tag:blogger.com,1999:blog-85503743041107710502023-11-15T06:20:36.373-08:00Hukum IndonesiaMembahas hukum yang berlaku di indonesia dan tentang kisi ujian advokatAnonymoushttp://www.blogger.com/profile/13505667582003710930noreply@blogger.comBlogger10125tag:blogger.com,1999:blog-8550374304110771050.post-74285089087022361272012-11-08T01:39:00.001-08:002012-11-08T01:39:30.278-08:00UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<center>
<b>UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA<br />
NOMOR 19 TAHUN 2002<br />
TENTANG<br />
HAK CIPTA<br />
<br />
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA<br />
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,</b><br />
<br />
</center>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;">Menimbang:</td>
<td>
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol>
<li>bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman
etnik/suku bangsa dan budaya serta kekayaan di bidang seni dan sastra
dengan pengembangan pengembangannya yang memerlukan perlindungan Hak
Cipta terhadap kekayaan intelektual yang lahir dari keanekaragaman
tersebut;</li>
<li>bahwa Indonesia telah menjadi anggota berbagai konvensi/perjanjian
internasional di bidang hak kekayaan intelektual pada umumnya dan Hak
Cipta pada khususnya yang memerlukan pengejawantahan lebih lanjut dalam
sistem hukum nasionalnya;</li>
<li>bahwa perkembangan di bidang perdagangan, industri, dan investasi
telah sedemikian pesat sehingga memerlukan peningkatan perlindungan bagi
Pencipta dan Pemilik Hak Terkait dengan tetap memperhatikan kepentingan
masyarakat luas;</li>
<li>bahwa dengan memperhatikan pengalaman dalam melaksanakan Undang
undang Hak Cipta yang ada, dipandang perlu untuk menetapkan Undang
undang Hak Cipta yang baru menggantikan Undang undang Nomor 6 Tahun 1982
tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang undang Nomor 7
Tahun 1987 dan terakhir diubah dengan Undang undang Nomor 12 Tahun
1997;</li>
<li>bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut dalam huruf a,
huruf b, huruf c, dan huruf d, dibutuhkan Undang undang tentang Hak
Cipta;</li>
</ol>
</div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;">Mengingat:</td>
<td>
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol>
<li>Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 28 C ayat (1), dan Pasal
33 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;</li>
<li>Undang undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan <i>Agreement
Establishing the World Trade Organization</i> (Pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia), (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor
57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3564);</li>
</ol>
</div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<span><span class="pagenum" id="2" title="Halaman:UU 19 2002.djvu/2"></span></span>
<center>
<b><br /></b>
<b>Dengan Persetujuan<br />
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA<br />
<br />
MEMUTUSKAN:</b><br />
</center>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;">Menetapkan:</td>
<td><b>UNDANG UNDANG TENTANG HAK CIPTA.</b></td>
</tr>
</tbody></table>
<center>
<span id="1"></span><b><br />
BAB I<br />
KETENTUAN UMUM</b></center>
<center>
<br />
<b>Pasal 1</b></center>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;"><br /></td>
<td>Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="1">
<li>Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk
mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu
dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.</li>
<li>Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang
atas inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan
pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang
dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.</li>
<li>Ciptaan adalah hasil setiap karya Pencipta yang menunjukkan
keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra.</li>
<li>Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau
pihak yang menerima hak tersebut dari Pencipta, atau pihak lain yang
menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut.</li>
<li>Pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan,
pengedaran, atau penyebaran suatu Ciptaan dengan menggunakan alat apa
pun, termasuk media internet, atau melakukan dengan cara apa pun
sehingga suatu Ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain.</li>
<li>Perbanyakan adalah penambahan jumlah sesuatu Ciptaan, baik secara
keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial dengan menggunakan
bahan-bahan yang sama ataupun tidak sama, termasuk mengalihwujudkan
secara permanen atau temporer.</li>
<li>Potret adalah gambar dari wajah orang yang digambarkan, baik bersama
bagian tubuh lainnya ataupun tidak, yang diciptakan dengan cara dan
alat apa pun.</li>
<li>Program Komputer adalah sekumpulan instruksi yang diwujudkan dalam
bentuk bahasa, kode, skema, ataupun bentuk lain, yang apabila
digabungkan dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu
membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi-fungsi khusus atau untuk
mencapai hasil yang</li>
</ol>
</div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<span><span class="pagenum" id="3" title="Halaman:UU 19 2002.djvu/3"></span></span>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;"><br /></td>
<td>
<div style="margin-left: 1.7em; text-indent: 0em;">
khusus, termasuk
persiapan dalam merancang instruksi instruksi tersebut.</div>
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="9">
<li>Hak Terkait adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta, yaitu hak
eksklusif bagi Pelaku untuk memperbanyak atau menyiarkan pertunjukannya;
bagi Produser Rekaman Suara untuk memperbanyak atau menyewakan karya
rekaman suara atau rekaman bunyinya; dan bagi Lembaga Penyiaran untuk
membuat, memperbanyak, atau menyiarkan karya siarannya.</li>
<li>Pelaku adalah aktor, penyanyi, pemusik, penari, atau mereka yang
menampilkan, memperagakan, mempertunjukkan, menyanyikan, menyampaikan,
mendeklamasikan, atau memainkan suatu karya musik, drama, tari, sastra, <i>folklor</i>,
atau karya seni lainnya.</li>
<li>Produser Rekaman Suara adalah orang atau badan hukum yang pertama
kali merekam dan memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan perekaman
suara atau perekaman bunyi, baik perekaman dari suatu pertunjukan maupun
perekaman suara atau perekaman bunyi lainnya.</li>
<li>Lembaga Penyiaran adalah organisasi penyelenggara siaran yang
berbentuk badan hukum, yang melakukan penyiaran atas suatu karya siaran
dengan menggunakan transmisi dengan atau tanpa kabel atau melalui sistem
elektromagnetik.</li>
<li>Permohonan adalah Permohonan pendaftaran Ciptaan yang diajukan oleh
pemohon kepada Direktorat Jenderal.</li>
<li>Lisensi adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau
Pemegang Hak Terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau
memperbanyak Ciptaannya atau produk Hak Terkaitnya dengan persyaratan
tertentu.</li>
<li>Kuasa adalah konsultan Hak Kekayaan Intelektual sebagaimana diatur
dalam ketentuan Undang-undang ini.</li>
<li>Menteri adalah Menteri yang membawahkan departemen yang salah satu
lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan di bidang Hak
Kekayaan Intelektual, termasuk Hak Cipta.</li>
<li>Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal Hak Kekayaan
Intelektual yang berada di bawah departemen yang dipimpin oleh Menteri.</li>
</ol>
</div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<center>
<span id="2"></span><b><br />
BAB II<br />
LINGKUP HAK CIPTA</b></center>
<center>
<b><br />
Bagian Pertama<br />
Fungsi dan Sifat Hak Cipta</b></center>
<center>
<br />
<b>Pasal 2</b></center>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;"><br /></td>
<td>
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="1">
<li>Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak
Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara</li>
</ol>
</div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<span><span class="pagenum" id="4" title="Halaman:UU 19 2002.djvu/4"></span></span>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;"><br /></td>
<td>
<div style="margin-left: 1.7em; text-indent: 0em;">
otomatis setelah
suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.</div>
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="2">
<li>Pencipta atau Pemegang Hak Cipta atas karya sinematografi dan
Program Komputer memiliki hak untuk memberikan izin atau melarang orang
lain yang tanpa persetujuannya menyewakan Ciptaan tersebut untuk
kepentingan yang bersifat komersial.</li>
</ol>
</div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<center>
<br />
<b>Pasal 3</b></center>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;"><br /></td>
<td>
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="1">
<li>Hak Cipta dianggap sebagai benda bergerak.</li>
<li>Hak Cipta dapat beralih atau dialihkan, baik seluruhnya maupun
sebagian karena:
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="1">
<li>Pewarisan;</li>
<li>Hibah;</li>
<li>Wasiat;</li>
<li>Perjanjian tertulis; atau</li>
<li>Sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.</li>
</ol>
</div>
</li>
</ol>
</div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<center>
<br />
<b>Pasal 4</b></center>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;"><br /></td>
<td>
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="1">
<li>Hak Cipta yang dimiliki oleh Pencipta, yang setelah Penciptanya
meninggal dunia, menjadi milik ahli warisnya atau milik penerima wasiat,
dan Hak Cipta tersebut tidak dapat disita, kecuali jika hak itu
diperoleh secara melawan hukum.</li>
<li>Hak Cipta yang tidak atau belum diumumkan yang setelah Penciptanya
meninggal dunia, menjadi milik ahli warisnya atau milik penerima wasiat,
dan Hak Cipta tersebut tidak dapat disita, kecuali jika hak itu
diperoleh secara melawan hukum.</li>
</ol>
</div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<center>
<b><br />
Bagian Kedua<br />
Pencipta</b></center>
<center>
<br />
<b>Pasal 5</b></center>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;"><br /></td>
<td>
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="1">
<li>Kecuali terbukti sebaliknya, yang dianggap sebagai Pencipta adalah:
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="1">
<li>orang yang namanya terdaftar dalam Daftar Umum Ciptaan pada
