memanggil kedua belah pihak. Terhadap penetapan ini dapat diajukan perlawanan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah diucapkan. Perlawanan tersebut harus dengan memenuhi syarat-syarat seperti gugatan biasa sebagaimana diatur dalam Pasal 56. Perlawanan diperiksa oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dengan acara singkat, yang dilakukan oleh Majelis Hakim. Apabila perlawanan tersebut diterima atau dibenarkan oleh Pengadilan yang bersangkutan melalui acara singkat, maka Penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara yang diambil dalam rapat permusyawaratan tersebut dinyatakan gugur demi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut acara biasa. Terhadap putusan pengadilan mengenai perlawanan tidak dapat digunakan upaya hukum seperti banding dan kasasi, karena putusan tersebut dianggap sebagai putusan tingkat pertama dan terakhir, sehingga telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Ad. b. Pemeriksaan Persiapan. Pemeriksaan persiapan diadakan mengingat posisi Penggugat di Peratun pada umumnya adalah warga masyarakat yang diasumsikan mempunyai kedudukan lemah dibandingkan dengan Tergugat sebagai Pejabat Tata Usaha Negara sebagai pemegang kekuasaan eksekutif. Dalam posisi yang lemah tersebut sangat sulit bagi Penggugat untuk mendapatkan informasi dan data yang diperlukan untuk kepentingan pengajuan gugatan dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat. Pemeriksaan Persiapan dilakukan di ruang tertutup bukan di ruang persidangan yang terbuka untuk umum. Dalam Pemeriksaan Persiapan Hakim wajib dan berwenang untuk : * Memberikan nasehat atau arahan-arahan kepada Penggugat untuk memperbaiki gugatannya dan melengkapai surat-surat atau data-data yang diperlukan dalam tenggang waktu 30 hari. * Meminta penjelasan kepada pihak Tergugat mengenai segala sesuatu yang mempermudah pemeriksaan sengketa di persidangan Apabila jangka waktu 30 hari yang ditetapkan untuk memperbaiki gugatannya tersebut tidak dipenuhi oleh Penggugat, maka Majelis Hakim akan memberikan putusan yang menyatakan gugatan Penggugat dinyatakan tidak dapat diterima, dan atas putusan tersebut tidak ada upaya hukum, namun masih dapat diajukan gugatan baru. 3.3.2. Pemeriksaan Tingkat Pertama. Pemeriksaan di tingkat pertama pada umumnya dilakukan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), terkecuali untuk sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, sengketa tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui upaya administratif sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 48 UU Peratun, maka pemeriksaan di tingkat pertama dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN). Pemeriksaan ditingkat pertama ini dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara : a. Pemeriksaan dengan acara biasa. b. Pemeriksaan dengan acara cepat. Dalam proses pemeriksaan sengketa TUN dimungkinkan pula adanya pihak ketiga yaitu orang atau badan hukum perdata untuk ikut serta atau diikutsertakan dalam proses pemeriksaan suatu sengketa yang sedang berjalan (Pasal 83). 3.4. Putusan Pengadilan Dalam hal pemeriksaan sengketa telah selesai, mulai dari jawab menjawab, penyampaian surat-surat bukti dan mendengarkan keterangan saksi-saksi, maka selanjutnya para pihak diberikan kesempatan untuk menyampaikan kesimpulan yang merupakan pendapat akhir para pihak yang bersengketa (Pasal 97 ayat 1). Setelah kesimpulan disampaikan, kemudian hakim menunda persidangan untuk bermusyawarah guna mengambil putusan. Putusan pengadilan yang akan diambil oleh hakim dapat berupa ( Pasal 97 ayat (7) ) : a. Gugatan ditolak. b. Gugatan dikabulkan. c. Gugatan tidak diterima. d. Gugatan gugur. Terhadap gugatan yang dikabulkan, maka pengadilan akan menetapkan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan kepada Badan atau Pejabat TUN selaku Tergugat, yaitu berupa ( Pasal 97 ayat (9) ) : a. Pencabutan Keputusan TUN yang bersangkutan. b. Pencabutan Keputusan