Direktorat Jenderal; atau</li>
<li>orang yang namanya disebut dalam Ciptaan atau diumumkan sebagai
Pencipta pada suatu Ciptaan.</li>
</ol>
</div>
</li>
<li>Kecuali terbukti sebaliknya, pada ceramah yang tidak menggunakan
bahan tertulis dan tidak ada pemberitahuan siapa Penciptanya, orang yang
berceramah dianggap sebagai Pencipta ceramah tersebut.</li>
</ol>
</div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<span><span class="pagenum" id="5" title="Halaman:UU 19 2002.djvu/5"></span></span>
<center>
<br />
<b>Pasal 6</b></center>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;"><br /></td>
<td>Jika suatu Ciptaan terdiri atas beberapa bagian tersendiri yang
diciptakan oleh dua orang atau lebih, yang dianggap sebagai Pencipta
ialah orang yang memimpin serta mengawasi penyelesaian seluruh Ciptaan
itu, atau dalam hal tidak ada orang tersebut, yang dianggap sebagai
Pencipta adalah orang yang menghimpunnya dengan tidak mengurangi Hak
Cipta masing-masing atas bagian Ciptaannya itu.</td>
</tr>
</tbody></table>
<center>
<br />
<b>Pasal 7</b></center>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;"><br /></td>
<td>Jika suatu Ciptaan yang dirancang seseorang diwujudkan dan
dikerjakan oleh orang lain di bawah pimpinan dan pengawasan orang yang
merancang, Penciptanya adalah orang yang merancang Ciptaan itu.</td>
</tr>
</tbody></table>
<center>
<br />
<b>Pasal 8</b></center>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;"><br /></td>
<td>
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="1">
<li>Jika suatu Ciptaan dibuat dalam hubungan dinas dengan pihak lain
dalam lingkungan pekerjaannya, Pemegang Hak Cipta adalah pihak yang
untuk dan dalam dinasnya Ciptaan itu dikerjakan, kecuali ada perjanjian
lain antara kedua pihak dengan tidak mengurangi hak Pencipta apabila
penggunaan Ciptaan itu diperluas sampai ke luar hubungan dinas.</li>
<li>Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi
Ciptaan yang dibuat pihak lain berdasarkan pesanan yang dilakukan dalam
hubungan dinas.</li>
<li>Jika suatu Ciptaan dibuat dalam hubungan kerja atau berdasarkan
pesanan, pihak yang membuat karya cipta itu dianggap sebagai Pencipta
dan Pemegang Hak Cipta, kecuali apabila diperjanjikan lain antara kedua
pihak.</li>
</ol>
</div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<center>
<br />
<b>Pasal 9</b></center>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;"><br /></td>
<td>Jika suatu badan hukum mengumumkan bahwa Ciptaan berasal dari
padanya dengan tidak menyebut seseorang sebagai Penciptanya, badan hukum
tersebut dianggap sebagai Penciptanya, kecuali jika terbukti
sebaliknya.</td>
</tr>
</tbody></table>
<center>
<b><br />
Bagian Ketiga<br />
Hak Cipta atas Ciptaan yang Penciptanya Tidak Diketahui</b></center>
<center>
<br />
<b>Pasal 10</b></center>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;"><br /></td>
<td>
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="1">
<li>Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah,
sejarah, dan benda budaya nasional lainnya.</li>
<li>Negara memegang Hak Cipta atas <i>folklor</i> dan hasil kebudayaan
rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng,
legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi,
dan karya seni lainnya.</li>
<li>Untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaan tersebut pada ayat (2),
orang yang bukan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat
izin dari instansi yang terkait dalam masalah tersebut.</li>
</ol>
</div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<span><span class="pagenum" id="6" title="Halaman:UU 19 2002.djvu/6"></span></span>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;"><br /></td>
<td>
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="4">
<li>Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur dengan Peraturan
Pemerintah.</li>
</ol>
</div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<center>
<br />
<b>Pasal 11</b></center>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;"><br /></td>
<td>
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="1">
<li>Jika suatu Ciptaan tidak diketahui Penciptanya dan Ciptaan itu belum
diterbitkan, Negara memegang Hak Cipta atas Ciptaan tersebut untuk
kepentingan Penciptanya.</li>
<li>Jika suatu Ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui
Penciptanya atau pada Ciptaan tersebut hanya tertera nama samaran
Penciptanya, Penerbit memegang Hak Cipta atas Ciptaan tersebut untuk
kepentingan Penciptanya.</li>
<li>Jika suatu Ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui
Penciptanya dan/atau Penerbitnya, Negara memegang Hak Cipta atas Ciptaan
tersebut untuk kepentingan Penciptanya.</li>
</ol>
</div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<center>
<b><br />
Bagian Keempat<br />
Ciptaan yang Dilindungi</b></center>
<center>
<br />
<b>Pasal 12</b></center>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;"><br /></td>
<td>
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="1">
<li>Dalam Undang undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam
bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup:
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="1">
<li>buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (<i>lay out</i>) karya
tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;</li>
<li>ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu;</li>
<li>alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu
pengetahuan;</li>
<li>lagu atau musik dengan atau tanpa teks;</li>
<li>drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan
pantomim;</li>
<li>seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir,
seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;</li>
<li>arsitektur;</li>
<li>peta;</li>
<li>seni batik;</li>
<li>fotografi;</li>
<li>sinematografi;</li>
<li>terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, <i>database</i>, dan
karya lain dari hasil pengalihwujudan.</li>
</ol>
</div>
</li>
<li>Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf l dilindungi sebagai
Ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli.</li>
<li>Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
termasuk juga semua Ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi
sudah</li>
</ol>
</div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<span><span class="pagenum" id="7" title="Halaman:UU 19 2002.djvu/7"></span></span>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;"><br /></td>
<td>
<div style="margin-left: 1.7em; text-indent: 0em;">
merupakan suatu
bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan Perbanyakan hasil karya
itu.</div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<center>
<br />
<b>Pasal 13</b></center>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;"><br /></td>
<td>Tidak ada Hak Cipta atas:
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="1">
<li>hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;</li>
<li>peraturan perundang-undangan;</li>
<li>pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;</li>
<li>putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau</li>
<li>keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis
lainnya.</li>
</ol>
</div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<center>
<b><br />
Bagian Kelima<br />
Pembatasan Hak Cipta</b></center>
<center>
<br />
<b>Pasal 14</b></center>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;"><br /></td>
<td>Tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta:
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="1">
<li>Pengumuman dan/atau Perbanyakan lambang Negara dan lagu kebangsaan
menurut sifatnya yang asli;</li>
<li>Pengumuman dan/atau Perbanyakan segala sesuatu yang diumumkan
dan/atau diperbanyak oleh atau atas nama Pemerintah, kecuali apabila Hak
Cipta itu dinyatakan dilindungi, baik dengan peraturan
perundang-undangan maupun dengan pernyataan pada Ciptaan itu sendiri
atau ketika Ciptaan itu diumumkan dan/atau diperbanyak; atau</li>
<li>Pengambilan berita aktual baik seluruhnya maupun sebagian dari
kantor berita, Lembaga Penyiaran, dan surat kabar atau sumber sejenis
lain, dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap.</li>
</ol>
</div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<center>
<br />
<b>Pasal 15</b></center>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;"><br /></td>
<td>Dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan,
tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta:
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="1">
<li>penggunaan Ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik
atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang
wajar dari Pencipta;</li>
<li>pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian,
guna keperluan pembelaan di dalam atau di luar Pengadilan;</li>
<li>pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian,
guna keperluan:
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="1">
<li>ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu
pengetahuan; atau</li>
</ol>
</div>
</li>
</ol>
</div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<span><span class="pagenum" id="8" title="Halaman:UU 19 2002.djvu/8"></span></span>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;"><br /></td>
<td>
<div style="margin-left: 1.7em; text-indent: 0em;">
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="2">
<li>pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan
ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta;</li>
</ol>
</div>
</div>
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="4">
<li>Perbanyakan suatu Ciptaan bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra
dalam huruf braille guna keperluan para tunanetra, kecuali jika
Perbanyakan itu bersifat komersial;</li>
<li>Perbanyakan suatu Ciptaan selain Program Komputer, secara terbatas
dengan cara atau alat apa pun atau proses yang serupa oleh perpustakaan
umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan pusat dokumentasi
yang nonkomersial semata mata untuk keperluan aktivitasnya;</li>
<li>perubahan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis
atas karya arsitektur, seperti Ciptaan bangunan;</li>
<li>pembuatan salinan cadangan suatu Program Komputer oleh pemilik
Program Komputer yang dilakukan semata mata untuk digunakan sendiri.</li>
</ol>
</div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<center>
<br />