TUN yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan TUN yang baru. c. Penerbitan Keputusan TUN dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3. Disamping kewajiban-kewajban tersebut pengadilan juga dapat membebankan kewajiban kepada Tergugat untuk membayar ganti rugi dan pemberian rehabilitasi dalam hal menyangkut sengketa kepegawaian. IV. UPAYA HUKUM 4.1. Upaya Hukum Banding. Terhadap para pihak yang merasa tidak puas atas putusan yang diberikan pada tingkat pertama (PTUN), berdasarkan ketentuan Pasal 122 UU Peratun terhadap putusan PTUN tersebut dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh Penggugat atau Tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN). Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya yang khusus diberi kuasa untuk itu, kepada PTUN yang menjatuhkan putusan tersebut, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan diberitahukan kepada yang bersangkutan secara patut. Selanjutnya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sesudah permohonan pemeriksaan banding dicatat, Panitera memberitahukan kepada kedua belah pihak bahwa mereka dapat melihat berkas perkara di Kantor Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah mereka menerima pemberitahuan tersebut. Para pihak dapat menyerahkan memori atau kontra memori banding, disertai surat-surat dan bukti kepada Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan, dengan ketentuan bahwa salinan memori dan kontra memori banding diberikan kepada pihak lawan dengan perantara Panitera Pengadilan (Pasal 126). Pemeriksaan banding di Pengadilan Tinggi TUN dilakukan sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) orang hakim. Dalam hal Pengadilan Tinggi TUN berpendapat bahwa pemeriksaan Pengadilan Tata Usaha Negara kurang lengkap, maka Pengadilan Tinggi tersebut dapat mengadakan sendiri untuk pemeriksaan tambahan atau memerintahkan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan untuk melaksanakan pemeriksaan tambahan. Setelah pemeriksaan di tingkat banding selesai dan telah diputus oleh Pengadilan Tinggi TUN yang bersangkutan, maka Panitera Pengadilan Tinggi TUN yang bersangkutan, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari mengirimkan salinan putusan Pengadilan Tinggi tersebut beserta surat-surat pemeriksaan dan surat-surat lain kepada Pengadilan TUN yang memutus dalam pemeriksaan tingkat pertama, dan selanjutnya meneruskan kepada pihak-pihak yang berkepentingan (Pasal 127). Mengenai pencabutan kembali suatu permohonan banding dapat dilakukan setiap saat sebelum sengketa yang dimohonkan banding itu diputus oleh Pengadilan Tinggi TUN. Setelah diadakannya pencabutan tersebut permohonan pemeriksaan banding tidak dapat diajukan oleh yang bersangkutan, walaupun tenggang waktu untuk mengajukan permohonan pemeriksaan banding belum lampau (Pasal 129). 4.2. Upaya Hukum Kasasi dan Peninjauan Kembali. Terhadap putusan pengadilan tingkat Banding dapat dilakukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan ditingkat Kasasi diatur dalam pasal 131 UU Peratun, yang menyebutkan bahwa pemeriksaan tingkat terakhir di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung. Untuk acara pemeriksaan ini dilakukan menurut ketentuan UU No.14 Tahun 1985 Jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Menurut Pasal 55 ayat (1) UU Mahkamah Agung, pemeriksaan kasasi untuk perkara yang diputus oleh Pengadilan dilingkungan Pengadilan Agama atau oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dilakukan menurut ketentuan UU ini. Dengan demikian sama halnya dengan ketiga peradilan yang lain, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer, maka Peradilan Tata Usaha Negara juga berpuncak pada Mahkamah Agung. Sementara itu apabila masih ada diantara para pihak masih belum puas terhadap putusan Hakim Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi, maka dapat ditempuh upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan Peninjauan Kembali diatur dalam pasal 132 UU Peratun, yang menyebutkan bahwa : Ayat (1) : “Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan Peninjauan Kembali pada Mahkamah Agung.” Ayat (2) : “Acara pemeriksaan Peninjauan Kembali ini dilakukan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.” V. PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN Putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan hanyalah putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, demikian ditegaskan dalam Pasal 115 UU Peratun. Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap artinya bahwa terhadap putusan tersebut telah tidak ada lagi upaya hukum, atau dapat juga masih ada upaya hukum akan tetapi oleh para pihak upaya hukum tersebut tidak ditempuh dan telah lewat tenggang waktu yang ditentukan oleh UU. Sebagai contoh, putusan PTUN Yogyakarta seharusnya dapat diajukan upaya hukum banding ke PTTUN Surabaya, akan tetapi karena telah lewat waktu 14 hari sebagaimana yang ditetapkan UU, para pihak tidak ada yang mengajukan upaya hukum tersebut, sehingga putusan PTUN Yogyakarta tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang kemudian dapat diajukan permohonan eksekusinya. Mengenai mekanisme atau prosedur eksekusi ini diatur dalam Pasal 116 s/d 119 UU Peratun. Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, dengan lahirnya UU No. 9 Tahun 2004, putusan Peratun telah mempunyai kekuatan eksekutabel. Hal ini dikarenakan adanya sanksi berupa dwangsom dan sanksi administratif serta publikasi terhadap Badan atau Pejabat TUN (Tergugat) yang tidak mau melaksanakan putusan Peratun. Lebih lanjut Pasal 116 UU No. 9 Tahun 2004, menyebutkan prosedur eksekusi di Peratun, sebagai berikut : (1) Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari. (2) Dalam hal 4 (empat) bulan setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan, Tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, Keputusan yang diperseketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. (3) Dalam hal Tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) haruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya, penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) agar Pengadilan memerintahkan Tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut. (4) Dalam hal Tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif. (5) Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera sejak tidak terpenuhinya
hukum acara pidana
BAB 1 PENDAHULUAN A. Pengertian Hukum Acara Pidana Menurut Simon, Hukum Acara Pidana disebut juga hukum pidana formal untuk membedakannya dengan hukum pidana material. Hukum pidana material atau hukum pidana itu berisi petunjuk dan uraian tentang delik, peraturan tentang syarat-syarat dapatnya dipidana suatu perbuatan, petunjuk tentang orang yang dapat dipidana, dan aturan tentang pemidanaan : mengatur kepada siapa dan bagaimana pidana itu dapat dijatuhkan. Sedangkan Hukum Pidana formal mengatur bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana, jadi berisi acara pidana. B. Sumber Hukum Acara Pidana 1. UUD 1945, Pasal 24 ayat (1), Pasal 25. 2. KUHAP UU No.8 Tahun 1981, LN 1981 Nomor 76. 3. Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No.14 Tahun 1970 Nomor 74). 4. PP Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP. 5. UU No.5 Tahun 1986 tentang Mahkamah Agung. C. Asas-Asas atau Prinsip-Prinsip Hukum Acara Pidana 1. Asas / Prinsip Legalitas 2. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum (equality before the law) 3. Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocent) 4. Penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dilakukan berdasarkan perintah tertulis pejabat yang berwenang. 5. Asas Ganti Kerugian dan Rehabilitasi. 6. Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan. 7. Tersangka / Terdakwa berhak mendapat bantuan hukum. 8. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa. 9. Prinsip Peradilan Terbuka untuk umum. D. Sistem Peradilan pidana di Amerika Serikat dikenal dua macam model menurut Herbert L Packer, yaitu : 1. Crime Control Model, dengan karakteristik speed and finally dan assembly line. 2. Due Process Model, dengan karakteristik ; • Fact Finding (memukan fakta) • Obstacle Course (lari gawang) Hukum Acara perdata