<b>Pasal 16</b></center>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;"><br /></td>
<td>
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="1">
<li>Untuk kepentingan pendidikan, ilmu pengetahuan, serta kegiatan
penelitian dan pengembangan, terhadap Ciptaan dalam bidang ilmu
pengetahuan dan sastra, Menteri setelah mendengar pertimbangan Dewan Hak
Cipta dapat:
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="1">
<li>mewajibkan Pemegang Hak Cipta untuk melaksanakan sendiri
penerjemahan dan/atau Perbanyakan Ciptaan tersebut di wilayah Negara
Republik Indonesia dalam waktu yang ditentukan;</li>
<li>mewajibkan Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan untuk memberikan
izin kepada pihak lain untuk menerjemahkan dan/atau memperbanyak Ciptaan
tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia dalam waktu yang
ditentukan dalam hal Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan tidak
melaksanakan sendiri atau melaksanakan sendiri kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam huruf a;</li>
<li>menunjuk pihak lain untuk melakukan penerjemahan dan/atau
Perbanyakan Ciptaan tersebut dalam hal Pemegang Hak Cipta tidak
melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam huruf b.</li>
</ol>
</div>
</li>
<li>Kewajiban untuk menerjemahkan sebagaimana dim aksud pada ayat (1),
dilaksanakan setelah lewat jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak
diterbitkannya Ciptaan di bidang ilmu pengetahuan dan sastra selama
karya tersebut belum pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.</li>
<li>Kewajiban untuk memperbanyak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan setelah lewat jangka waktu:
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="1">
<li>3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya buku di bidang matematika dan
ilmu pengetahuan alam dan buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah
Negara Republik Indonesia;</li>
<li>5 (lima) tahun sejak diterbitkannya buku di bidang ilmu sosial dan
buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah Negara Republik Indonesia;</li>
</ol>
</div>
</li>
</ol>
</div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<span><span class="pagenum" id="9" title="Halaman:UU 19 2002.djvu/9"></span></span>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;"><br /></td>
<td>
<div style="margin-left: 1.7em; text-indent: 0em;">
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="3">
<li>7 (tujuh) tahun sejak diumumkannya buku di bidang seni dan sastra
dan buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah Negara Republik
Indonesia.</li>
</ol>
</div>
</div>
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="4">
<li>Penerjemahan atau Perbanyakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dapat digunakan untuk pemakaian di dalam wilayah Negara Republik
Indonesia dan tidak untuk diekspor ke wilayah Negara lain.</li>
<li>Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan
huruf c disertai pemberian imbalan yang besarnya ditetapkan dengan
Keputusan Presiden.</li>
<li>Ketentuan tentang tata cara pengajuan Permohonan untuk menerjemahkan
dan/atau memperbanyak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.</li>
</ol>
</div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<center>
<br />
<b>Pasal 17</b></center>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;"><br /></td>
<td>Pemerintah melarang Pengumuman setiap Ciptaan yang bertentangan
dengan kebijaksanaan Pemerintah di bidang agama, pertahanan dan keamanan
Negara, kesusilaan, serta ketertiban umum setelah mendengar
pertimbangan Dewan Hak Cipta.</td>
</tr>
</tbody></table>
<center>
<br />
<b>Pasal 18</b></center>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;"><br /></td>
<td>
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="1">
<li>Pengumuman suatu Ciptaan yang diselenggarakan oleh Pemerintah untuk
kepentingan nasional melalui radio, televisi dan/atau sarana lain dapat
dilakukan dengan tidak meminta izin kepada Pemegang Hak Cipta dengan
ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pemegang Hak
Cipta, dan kepada Pemegang Hak Cipta diberikan imbalan yang layak.</li>
<li>Lembaga Penyiaran yang mengumumkan Ciptaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berwenang mengabadikan Ciptaan itu semata-mata untuk Lembaga
Penyiaran itu sendiri dengan ketentuan bahwa untuk penyiaran
selanjutnya, Lembaga Penyiaran tersebut harus memberikan imbalan yang
layak kepada Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan.</li>
</ol>
</div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<center>
<b><br />
Bagian Keenam<br />
Hak Cipta atas Potret</b></center>
<center>
<br />
<b>Pasal 19</b></center>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;"><br /></td>
<td>
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="1">
<li>Untuk memperbanyak atau mengumumkan Ciptaannya, Pemegang Hak Cipta
atas Potret seseorang harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari orang
yang dipotret, atau izin ahli warisnya dalam jangka waktu 10 (sepuluh)
tahun setelah orang yang dipotret meninggal dunia.</li>
<li>Jika suatu Potret memuat gambar 2 (dua) orang atau lebih, untuk
Perbanyakan atau Pengumuman setiap orang yang dipotret, apabila
Pengumuman atau Perbanyakan itu memuat juga orang lain dalam Potret itu,
Pemegang Hak Cipta harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari setiap</li>
</ol>
</div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<span><span class="pagenum" id="10" title="Halaman:UU 19 2002.djvu/10"></span></span>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;"><br /></td>
<td>
<div style="margin-left: 1.7em; text-indent: 0em;">
orang dalam Potret
itu, atau izin ahli waris masing-masing dalam jangka waktu 10 (sepuluh)
tahun setelah yang dipotret meninggal dunia.</div>
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="3">
<li>Ketentuan dalam Pasal ini hanya berlaku terhadap Potret yang dibuat:
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="1">
<li>atas permintaan sendiri dari orang yang dipotret;</li>
<li>atas permintaan yang dilakukan atas nama orang yang dipotret; atau</li>
<li>untuk kepentingan orang yang dipotret.</li>
</ol>
</div>
</li>
</ol>
</div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<center>
<br />
<b>Pasal 20</b></center>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;"><br /></td>
<td>Pemegang Hak Cipta atas Potret tidak boleh mengumumkan potret yang
dibuat:
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="1">
<li>tanpa persetujuan dari orang yang dipotret;</li>
<li>tanpa persetujuan orang lain atas nama yang dipotret; atau</li>
<li>tidak untuk kepentingan yang dipotret,</li>
</ol>
</div>
apabila Pengumuman itu bertentangan dengan kepentingan yang wajar
dari orang yang dipotret, atau dari salah seorang ahli warisnya apabila
orang yang dipotret sudah meninggal dunia.<br />
</td>
</tr>
</tbody></table>
<center>
<br />
<b>Pasal 21</b></center>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;"><br /></td>
<td>Tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta, pemotretan untuk
diumumkan atas seorang Pelaku atau lebih dalam suatu pertunjukan umum
walaupun yang bersifat komersial, kecuali dinyatakan lain oleh orang
yang berkepentingan.</td>
</tr>
</tbody></table>
<center>
<br />
<b>Pasal 22</b></center>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;"><br /></td>
<td>Untuk kepentingan keamanan umum dan/atau untuk keperluan proses
peradilan pidana, Potret seseorang dalam keadaan bagaimanapun juga dapat
diperbanyak dan diumumkan oleh instansi yang berwenang.</td>
</tr>
</tbody></table>
<center>
<br />
<b>Pasal 23</b></center>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;"><br /></td>
<td>Kecuali terdapat persetujuan lain antara Pemegang Hak Cipta dan
pemilik Ciptaan fotografi, seni lukis, gambar, arsitektur, seni pahat
dan/atau hasil seni lain, pemilik berhak tanpa persetujuan Pemegang Hak
Cipta untuk mempertunjukkan Ciptaan di dalam suatu pameran untuk umum
atau memperbanyaknya dalam satu katalog tanpa mengurangi ketentuan Pasal
19 dan Pasal 20 apabila hasil karya seni tersebut berupa Potret.</td>
</tr>
</tbody></table>
<center>
<b><br />
Bagian Ketujuh<br />
Hak Moral</b></center>
<center>
<br />
<b>Pasal 24</b></center>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;"><br /></td>
<td>
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="1">
<li>Pencipta atau ahli warisnya berhak menuntut Pemegang Hak Cipta
supaya nama Pencipta tetap dicantumkan dalam Ciptaannya.</li>
</ol>
</div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<span><span class="pagenum" id="11" title="Halaman:UU 19 2002.djvu/11"></span></span>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;"><br /></td>
<td>
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="2">
<li>Suatu Ciptaan tidak boleh diubah walaupun Hak Ciptanya telah
diserahkan kepada pihak lain, kecuali dengan persetujuan Pencipta atau
dengan persetujuan ahli warisnya dalam hal Pencipta telah meninggal
dunia.</li>
<li>Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku juga terhadap
perubahan judul dan anak judul Ciptaan, pencantuman dan perubahan nama
atau nama samaran Pencipta.</li>
<li>Pencipta tetap berhak mengadakan perubahan pada Ciptaannya sesuai
dengan kepatutan dalam masyarakat.</li>
</ol>
</div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<center>
<br />
<b>Pasal 25</b></center>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;"><br /></td>
<td>
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="1">
<li>Informasi elektronik tentang informasi manajemen hak Pencipta tidak
boleh ditiadakan atau diubah.</li>
<li>Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.</li>
</ol>
</div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<center>
<br />
<b>Pasal 26</b></center>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;"><br /></td>
<td>
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="1">
<li>Hak Cipta atas suatu Ciptaan tetap berada di tangan Pencipta selama
kepada pembeli Ciptaan itu tidak diserahkan seluruh Hak Cipta dari
Pencipta itu.</li>
<li>Hak Cipta yang dijual untuk seluruh atau sebagian tidak dapat dijual
untuk kedua kalinya oleh penjual yang sama.</li>
<li>Dalam hal timbul sengketa antara beberapa pembeli Hak Cipta yang
sama atas suatu Ciptaan, perlindungan diberikan kepada pembeli yang
lebih dahulu memperoleh Hak Cipta itu.</li>
</ol>
</div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<center>
<b><br />
Bagian Kedelapan<br />
Sarana Kontrol Teknologi</b></center>
<center>
<br />
<b>Pasal 27</b></center>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;"><br /></td>
<td>Kecuali atas izin Pencipta, sarana kontrol teknologi sebagai
pengaman hak Pencipta tidak diperbolehkan dirusak, ditiadakan, atau
dibuat tidak berfungsi.</td>
</tr>
</tbody></table>
<center>
<br />
<b>Pasal 28</b></center>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;"><br /></td>
<td>
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="1">
<li>Ciptaan ciptaan yang menggunakan sarana produksi berteknologi
tinggi, khususnya di bidang cakram optik (<i>optical disc</i>), wajib
memenuhi semua peraturan perizinan dan persyaratan produksi yang
ditetapkan oleh instansi yang berwenang.</li>
<li>Ketentuan lebih lanjut mengenai sarana produksi berteknologi tinggi
yang memproduksi cakram optik sebagaimana diatur pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah</li>
</ol>
</div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<center>
<span id="3"></span><b><br />
BAB III</b></center>
<span><span class="pagenum" id="12" title="Halaman:UU 19 2002.djvu/12"></span></span>
<center>
<span id="MASA_BERLAKU_HAK_CIPTA"></span><b>MASA BERLAKU HAK
CIPTA</b></center>
<center>
<br />
<b>Pasal 29</b></center>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;"><br /></td>
<td>
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="1">
<li>Hak Cipta atas Ciptaan:
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="1">
<li>buku, pamflet, dan semua hasil karya tulis lain;</li>
<li>drama atau drama musikal, tari, koreografi;</li>
<li>segala bentuk seni rupa, seperti seni lukis, seni pahat, dan seni
patung;</li>
<li>seni batik;</li>
<li>lagu atau musik dengan atau tanpa teks;</li>
<li>arsitektur;</li>
<li>ceramah, kuliah, pidato dan Ciptaan sejenis lain;</li>
<li>alat peraga;</li>
<li>peta;</li>
<li>terjemahan, tafsir, saduran, dan bunga rampai,</li>
</ol>
</div>
berlaku selama hidup Pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima
puluh) tahun setelah Pencipta meninggal dunia.<br />
</li>
<li>Untuk Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dimiliki oleh 2
(dua) orang atau lebih, Hak Cipta berlaku selama hidup Pencipta yang
meninggal dunia paling akhir dan berlangsung hingga 50 (lima puluh)
tahun sesudahnya.</li>
</ol>
</div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<center>
<br />
<b>Pasal 30</b></center>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;"><br /></td>
<td>
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="1">
<li>Hak Cipta atas Ciptaan:
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="1">
<li>Program Komputer;</li>
<li>sinematografi;</li>
<li>fotografi;</li>
<li><i>database</i>; dan</li>
<li>karya hasil pengalihwujudan,</li>
</ol>
</div>
berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan.<br />
</li>
<li>Hak Cipta atas perwajahan karya tulis yang diterbitkan berlaku
selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diterbitkan.</li>
<li>Hak Cipta atas Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) Pasal ini serta Pasal 29 ayat (1) yang dimiliki atau dipegang oleh
suatu badan hukum berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama
kali diumumkan.</li>
</ol>
</div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<center>
<br />
<b>Pasal 31</b></center>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;"><br /></td>
<td>
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="1">
<li>Hak Cipta atas Ciptaan yang dipegang atau dilaksanakan oleh Negara
berdasarkan:
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="1">
<li>Pasal 10 ayat (2) berlaku tanpa batas waktu;</li>
<li>Pasal 11 ayat (1) dan ayat (3) berlaku selama 50 (lima puluh) tahun
sejak Ciptaan tersebut pertama kali diketahui umum.</li>
</ol>
</div>
</li>
</ol>
</div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<span><span class="pagenum" id="13" title="Halaman:UU 19 2002.djvu/13"></span></span>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;"><br /></td>
<td>
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="2">
<li>Hak Cipta atas Ciptaan yang dilaksanakan oleh Penerbit berdasarkan
Pasal 11 ayat (2) berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak Ciptaan
tersebut pertama kali diterbitkan.</li>
</ol>
</div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<center>
<br />
<b>Pasal 32</b></center>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;"><br /></td>
<td>
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="1">
<li>Jangka waktu berlakunya Hak Cipta atas Ciptaan yang diumumkan bagian
demi bagian dihitung mulai tanggal Pengumuman bagian yang terakhir.</li>
<li>Dalam menentukan jangka waktu berlakunya Hak Cipta atas Ciptaan yang
terdiri atas 2 (dua) jilid atau lebih, demikian pula ikhtisar dan
berita yang diumumkan secara berkala dan tidak bersamaan waktunya,
setiap jilid atau ikhtisar dan berita itu masing masing dianggap sebagai
Ciptaan tersendiri.</li>
</ol>
</div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<center>
<br />
<b>Pasal 33</b></center>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;"><br /></td>
<td>Jangka waktu perlindungan bagi hak Pencipta sebagaimana dimaksud
dalam:
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="1">
<li>Pasal 24 ayat (1) berlaku tanpa batas waktu;</li>
<li>Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3) berlaku selama berlangsungnya jangka
waktu Hak Cipta atas Ciptaan yang bersangkutan, kecuali untuk
pencantuman dan perubahan nama atau nama samaran Penciptanya.</li>
</ol>
</div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<center>
<br />
<b>Pasal 34</b></center>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;"><br /></td>
<td>Tanpa mengurangi hak Pencipta atas jangka waktu perlindungan Hak
Cipta yang dihitung sejak lahirnya suatu Ciptaan, penghitungan jangka
waktu perlindungan bagi Ciptaan yang dilindungi:
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="1">
<li>selama 50 (lima puluh) tahun;</li>
<li>selama hidup Pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh)
tahun setelah Pencipta meninggal dunia, dimulai sejak 1 Januari untuk
tahun berikutnya setelah Ciptaan tersebut diumumkan, diketahui oleh
umum, diterbitkan, atau setelah Pencipta meninggal dunia.</li>
</ol>
</div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<center>
<span id="4"></span><b><br />
BAB IV<br />
PENDAFTARAN CIPTAAN</b></center>
<center>
<br />
<b>Pasal 35</b></center>
<table style="width: 100%;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td style="width: 12%;"><br /></td>
<td>
<div style="margin-left: -1.5em; text-indent: 0em;">
<ol start="1">
<li>Direktorat Jenderal menyelenggarakan pendaftaran Ciptaan dan dicatat
dalam Daftar Umum Ciptaan.</li>
<li>Daftar Umum Ciptaan tersebut dapat dilihat oleh setiap orang tanpa
dikenai biaya.</li>
</ol>
</div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<div id="my-ss">
<span></span></div>
<div id="ct-popup" style="height: 0px; position: absolute; width: 100%;">
<div style="background-color: black; float: right; opacity: 0.2; width: 0px;">
</div>
<div style="background-color: black; opacity: 0.2; width: 0px;">
</div>
</div>
(3) Setiap orang dapat memperoleh untuk dirinya sendiri suatu petikan
dari Daftar Umum Ciptaan tersebut dengan dikenai biaya.<br />
(4) Ketentuan tentang pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak merupakan kewajiban untuk mendapatkan Hak Cipta.<br />
<h4>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=1" title="Sunting bagian: Pasal 36">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Pasal_36">Pasal 36</span></h4>
Pendaftaran Ciptaan dalam Daftar Umum Ciptaan tidak mengandung arti
sebagai pengesahan atas isi, arti, maksud, atau bentuk dari Ciptaan yang
didaftar.<br />
<h4>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=2" title="Sunting bagian: Pasal 37">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Pasal_37">Pasal 37</span></h4>
(1) Pendaftaran Ciptaan dalam Daftar Umum Ciptaan dilakukan atas
Permohonan yang diajukan oleh Pencipta atau oleh Pemegang Hak Cipta atau
Kuasa.<br />
(2) Permohonan diajukan kepada Direktorat Jenderal dengan surat
rangkap 2 (dua) yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan disertai contoh
Ciptaan atau penggantinya dengan dikenai biaya.<br />
(3) Terhadap Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Direktorat Jenderal akan memberikan keputusan paling lama 9 (sembilan)
bulan terhitung sejak tanggal diterimanya Permohonan secara lengkap.<br />
(4) Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah konsultan yang
terdaftar pada Direktorat Jenderal.<br />
(5) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara untuk dapat
diangkat dan terdaftar sebagai konsultan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.<br />
(6) Ketentuan lebih lanjut tentang syarat dan tata cara Permohonan
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.<br />
<h4>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=3" title="Sunting bagian: Pasal 38">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Pasal_38">Pasal 38</span></h4>
Dalam hal Permohonan diajukan oleh lebih dari seorang atau suatu
badan hukum yang secara bersama-sama berhak atas suatu Ciptaan,
Permohonan tersebut dilampiri salinan resmi akta atau keterangan
tertulis yang membuktikan hak tersebut.<br />
<h4>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=4" title="Sunting bagian: Pasal 39">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Pasal_39">Pasal 39</span></h4>
Dalam Daftar Umum Ciptaan dimuat, antara lain:<br />
<dl><dd>a. nama Pencipta dan Pemegang Hak Cipta;</dd></dl>
<dl><dd>b. tanggal penerimaan surat Permohonan;</dd></dl>
<dl><dd>c. tanggal lengkapnya persyaratan menurut Pasal 37; dan</dd></dl>
<dl><dd>d. nomor pendaftaran Ciptaan.</dd></dl>
<h4>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=5" title="Sunting bagian: Pasal 40">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Pasal_40">Pasal 40</span></h4>
(1) Pendaftaran Ciptaan dianggap telah dilakukan pada saat
diterimanya Permohonan oleh Direktorat Jenderal dengan lengkap menurut
Pasal 37, atau pada saat diterimanya Permohonan dengan lengkap menurut
Pasal 37 dan Pasal 38 jika Permohonan diajukan oleh lebih dari seorang
atau satu badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38.<br />