Ringkasan Hukum Acara Perdata Mata Kuliah Hukum Acara Perdata adalah sebuah mata kuliah yang sangat spesifikasi untuk bidang acara perdata, khususnya mengenai hukum beracara. Kali ini saya akan coba memposting mengenai ringkasan mata kuliah hokum acara perdata. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pengertian Hukum Acara Perdata Sebagai bagian dari hokum acara (formeel recht), maka Hukum Acara Perdata mempunyai ketentuan-ketentuan pokok yang bersifat umum dan dalam penerapannya hukum acara perdata mempunyai fungsi untuk mempertahankan, memelihara, dan menegakan ketentuan-ketentuan hukum perdata materil. Oleh karena itu eksistensi hukum acara perdata sangat penting dalam kelangsungan ketentuan hukum perdata materil. Adapun beberapa pengertian hukum acara perdata menurut beberapa pakar hukum a. Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH Beliau mengemukakan batasan bahwa hukum acara perdata sebagai rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan cara bagaimana cara pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan hukum perdata. b. Prof. Dr. Sudikno Mertukusumo, SH Member batasan hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata material dengan perantaraan hakim. Dengan perkataan lain, hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menetukan bagaimana caranyamenjamin pelaksanaan hukum perdata material. Lebih kongkrit lagi dapatlah dikatakan bahwa hukum acara perdata mengatur bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya, dan pelaksanaan dari pada putusannya. c. Prof. Dr. R. Supomo, SH Dengan tanpa memberikan suatu batasan tertentu, tapi melalui visi tugas dan peranan hakin menjelaskan bahwasanya dalam peradilan perdata tugas hakim ialah mempertahankan tata hukum perdata (burgerlijk rechtsorde) menetapkan apa yang ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara. Berdasarkan pengertian –pengertian yang dikemukakan diatas serta dengan bertitik tolak kepada aspek toeritis dalam praktek peradilan, maka pada asasnya hukum acara perdata adalah : 1. Peraturan hukum yang mengatur dan menyelenggarakan bagaimana proses seseorang mengajukan perkara perdata kepada hakim/pengadilan. Dalam konteks ini, pengajuan perkara perdata timbul karena adanya orang yang merasa haknya dilanggar orang lain, kemudian dibuatlah surat gugatan sesuai syarat peraturan perundang-undangan. 2. Peraturan hukum yang menjamin, mengatur dan menyelenggarakan bagaimana proses hakim mengadili perkara perdata. Dalam mengadili perkara perdata, hakim harus mendengar kedua belah pihak berperkara (asas Audi Et Alterm Partem). Disamping itu juga, proses mengadili perkara, hakim juga bertitik tolak kepada peristiwanya hukumnya, hukum pembuktian dan alat bukti kedua belah pihak sesuai ketentuan perundang-undangan selaku positif (Ius Constitutum) 3. Peraturan hukum yang mengatur proses bagaimana caranya hakim memutus perkara perdata. 4. Peraturan hukum yang mengatur bagaimana tahap dan proses pelaksanaan putusan hakim (Eksekusi) 1.2 Sumber-sumber hukum acara perdata. Dalam praktek peradilan di Indonesia saat ini, sumber-sumber hukum acara perdata terdapat pada berbagai peraturan perundang-undangan. a. HIR (Het Herzine Indonesich Reglemen) atau Reglemen Indonesia Baru, Staatblad 1848. b. RBg (Reglemen Buitengwesten) Staatblad 1927 No 277 c. Rv (Reglemen Hukum Acara Perdata Untuk golongan Eropa) Staatblad No 52 Jo Staatblad 1849 No.63. namun sekarang ini Rv tidak lagi digunakan karena berisi ketentuan hukum acara perdata khusus bagi golongan Eropa dan bagi mereka yang dipersamakan dengan mereka dimuka (Raad van Justitie dan Residentiegerecht. Tetapi Raad Van Justitie telah dihapus, sehingga Rv tidak berlaku lagi. Akan tetapi dalam praktek peradilan saat ini eksistensi ketentuan dalam Rv oleh Judex Facti (pengadilan negeri dan pengadilan tinggi) serta mahkamah agung RI tetap dipergunakan dan dipertahankan. Mis : Ketentuan tentang Uang paksa(dwangsom) dan intervensi gugatan perdata. d. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. e. Undang-Undang. 1. UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. 2. UU No.5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung, yang mengatur tentang hukum acara kasasi 3. UU No.8 Tahuun 2004 Tentang Peradilan Umum. 4. UU No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama. 5. UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan beserta peraturan pelaksanaannya. 6. UU No.2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. 1.3 Asas-Asas Hukum Acara Perdata Indonesia Bertitik tolak kepada praktek peradilan Indonesia maka dapatlah disebutkan beberapa asas-asas umum hukum acara perdata Indonesia. a. Peradilan yang terbuka untuk umum (Openbaarheid Van Rechtsspraak) Peradilan yang terbuka untuk umum merupakan aspek fundamental dari hukum acara perdata. Sebelum perkara disidangkan, maka hakim ketua harus menyatakan bahwa “persidangan terbuka untuk umum” sepanjang undang-undang tidak menentukan lain. (Mis : dalam perkara persidangan perkara perceraian siding dinyatakan tertutup untuk umum. Apabila hal ini tidak dipenuhi maka akan mengakibatkan putusan batal demi hukum (Pasal 19 Ayat 1 dan 2 UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. b. Hakim bersifat Pasif (Lijdelijkeheid Van De Rehter) Dalam asas ini terdapat sebuah aturan yang dikenal dengan (Nemo Judex Sine Actore) yang artinya apabila gugatan tidak diajukan oleh para pihak, maka tidak ada hakim yang mengadili perkara bersangkutan. c. Mendengar Kedua belah pihak. d. Pemeriksaan dalam dua instansi (Onderzoek In Tween Instanties) e. Pengawasan Putusan Lewat Kasasi. f. Peradilan dengan membayar biaya. Peradilan perkara perdata pada asanya dikenakan biaya perkara (Pasal 4 Ayat 2, Pasal 5 Ayat 2, UU No 4 Tahun 2004. Pasal 121 Ayat 4 HIR/Pasal 145 Ayat 4, 192, 194 RBg. Bagi mereka yang tidak mampu membayar biaya perkara dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri setempat untuk berperkara secara Cuma-Cuma (Pro Deo). 1.4 Susunan Badan Peradilan di Indonesia. Menurut UUD 1945 bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh mahkamah agung dan badan peradilan dibawahnya. Jenis dan dasar badan peradilan di Indonesia terdapat dalam pasal 10 ayat (1) UU No 4 Tahun 2004, dikenal empat lingkungan peradilan di Indonesia yaitu : a. Peradilan Umum (UU No 8 Tahun 2004) b. Peradilan Agama (UU No 3 Tahun 2006) Dalam perdalilan agama membawahi Pengadilan Agama Neger c. Peradilan Militer (UU No 31 Tahun 1997) d. Peradilan Tata Usaha Negara (UU No 9 Tahun 2004) Keempat badan peradilan tersebut kesemuanya dibawah Mahkamah Agung RI. Berdasarkan pasal 11 (1) UU No 4 Tahun 2004. Mahkamah Agung RI merupakan pengadilan Negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan sebagaimana disebutkan diatas. Selanjutnya pada ayat dua (2) disebutkan, kewenangan Mahkamah Agung RI adalah : a. Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan dimana semua lingkungan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung. b. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. c. Kewenangan lain yang diberikan undang-undang. Peradilan umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai perkara perdata maupun pidana yang dijalankan oleh pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Di dalam peradilan umum diberntuk beberapa pengadilan khusus yang berada dilingkungan pengadilan negeri yaitu : 1. Pengadilan niaga (pasal 280 UU No.4 Tahun 1998 Tentang kepailitan) 2. Pengadilan anak (pasal 2 UU No.3 Tahun 1997 Tentang pengadilan anak) 3. Pengadilan hak asasi manusia (pasal 2 UU No.26 Tahun 2000 Tentang pengadilan HAM) 4. Pengadilan tindak pidana korupsi 5. Pengadilan hubungan industrial (pasal 1 angka 17 UU No.2 Tahun 2004 Tentang penyelesaian Perselisihan hubungan industrial.) 