(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan dalam
Berita Resmi Ciptaan oleh Direktorat Jenderal.<br />
<h4>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=6" title="Sunting bagian: Pasal 41">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Pasal_41">Pasal 41</span></h4>
(1) Pemindahan hak atas pendaftaran Ciptaan, yang terdaftar menurut
Pasal 39 yang terdaftar dalam satu nomor, hanya diperkenankan jika
seluruh Ciptaan yang terdaftar itu dipindahkan haknya kepada penerima
hak.<br />
(2) Pemindahan hak tersebut dicatat dalam Daftar Umum Ciptaan atas
permohonan tertulis dari kedua belah pihak atau dari penerima hak dengan
dikenai biaya.<br />
(3) Pencatatan pemindahan hak tersebut diumumkan dalam Berita Resmi
Ciptaan oleh Direktorat Jenderal.<br />
<h4>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=7" title="Sunting bagian: Pasal 42">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Pasal_42">Pasal 42</span></h4>
Dalam hal Ciptaan didaftar menurut Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2)
serta Pasal 39, pihak lain yang menurut Pasal 2 berhak atas Hak Cipta
dapat mengajukan gugatan pembatalan melalui Pengadilan Niaga.<br />
<h4>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=8" title="Sunting bagian: Pasal 43">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Pasal_43">Pasal 43</span></h4>
(1) Perubahan nama dan/atau perubahan alamat orang atau badan hukum
yang namanya tercatat dalam Daftar Umum Ciptaan sebagai Pencipta atau
Pemegang Hak Cipta, dicatat dalam Daftar Umum Ciptaan atas permintaan
tertulis Pencipta atau Pemegang Hak Cipta yang mempunyai nama dan alamat
itu dengan dikenai biaya.<br />
(2) Perubahan nama dan/atau perubahan alamat tersebut diumumkan dalam
Berita Resmi Ciptaan oleh Direktorat Jenderal.<br />
<h4>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=9" title="Sunting bagian: Pasal 44">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Pasal_44">Pasal 44</span></h4>
Kekuatan hukum dari suatu pendaftaran Ciptaan hapus karena:<br />
<dl><dd>a. penghapusan atas permohonan orang atau badan hukum yang namanya
tercatat sebagai Pencipta atau Pemegang Hak Cipta;</dd></dl>
<dl><dd>b. lampau waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, dan
Pasal 31 dengan mengingat Pasal 32;</dd></dl>
<dl><dd>c. dinyatakan batal oleh putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.</dd></dl>
<h2>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=10" title="Sunting bagian: BAB V LISENSI">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="BAB_V_LISENSI">BAB V LISENSI</span></h2>
<h4>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=11" title="Sunting bagian: Pasal 45">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Pasal_45">Pasal 45</span></h4>
(1) Pemegang Hak Cipta berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain
berdasarkan surat perjanjian Lisensi untuk melaksanakan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.<br />
(2) Kecuali diperjanjikan lain, lingkup Lisensi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi semua perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
berlangsung selama jangka waktu Lisensi diberikan dan berlaku untuk
seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.<br />
(3) Kecuali diperjanjikan lain, pelaksanaan perbuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disertai dengan kewajiban pemberian
royalti kepada Pemegang Hak Cipta oleh penerima Lisensi.<br />
(4) Jumlah royalti yang wajib dibayarkan kepada Pemegang Hak Cipta
oleh penerima Lisensi adalah berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak
dengan berpedoman kepada kesepakatan organisasi profesi.<br />
<h4>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=12" title="Sunting bagian: Pasal 46">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Pasal_46">Pasal 46</span></h4>
Kecuali diperjanjikan lain, Pemegang Hak Cipta tetap boleh
melaksanakan sendiri atau memberikan Lisensi kepada pihak ketiga untuk
melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.<br />
<h4>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=13" title="Sunting bagian: Pasal 47">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Pasal_47">Pasal 47</span></h4>
(1) Perjanjian Lisensi dilarang memuat ketentuan yang dapat
menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian Indonesia atau memuat
ketentuan yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br />
(2) Agar dapat mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga,
perjanjian Lisensi wajib dicatatkan di Direktorat Jenderal.<br />
(3) Direktorat Jenderal wajib menolak pencatatan perjanjian Lisensi
yang memuat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).<br />
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pencatatan perjanjian Lisensi
diatur dengan Keputusan Presiden.<br />
<h2>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=14" title="Sunting bagian: BAB VI DEWAN HAK CIPTA">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="BAB_VI_DEWAN_HAK_CIPTA">BAB VI DEWAN HAK CIPTA</span></h2>
<h4>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=15" title="Sunting bagian: Pasal 48">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Pasal_48">Pasal 48</span></h4>
(1) Untuk membantu Pemerintah dalam memberikan penyuluhan dan
pembimbingan serta pembinaan Hak Cipta, dibentuk Dewan Hak Cipta.<br />
(2) Keanggotaan Dewan Hak Cipta terdiri atas wakil pemerintah, wakil
organisasi profesi, dan anggota masyarakat yang memiliki kompetensi di
bidang Hak Cipta, yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas
usul Menteri.<br />
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, fungsi, susunan, tata
kerja, pembiayaan, masa bakti Dewan Hak Cipta ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.<br />
(4) Biaya untuk Dewan Hak Cipta sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dibebankan kepada anggaran belanja departemen yang melakukan pembinaan
di bidang Hak Kekayaan Intelektual.<br />
<h2>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=16" title="Sunting bagian: BAB VII HAK TERKAIT">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="BAB_VII_HAK_TERKAIT">BAB VII HAK TERKAIT</span></h2>
<h4>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=17" title="Sunting bagian: Pasal 49">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Pasal_49">Pasal 49</span></h4>
(1) Pelaku memiliki hak eksklusif untuk memberikan izin atau melarang
pihak lain yang tanpa persetujuannya membuat, memperbanyak, atau
menyiarkan rekaman suara dan/atau gambar pertunjukannya.<br />
(2) Produser Rekaman Suara memiliki hak eksklusif untuk memberikan
izin atau melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya memperbanyak
dan/atau menyewakan karya rekaman suara atau rekaman bunyi.<br />
(3) Lembaga Penyiaran memiliki hak eksklusif untuk memberikan izin
atau melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya membuat,
memperbanyak, dan/atau menyiarkan ulang karya siarannya melalui
transmisi dengan atau tanpa kabel, atau melalui sistem elektromagnetik
lain.<br />
<h4>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=18" title="Sunting bagian: Pasal 50">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Pasal_50">Pasal 50</span></h4>
(1) Jangka waktu perlindungan bagi:<br />
<dl><dd>a. Pelaku, berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak karya tersebut
pertama kali dipertunjukkan atau dimasukkan ke dalam media audio atau
media audiovisual;</dd></dl>
<dl><dd>b. Produser Rekaman Suara, berlaku selama 50 (lima puluh) tahun
sejak karya tersebut selesai direkam;</dd></dl>
<dl><dd>c. Lembaga Penyiaran, berlaku selama 20 (dua puluh) tahun sejak
karya siaran tersebut pertama kali disiarkan.</dd></dl>
(2) Penghitungan jangka waktu perlindungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dimulai sejak tanggal 1 Januari tahun berikutnya setelah:<br />
<dl><dd>a. karya pertunjukan selesai dipertunjukkan atau dimasukkan ke dalam
media audio atau media audiovisual;</dd></dl>
<dl><dd>b. karya rekaman suara selesai direkam;</dd></dl>
<dl><dd>c. karya siaran selesai disiarkan untuk pertama kali.</dd></dl>
<h4>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=19" title="Sunting bagian: Pasal 51">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Pasal_51">Pasal 51</span></h4>
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal
6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 14 huruf b dan
huruf c, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26,
Pasal 27, Pasal 28, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39,
Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46,
Pasal 47, Pasal 48, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56,
Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63,
Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66, Pasal 68, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71,
Pasal 74, Pasal 75, Pasal 76, dan Pasal 77 berlaku mutatis mutandis
terhadap Hak Terkait.<br />
<h2>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=20" title="Sunting bagian: BAB VIII PENGELOLAAN HAK CIPTA">sunting</a>]</span>
<span class="mw-headline" id="BAB_VIII_PENGELOLAAN_HAK_CIPTA">BAB VIII
PENGELOLAAN HAK CIPTA</span></h2>
<h4>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=21" title="Sunting bagian: Pasal 52">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Pasal_52">Pasal 52</span></h4>
Penyelenggaraan administrasi Hak Cipta sebagaimana diatur dalam
Undang-undang ini dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal.<br />
<h4>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=22" title="Sunting bagian: Pasal 53">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Pasal_53">Pasal 53</span></h4>
Direktorat Jenderal menyelenggarakan sistem jaringan dokumentasi dan
informasi Hak Cipta yang bersifat nasional, yang mampu menyediakan
informasi tentang Hak Cipta seluas mungkin kepada masyarakat.<br />
<h2>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=23" title="Sunting bagian: BAB IX BIAYA">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="BAB_IX_BIAYA">BAB IX BIAYA</span></h2>
<h4>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=24" title="Sunting bagian: Pasal 54">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Pasal_54">Pasal 54</span></h4>
(1) Untuk setiap pengajuan Permohonan, permintaan petikan Daftar Umum
Ciptaan, pencatatan pengalihan Hak Cipta, pencatatan perubahan nama
dan/atau alamat, pencatatan perjanjian Lisensi, pencatatan Lisensi
wajib, serta lain-lain yang ditentukan dalam Undang-undang ini dikenai
biaya yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.<br />
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, jangka waktu, dan
tata cara pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Keputusan Presiden.<br />
(3) Direktorat Jenderal dengan persetujuan Menteri dan Menteri
Keuangan dapat menggunakan penerimaan yang berasal dari biaya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berdasarkan
perundang-undangan yang berlaku.<br />
<h2>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=25" title="Sunting bagian: BAB X PENYELESAIAN SENGKETA">sunting</a>]</span>
<span class="mw-headline" id="BAB_X_PENYELESAIAN_SENGKETA">BAB X
PENYELESAIAN SENGKETA</span></h2>
<h4>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=26" title="Sunting bagian: Pasal 55">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Pasal_55">Pasal 55</span></h4>
Penyerahan Hak Cipta atas seluruh Ciptaan kepada pihak lain tidak
mengurangi hak Pencipta atau ahli warisnya untuk menggugat yang tanpa
persetujuannya:<br />
<dl><dd>a. meniadakan nama Pencipta yang tercantum pada Ciptaan itu;</dd></dl>
<dl><dd>b. mencantumkan nama Pencipta pada Ciptaannya;</dd></dl>
<dl><dd>c. mengganti atau mengubah judul Ciptaan; atau</dd></dl>
<dl><dd>d. mengubah isi Ciptaan.</dd></dl>
<h4>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=27" title="Sunting bagian: Pasal 56">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Pasal_56">Pasal 56</span></h4>
(1) Pemegang Hak Cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada
Pengadilan Niaga atas pelanggaran Hak Ciptanya dan meminta penyitaan
terhadap benda yang diumumkan atau hasil Perbanyakan Ciptaan itu.<br />
(2) Pemegang Hak Cipta juga berhak memohon kepada Pengadilan Niaga
agar memerintahkan penyerahan seluruh atau sebagian penghasilan yang
diperoleh dari penyelenggaraan ceramah, pertemuan ilmiah, pertunjukan
atau pameran karya, yang merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta.<br />
(3) Sebelum menjatuhkan putusan akhir dan untuk mencegah kerugian
yang lebih besar pada pihak yang haknya dilanggar, hakim dapat
memerintahkan pelanggar untuk menghentikan kegiatan Pengumuman dan/atau
Perbanyakan Ciptaan atau barang yang merupakan hasil pelanggaran Hak
Cipta.<br />
<h4>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=28" title="Sunting bagian: Pasal 57">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Pasal_57">Pasal 57</span></h4>
Hak dari Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak
berlaku terhadap Ciptaan yang berada pada pihak yang dengan itikad baik
memperoleh Ciptaan tersebut semata-mata untuk keperluan sendiri dan
tidak digunakan untuk suatu kegiatan komersial dan/atau kepentingan yang
berkaitan dengan kegiatan komersial.<br />
<h4>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=29" title="Sunting bagian: Pasal 58">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Pasal_58">Pasal 58</span></h4>
Pencipta atau ahli waris suatu Ciptaan dapat mengajukan gugatan ganti
rugi atas pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.<br />
<h4>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=30" title="Sunting bagian: Pasal 59">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Pasal_59">Pasal 59</span></h4>
Gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, Pasal 56, dan Pasal 58
wajib diputus dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari terhitung
sejak gugatan didaftarkan di Pengadilan Niaga yang bersangkutan.<br />
<h4>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=31" title="Sunting bagian: Pasal 60">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Pasal_60">Pasal 60</span></h4>
(1) Gugatan atas pelanggaran Hak Cipta diajukan kepada Ketua
Pengadilan Niaga.<br />
(2) Panitera mendaftarkan gugatan tersebut pada ayat (1) pada tanggal
gugatan diajukan dan kepada penggugat diberikan tanda terima tertulis
yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dengan tanggal yang sama
dengan tanggal pendaftaran.<br />
(3) Panitera menyampaikan gugatan kepada Ketua Pengadilan Niaga
paling lama 2 (dua) hari terhitung setelah gugatan didaftarkan.<br />
(4) Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari setelah gugatan
didaftarkan, Pengadilan Niaga mempelajari gugatan dan menetapkan hari
sidang.<br />
(5) Sidang pemeriksaan atas gugatan dimulai dalam jangka waktu paling
lama 60 (enam puluh) hari setelah gugatan didaftarkan.<br />
<h4>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=32" title="Sunting bagian: Pasal 61">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Pasal_61">Pasal 61</span></h4>
(1) Pemanggilan para pihak dilakukan oleh juru sita paling lama 7
(tujuh) hari setelah gugatan didaftarkan.<br />
(2) Putusan atas gugatan harus diucapkan paling lama 90 (sembilan
puluh) hari setelah gugatan didaftarkan dan dapat diperpanjang paling
lama 30 (tiga puluh) hari atas persetujuan Ketua Mahkamah Agung.<br />
(3) Putusan atas gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang
memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut
harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan apabila diminta
dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun terhadap putusan tersebut
diajukan suatu upaya hukum.<br />
(4) Isi putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
wajib disampaikan oleh juru sita kepada para pihak paling lama 14 (empat
belas) hari setelah putusan atas gugatan diucapkan.<br />
<h4>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=33" title="Sunting bagian: Pasal 62">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Pasal_62">Pasal 62</span></h4>
(1) Terhadap putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 61 ayat (4) hanya dapat diajukan kasasi.<br />
(2) Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
paling lama 14 (empat belas) hari setelah tanggal putusan yang
dimohonkan kasasi diucapkan atau diberitahukan kepada para pihak dengan
mendaftarkan kepada Pengadilan yang telah memutus gugatan tersebut.<br />
(3) Panitera mendaftar permohonan kasasi pada tanggal permohonan yang
bersangkutan diajukan dan kepada pemohon kasasi diberikan tanda terima
tertulis yang ditandatangani oleh panitera dengan tanggal yang sama
dengan tanggal penerimaan pendaftaran.<br />
<h4>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=34" title="Sunting bagian: Pasal 63">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Pasal_63">Pasal 63</span></h4>
(1) Pemohon kasasi wajib menyampaikan memori kasasi kepada panitera
dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal permohonan kasasi
didaftarkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (2).<br />
(2) Panitera wajib mengirimkan permohonan kasasi dan memori kasasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pihak termohon kasasi paling
lama 7 (tujuh) hari setelah memori kasasi diterima oleh panitera.<br />
(3) Termohon kasasi dapat mengajukan kontra memori kasasi kepada
panitera paling lama 14 (empat belas) hari setelah tanggal termohon
kasasi menerima memori kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
panitera wajib menyampaikan kontra memori kasasi kepada pemohon kasasi
paling lama 7 (tujuh) hari setelah kontra memori kasasi diterima oleh
panitera.<br />
(4) Panitera wajib mengirimkan berkas perkara kasasi yang
bersangkutan kepada Mahkamah Agung paling lama 14 (empat belas) hari
setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3).<br />
<h4>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=35" title="Sunting bagian: Pasal 64">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Pasal_64">Pasal 64</span></h4>
(1) Mahkamah Agung wajib mempelajari berkas perkara kasasi dan
menetapkan hari sidang paling lama 7 (tujuh) hari setelah permohonan
kasasi diterima oleh Mahkamah Agung.<br />
(2) Sidang pemeriksaan atas permohonan kasasi mulai dilakukan paling
lama 60 (enam puluh) hari setelah permohonan kasasi diterima oleh
Mahkamah Agung.<br />
(3) Putusan atas permohonan kasasi harus diucapkan paling lama 90
(sembilan puluh) hari setelah permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah
Agung.<br />
(4) Putusan atas permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan
tersebut harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.<br />
(5) Panitera Mahkamah Agung wajib menyampaikan salinan putusan kasasi
kepada panitera paling lama 7 (tujuh) hari setelah putusan atas
permohonan kasasi diucapkan.<br />
(6) Juru sita wajib menyampaikan salinan putusan kasasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) kepada pemohon kasasi dan termohon kasasi paling
lama 7 (tujuh) hari setelah putusan kasasi diterima oleh panitera.<br />
<h4>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=36" title="Sunting bagian: Pasal 65">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Pasal_65">Pasal 65</span></h4>
Selain penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dan
Pasal 56, para pihak dapat menyelesaikan perselisihan tersebut melalui
arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.<br />
<h4>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=37" title="Sunting bagian: Pasal 66">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Pasal_66">Pasal 66</span></h4>
Hak untuk mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55,
Pasal 56, dan Pasal 65 tidak mengurangi hak Negara untuk melakukan
tuntutan pidana terhadap pelanggaran Hak Cipta.<br />
<h2>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=38" title="Sunting bagian: BAB XI PENETAPAN SEMENTARA PENGADILAN">sunting</a>]</span>
<span class="mw-headline" id="BAB_XI_PENETAPAN_SEMENTARA_PENGADILAN">BAB
XI PENETAPAN SEMENTARA PENGADILAN</span></h2>
<h4>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=39" title="Sunting bagian: Pasal 67">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Pasal_67">Pasal 67</span></h4>
Atas permintaan pihak yang merasa dirugikan, Pengadilan Niaga dapat
menerbitkan surat penetapan dengan segera dan efektif untuk:<br />
<dl><dd>a. mencegah berlanjutnya pelanggaran Hak Cipta, khususnya mencegah
masuknya barang yang diduga melanggar Hak Cipta atau Hak Terkait ke
dalam jalur perdagangan, termasuk tindakan importasi;</dd></dl>
<dl><dd>b. menyimpan bukti yang berkaitan dengan pelanggaran Hak Cipta atau
Hak Terkait tersebut guna menghindari terjadinya penghilangan barang