6. Pengadilan perikanan. Peradilan Agama, Militer dan Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus karena mengadili perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu. Berdasarkan UU No.3 Tahun 2006 Tentang Pengadilan Agama, kewenangan pengadilan agama diperluas sebagaimana diatur dalam pasal 49 yaitu :pengadilan agama bertugas dan berwewenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang beragama Islam di bidang : perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, infaq, zakat, dan ekonomi syari’ah. BAB II PEMBERIAN KUASA (LASTGEVING) 2.1 Pemberian Kuasa (Lastgeving) A. Pengertian Kuasa. Secara Umum, surat kuasa tunduk pada prinsip hukum yang diatur dalam BAB ke enambelas, buku III KUHPerdata tentang perikatan. Sedangkan aturan khususnya diatur dan tunduk pada ketentuan hukum acara yang digariskan HIR dan RBG. Untuk memahami arti dari pengertian kuasa secara umum dapat dirujuk pada pasal 1792 KUHPerdta yang berbunyi “Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan” Bertitik tolak dari pasal 1792 KUHPerdata tersebut diatas, dalam perjanjian kuasa terdapat dua pihak terdiri dari : a. Pemberi kuasa atau letsgever (Instruction, Mandate) b. Penerima kuasa yang diberi perintah atau mandate melakukan sesuatu untuk dan atas nama pemberi kuasa. B. Berakhirnya Kuasa Berdasarkan pasal 1813 KUHPerdata, hal-hal yang dapat mengakhiri pemberian kuasa adalah sebagai berikut : 1. Pemberi kuasa menarik kembaliu secara sepihak. Ketentuan pencabutan kembali kuasa oleh pemberi kuasa, diatur lebih lanjut dalam pasal 1814 KUHPerdata dengan acuan. : a. Pencabutan tanpa melakuakan persetujuan dari penerima kuasa b. Pencabutan dapat dilakuakan secara tegas dalam bentuk mencabut secara tegas dan tertulis atau meminta kembali surat kuasa dari penerima kuasa. c. Pencabutan secara diam-diam berdasarkan pasal 1816 KUHPerdata. 2. Salah satu puhak meninggal dunia Dengan sendirinya pemberian kuasa berakhir demi hukum. 3. Penerima kuasa melepas kuasa. Pasal 1817 KUHPerdata member hak secara sepihak kepada kuasa untuk melepas kuasa yang diterimanya dengan syarat : a. Hsarus memberitahu kehendak pelepasan itu kepada pemberi kuasa b. Pelepasan tidak boleh dilakuakan pada saat yang tidak layak. Ukuran tentang hal ini didasarkan pada perkiraan objektif, apakah pelepasan itu dapat menimbulkan kerugian kepada pemberi kuasa. C. Jenis-Jenis Kuasa. 1. Kuasa Umum (pasal 1795 KUHPerdata) 2. Kuasa khusus (pasal 1795 KUHPerdata) 3. Kuasa Istimewa (pasal 1796 KUHPerdata) 4. Kuasa perantara (pasal 1792 KUHPerdata dan pasal 62 KUHD) D. Kuasa Menurut Hukum Kuasa menurut hukum disebut juga Wettelijke Vertegnwoording atau Legal Mandatory. Maksudnya undang-undang sendiri telah menetapkan seseorang atau suatu badan untuk dengan sendirinya bertindak mewakili. Beberapa kuasa hukum adalah sebagai berikut : 1) Wali terhadap anak dibawah umur (pasal 51 UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan) 2) Curator atas orang tidak waras. 3) Orang tua terhadap anak yang belum dewasa (pasal 45 (2) UU No 1 Tahun 1974 4) BPH sebagai curator kepailitan 5) Direksi atau pengurus badan hukum 6) Direksi perusahaan persoroan (persero) 7) Pimpinan perwakilan perusahaan asing 8) Pimpinan cabang perusahaan domestic. KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA
Advokat Sebagai Profesi Profesi berasal dari bahasa Inggris, profession, yang mempunyai arti sebagai bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan, dsb) tertentu. Pengertian lain profesi adalah suatu pekerjaan pelayanan:- penerapan seperangkat pengetahuan secara sistematis untuk mengatasi persoalan-persoalan , persoalan-persoalan tersebut termasuk ke dalam wawasan nilai-nilai utama yang mempunyai relevansi tinggi dalam masyarakat. Menurut Soebijakto, untuk dapat disebut sebagai profesi diperlukan kriteria sebagai berikut. 1. pengetahuan. 2. keahian kemahiran. 3. mengabdi kepada kepentingan orang banyak. 4. tidak mengutamakan keuntungan materi. 5. adanya organisAsi atau asosiasi profesi. 6. pengakuan masyarakat. 7. kode etik. Kalangan advokat mengartikan profesi dengan unsur-unsur: 1. harus ada ilmu hukum yang diolah di dalamnya; 2. harus ada kebebasan, tidak boleh ada hubungan dinas/hirarkis; 3. mengabdi pada kepentingan umum, mencari nafkah tidak menjadi tujuan. Pengertian profesi advokat adalah suatu pekerjaan di bidang hukum yang didasari oleh keahlian dan sumpah atau ikrar atau komitmen untuk bersedia bekerja demi tujuan hukum; kebenaran dan keadilan di tengah-tengah masyarakat. Keahlian adalah suatu kecakapan khusus berdasarkan pengetahuan dan pengalaman memadai berdasarkan pengakuan dari institusi resmi untuk menjalankan pekerjaan profesi advokat. Sumpah, ikrar atau komitmen diartikan sebagai janji profesi untuk memegang idealisme, moral dan integritas yang dimuat dalam kode etik profesi. Pengertian Kode Etik Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika adalah: 1. ilmu tentag apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak kewajiban moral; 2. kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; 3. nilai mengenai benar atau salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Pengertian lain tentang etika menurut Ensiklopedi Indonesia dijelaskan bahwa etika yang mengandung ilmu tentang kesusilaan, yang menentukan bagaimana patutnya manusia hidup dalam masyarakat mengenai: 1. apa yang baik dan apa yang buruk; 2. segala ucapan harus senantiasa berdasarkan hasil pemeriksaan tentang keadaan hidup dalam arti kata seluas-luasnya. Pengertian kode etik mempunyai arti tulisan atau tanda-tanda etis yang mempunyai tujuan tertentu, mengandung norma-norma hidup yang etis, aturan tata susila, sikap, akhlak, berbudi luhur yang pelaksanaanya diserahkan atas keinsyafan dan kesadaran dirinya sendiri. Kode etik dapat dibuat dan diberlakukan secara luas dan sempit. Kode etik dibuat dan diberlakukan secara luas adalah etika yang nilai-nilainya terkandung dalam moral dan susila dan diciptakan dan diberlakukan untuk seluruh umat manusia secara universal. Kode etik dalam arti sempit adalah etika yang diciptakan dan diberlakukan untuk golongan atau kelompok manusia dalam masyarakat. Etika yang diberlakukan secara sempit inilah yang disebut sebagai etika profesi. Etika profesi diciptakan dan diberlakukan untuk kalangan profesi tertneu. Contohnya adalah etika profesi dokter berlaku untuk kalangan dokter, etika profesi akuntan berlaku bagi kalangan akuntan, etika profesi advokat berlaku bagi kalangan advokat. Kode Etik Advokat Kode etik advokat adalah Kode Etik Advokat Indonesia yang ditetapkan pada tanggal 23 Mei 2002 berdasarkan kesepakatan 7 (tujuh) organisasi advokat Indonesia yang terdiri dari: 1. Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN); 2. Asosiasi Advokat Indonesia (AAI); 3. Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI); 4. Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI); 5. Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM); 6. Serikat Pengacara Indonesia (SPI); 7. Himpunan advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI). Berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyatakan Kode etik dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Profesi Advokat yang telah ditetapkan oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), pada tanggal 23 Mei 2002 dinyatakan mempunyai kekuatan hukum secara mutatis mutandis menurut Undang-Undang ini sampai ada ketentuan yang baru yang dibuat oleh Organisasi Advokat. Selanjutnya organisasi advokat Kongres Advokat Indonesia telah menetapkan Kode Etik Advokat Indonesia dengan SURAT KEPUTUSAN KONGRES ADVOKAT INDONESIA I TAHUN 2008 NOMOR: 08/KAI-I/V/2008 TENTANG KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA pada tanggal 30 Mei 2008.