bukti;</dd></dl>
<dl><dd>c. meminta kepada pihak yang merasa dirugikan, untuk memberikan
bukti yang menyatakan bahwa pihak tersebut memang berhak atas Hak Cipta
atau Hak Terkait, dan hak Pemohon tersebut memang sedang dilanggar.</dd></dl>
<h4>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=40" title="Sunting bagian: Pasal 68">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Pasal_68">Pasal 68</span></h4>
Dalam hal penetapan sementara pengadilan tersebut telah dilakukan,
para pihak harus segera diberitahukan mengenai hal itu, termasuk hak
untuk didengar bagi pihak yang dikenai penetapan sementara tersebut.<br />
<h4>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=41" title="Sunting bagian: Pasal 69">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Pasal_69">Pasal 69</span></h4>
(1) Dalam hal hakim Pengadilan Niaga telah menerbitkan penetapan
sementara pengadilan, hakim Pengadilan Niaga harus memutuskan apakah
mengubah, membatalkan, atau menguatkan penetapan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 67 huruf a dan huruf b dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari sejak dikeluarkannya penetapan sementara pengadilan
tersebut.<br />
(2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari hakim tidak
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan
sementara pengadilan tidak mempunyai kekuatan hukum.<br />
<h4>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=42" title="Sunting bagian: Pasal 70">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Pasal_70">Pasal 70</span></h4>
Dalam hal penetapan sementara dibatalkan, pihak yang merasa dirugikan
dapat menuntut ganti rugi kepada pihak yang meminta penetapan sementara
atas segala kerugian yang ditimbulkan oleh penetapan sementara
tersebut.<br />
<h2>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=43" title="Sunting bagian: BAB XII PENYIDIKAN">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="BAB_XII_PENYIDIKAN">BAB XII PENYIDIKAN</span></h2>
<h4>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=44" title="Sunting bagian: Pasal 71">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Pasal_71">Pasal 71</span></h4>
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup
tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan Hak Kekayaan Intelektual
diberi wewenang khusus sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk
melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Hak Cipta.<br />
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:<br />
<dl><dd>a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan
berkenaan dengan tindak pidana di bidang Hak Cipta;</dd></dl>
<dl><dd>b. melakukan pemeriksaan terhadap pihak atau badan hukum yang diduga
melakukan tindak pidana di bidang Hak Cipta;</dd></dl>
<dl><dd>c. meminta keterangan dari pihak atau badan hukum sehubungan dengan
tindak pidana di bidang Hak Cipta;</dd></dl>
<dl><dd>d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, pencatatan, dan dokumen
lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang Hak Cipta;</dd></dl>
<dl><dd>e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat
barang bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain;</dd></dl>
<dl><dd>f. melakukan penyitaan bersama-sama dengan pihak Kepolisian terhadap
bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam
perkara tindak pidana di bidang Hak Cipta; dan</dd></dl>
<dl><dd>g. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan
tindak pidana di bidang Hak Cipta.</dd></dl>
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan
dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada
Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana.<br />
<h2>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=45" title="Sunting bagian: BAB XIII KETENTUAN PIDANA">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="BAB_XIII_KETENTUAN_PIDANA">BAB XIII KETENTUAN
PIDANA</span></h2>
<h4>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=46" title="Sunting bagian: Pasal 72">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Pasal_72">Pasal 72</span></h4>
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1
(satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta
rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).<br />
(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan,
atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak
Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).<br />
(3) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan
untuk kepentingan komersial suatu Program Komputer dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).<br />
(4) Barangsiapa dengan sengaja melanggar Pasal 17 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).<br />
(5) Barangsiapa dengan sengaja melanggar Pasal 19, Pasal 20, atau
Pasal 49 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh
juta rupiah).<br />
(6) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 24 atau
Pasal 55 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah).<br />
(7) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 25
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).<br />
(8) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 27
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).<br />
(9) Barangsiapa dengan sengaja melanggar Pasal 28 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).<br />
<h4>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=47" title="Sunting bagian: Pasal 73">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Pasal_73">Pasal 73</span></h4>
(1) Ciptaan atau barang yang merupakan hasil tindak pidana Hak Cipta
atau Hak Terkait serta alat-alat yang digunakan untuk melakukan tindak
pidana tersebut dirampas oleh Negara untuk dimusnahkan.<br />
(2) Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bidang seni dan
bersifat unik, dapat dipertimbangkan untuk tidak dimusnahkan.<br />
<h2>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=48" title="Sunting bagian: BAB XIV KETENTUAN PERALIHAN">sunting</a>]</span>
<span class="mw-headline" id="BAB_XIV_KETENTUAN_PERALIHAN">BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN</span></h2>
<h4>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=49" title="Sunting bagian: Pasal 74">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Pasal_74">Pasal 74</span></h4>
Dengan berlakunya Undang-undang ini segala peraturan
perundang-undangan di bidang Hak Cipta yang telah ada pada tanggal
berlakunya Undang-undang ini, tetap berlaku selama tidak bertentangan
atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Undang-undang ini.<br />
<h4>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=50" title="Sunting bagian: Pasal 75">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Pasal_75">Pasal 75</span></h4>
Terhadap Surat Pendaftaran Ciptaan yang telah dikeluarkan oleh
Direktorat Jenderal berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang
Hak Cipta sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987
dan terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997, masih
berlaku pada saat diundangkannya Undang-undang ini dinyatakan tetap
berlaku untuk selama sisa jangka waktu perlindungannya.<br />
<h2>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=51" title="Sunting bagian: BAB XV KETENTUAN PENUTUP">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="BAB_XV_KETENTUAN_PENUTUP">BAB XV KETENTUAN
PENUTUP</span></h2>
<h4>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=52" title="Sunting bagian: Pasal 76">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Pasal_76">Pasal 76</span></h4>
Undang-undang ini berlaku terhadap:<br />
<dl><dd>a. semua Ciptaan warga negara, penduduk, dan badan hukum Indonesia;</dd></dl>
<dl><dd>b. semua Ciptaan bukan warga negara Indonesia, bukan penduduk
Indonesia, dan bukan badan hukum Indonesia yang diumumkan untuk pertama
kali di Indonesia;</dd></dl>
<dl><dd>c. semua Ciptaan bukan warga negara Indonesia, bukan penduduk
Indonesia, dan bukan badan hukum Indonesia, dengan ketentuan:</dd></dl>
<dl><dd>
<dl><dd>(i) negaranya mempunyai perjanjian bilateral mengenai perlindungan
Hak Cipta dengan Negara Republik Indonesia; atau</dd></dl>
</dd></dl>
<dl><dd>
<dl><dd>(ii) negaranya dan Negara Republik Indonesia merupakan pihak atau
peserta dalam perjanjian multilateral yang sama mengenai perlindungan
Hak Cipta.</dd></dl>
</dd></dl>
<h4>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=53" title="Sunting bagian: Pasal 77">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Pasal_77">Pasal 77</span></h4>
Dengan berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982
tentang Hak Cipta sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun
1987 dan terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997
dinyatakan tidak berlaku.<br />
<h4>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=54" title="Sunting bagian: Pasal 78">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Pasal_78">Pasal 78</span></h4>
Undang-undang ini mulai berlaku 12 (dua belas) bulan sejak tanggal
diundangkan.<br />
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.<br />
<br />
<div class="s300">
Disahkan di Jakarta<br />
pada tanggal 29 Juli 2002<br />
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA<br />
<br />
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI</div>
<br />
<br />
<br />
Diundangkan di Jakarta<br />
pada tanggal 29 Juli 2002<br />
SEKRETARIS NEGARA<br />
REPUBLIK INDONESIA<br />
<br />
BAMBANG KESOWO<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<div class="tiInherit" style="text-align: center; text-indent: 0pt;">
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 85<br />
</div>
<br />
<br />
<br />
<h2>
<span class="editsection" style="display: none;">[<a href="http://id.wikisource.org/w/index.php?title=Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002&action=edit&section=55" title="Sunting bagian: PENJELASAN">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="PENJELASAN">PENJELASAN</span></h2>
<br />
<br />
<br />
<center>
PENJELASAN<br />
ATAS<br />
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA<br />
NOMOR 19 TAHUN 2002<br />
TENTANG<br />
HAK CIPTA</center>
<br />
I. UMUM<br />
<br />
<div class="salinea">
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki
keanekaragaman seni dan budaya yang sangat kaya. Hal itu sejalan dengan
keanekaragaman etnik, suku bangsa, dan agama yang secara keseluruhan
merupakan potensi nasional yang perlu dilindungi. Kekayaan seni dan
budaya itu merupakan salah satu sumber dari karya intelektual yang dapat
dan perlu dilindungi oleh undang-undang. Kekayaan itu tidak semata-mata
untuk seni dan budaya itu sendiri, tetapi dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan kemampuan di bidang perdagangan dan industri yang
melibatkan para Penciptanya. Dengan demikian, kekayaan seni dan budaya
yang dilindungi itu dapat meningkatkan kesejahteraan tidak hanya bagi
para Penciptanya saja, tetapi juga bagi bangsa dan negara.</div>
<div class="salinea">
Indonesia telah ikut serta dalam pergaulan
masyarakat dunia dengan menjadi anggota dalam Agreement Establishing the
World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia) yang mencakup pula Agreement on Trade Related Aspects
of Intellectual Property Rights (Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang
Hak Kekayaan Intelektual), selanjutnya disebut TRIPs, melalui
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994.</div>
<div class="salinea">
Selain itu, Indonesia juga meratifikasi Berne
Convention for the Protection of Artistic and Literary Works (Konvensi
Berne tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra) melalui Keputusan
Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan World Intellectual Property
Organization Copyrights Treaty (Perjanjian Hak Cipta WIPO), selanjutnya
disebut WCT, melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997.</div>
<div class="salinea">
Saat ini Indonesia telah memiliki Undang-undang
Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 dan terakhir diubah dengan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 yang selanjutnya disebut Undang-undang
Hak Cipta. Walaupun perubahan itu telah memuat beberapa penyesuaian
pasal yang sesuai dengan TRIPs, namun masih terdapat beberapa hal yang
perlu disempurnakan untuk memberi perlindungan bagi karya-karya
intelektual di bidang Hak Cipta, termasuk upaya untuk memajukan
perkembangan karya intelektual yang berasal dari keanekaragaman seni dan
budaya tersebut di atas. Dari beberapa konvensi di bidang Hak Kekayaan
Intelektual yang disebut di atas, masih terdapat beberapa ketentuan yang
sudah sepatutnya dimanfaatkan. Selain itu, kita perlu menegaskan dan
memilah kedudukan Hak Cipta di satu pihak dan Hak Terkait di lain pihak
dalam rangka memberikan perlindungan bagi karya intelektual yang
bersangkutan secara lebih jelas.</div>
<div class="salinea">
Dengan memperhatikan hal-hal di atas dipandang
perlu untuk mengganti Undang-undang Hak Cipta dengan yang baru. Hal itu
disadari karena kekayaan seni dan budaya, serta pengembangan kemampuan
intelektual masyarakat Indonesia memerlukan perlindungan hukum yang
memadai agar terdapat iklim persaingan usaha yang sehat yang diperlukan
dalam melaksanakan pembangunan nasional.</div>
<div class="salinea">
Hak Cipta terdiri atas hak ekonomi (economic
rights) dan hak moral (moral rights). Hak ekonomi adalah hak untuk
mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan serta produk Hak Terkait. Hak
moral adalah hak yang melekat pada diri Pencipta atau Pelaku yang tidak
dapat dihilangkan atau dihapus tanpa alasan apa pun, walaupun Hak Cipta
atau Hak Terkait telah dialihkan.</div>
<div class="salinea">
Perlindungan Hak Cipta tidak diberikan kepada ide
atau gagasan karena karya cipta harus memiliki bentuk yang khas,
bersifat pribadi dan menunjukkan keaslian sebagai Ciptaan yang lahir
berdasarkan kemampuan, kreativitas, atau keahlian sehingga Ciptaan itu
dapat dilihat, dibaca, atau didengar.</div>
<div class="salinea">
Undang-undang ini memuat beberapa ketentuan baru,
antara lain, mengenai:</div>
1. database merupakan salah satu Ciptaan yang dilindungi;<br />
<div class="s12">
2. penggunaan alat apa pun baik melalui kabel maupun
tanpa kabel, termasuk media internet, untuk pemutaran produk-produk
cakram optik (optical disc) melalui media audio, media audiovisual
dan/atau sarana telekomunikasi;</div>
<div class="s12">
3. penyelesaian sengketa oleh Pengadilan Niaga,
arbitrase, atau alternatif pe nyelesaian sengketa;</div>
<div class="s12">
4. penetapan sementara pengadilan untuk mencegah
kerugian lebih besar bagi pemegang hak;</div>
<div class="s12">
5. batas waktu proses perkara perdata di bidang Hak
Cipta dan Hak Terkait, baik di Pengadilan Niaga maupun di Mahkamah
Agung;</div>
<div class="s12">
6. pencantuman hak informasi manajemen elektronik dan
sarana kontrol teknologi;</div>
<div class="s12">
7. pencantuman mekanisme pengawasan dan perlindungan
terhadap produk-produk yang menggunakan sarana produksi berteknologi
tinggi;</div>
8. ancaman pidana atas pelanggaran Hak Terkait;<br />
9. ancaman pidana dan denda minimal;<br />
<div class="s12">
10. ancaman pidana terhadap perbanyakan penggunaan
Program Komputer untuk kepentingan komersial secara tidak sah dan
melawan hukum.</div>
<div class="s120">
<br />
II. PASAL DEMI PASAL<br />
</div>
Pasal 1<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
<br />
Pasal 2<br />
<div class="s120">
Ayat (1)<br />
<div class="s120">
Yang dimaksud dengan hak eksklusif adalah hak yang
semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain
yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya.<br />
Dalam pengertian âmengumumkan atau memperbanyakâ, termasuk kegiatan
menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual,
menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada
publik, menyiarkan, merekam, dan mengomunikasikan Ciptaan kepada publik
melalui sarana apa pun.</div>
Ayat (2)<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
</div>
<br />
Pasal 3<br />
<div class="s120">
Ayat (1)<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Ayat (2)<br />
<div class="s120">
Beralih atau dialihkannya Hak Cipta tidak dapat
dilakukan secara lisan, tetapi harus dilakukan secara tertulis baik
dengan maupun tanpa akta notariil.<br />
Huruf a<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Huruf b<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Huruf c<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Huruf d<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Huruf e<br />
<div class="s120">
Sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan
perundang-undangan, misalnya pengalihan yang disebabkan oleh putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.</div>
</div>
</div>
<br />
Pasal 4<br />
<div class="s120">
Ayat (1)<br />
<div class="s120">
Karena manunggal dengan Penciptanya dan bersifat tidak
berwujud, Hak Cipta pada prinsipnya tidak dapat disita, kecuali Hak
Cipta tersebut diperoleh secara melawan hukum.</div>
Ayat (2)<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
</div>
<br />
Pasal 5<br />
<div class="s120">
Ayat (1)<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Ayat (2)<br />
<div class="s120">
Pada prinsipnya Hak Cipta diperoleh bukan karena
pendaftaran, tetapi dalam hal terjadi sengketa di pengad ilan mengenai
Ciptaan yang terdaftar dan yang tidak terdaftar sebagaimana dimaksud
pada ketentuan ayat (1) huruf a dan huruf b serta apabila pihak-pihak
yang berkepentingan dapat membuktikan kebenarannya, hakim dapat
menentukan Pencipta yang sebenarnya berdasarkan pembuktian tersebut.</div>
</div>
<br />
Pasal 6<br />
<div class="s120">
Yang dimaksud dengan bagian tersendiri, misalnya suatu
ciptaan berupa film serial, yang isi setiap seri dapat lepas dari isi
seri yang lain, demikian juga dengan buku, yang untuk isi setiap bagian
dapat dipisahkan dari isi bagian yang lain.</div>
<br />
Pasal 7<br />
<div class="s120">
Rancangan yang dimaksud adalah gagasan berupa gambar
atau kata atau gabungan keduanya, yang akan diwujudkan dalam bentuk yang
dikehendaki pemilik rancangan.<br />
Oleh karena itu, perancang disebut Pencipta, apabila rancangannya itu
dikerjakan secara detail menurut desain yang sudah ditentukannya dan
tidak sekadar gagasan atau ide saja.<br />
Yang dimaksud dengan di bawah pimpinan dan pengawasan adalah yang
dilakukan dengan bimbingan, pengarahan, ataupun koreksi dari orang yang
memiliki rancangan tersebut.</div>
<br />
Pasal 8<br />
<div class="s120">
Ayat (1)<br />
<div class="s120">
Yang dimaksud dengan hubungan dinas adalah hubungan
kepegawaian antara pegawai negeri dengan instansinya.</div>
Ayat (2)<br />
<div class="s120">
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa Hak
Cipta yang dibuat oleh seseorang berdasarkan pesanan dari instansi
Pemerintah tetap dipegang oleh instansi Pemerintah tersebut selaku
pemesan, kecuali diperjanjikan lain.</div>
Ayat (3)<br />
<div class="s120">
Yang dimaksud dengan hubungan kerja atau berdasarkan
pesanan di sini adalah Ciptaan yang dibuat atas dasar hubungan kerja di
lembaga swasta atau atas dasar pesanan pihak lain.</div>
</div>
<br />
Pasal 9<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
<br />
Pasal 10<br />
<div class="s120">
Ayat (1)<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Ayat (2)<br />
<div class="s120">
Dalam rangka melindungi folklor dan hasil kebudayaan
rakyat lain, Pemerintah dapat mencegah adanya monopoli atau
komersialisasi serta tindakan yang merusak atau pemanfaatan komersial
tanpa seizin negara Republik Indonesia sebagai Pemegang Hak Cipta.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari tindakan pihak asing yang
dapat merusak nilai kebudayaan tersebut.<br />
Folklor dimaksudkan sebaga i sekumpulan ciptaan tradisional, baik yang
dibuat oleh kelompok maupun perorangan dalam masyarakat, yang
menunjukkan identitas sosial dan budayanya berdasarkan standar dan
nilai-nilai yang diucapkan atau diikuti secara turun temurun, termasuk:<br />
a. cerita rakyat, puisi rakyat;<br />
b. lagu-lagu rakyat dan musik instrumen tradisional;<br />
c. tari-tarian rakyat, permainan tradisional;<br />
d. hasil seni antara lain berupa: lukisan, gambar, ukiran-ukiran,
pahatan, mosaik, perhiasan, kerajinan tangan, pakaian, instrumen musik
dan tenun tradisional.</div>
Ayat (3)<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Ayat (4)<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
</div>
<br />
Pasal 11<br />
<div class="s120">
Ayat (1)<br />
<div class="s120">
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menegaskan status Hak
Cipta dalam hal suatu karya yang Penciptanya tidak diketahui dan tidak
atau belum diterbitkan, sebagaimana layaknya Ciptaan itu diwujudkan.
Misalnya, dalam hal karya tulis atau karya musik, Ciptaan tersebut belum
diterbitkan dalam bentuk buku atau belum direkam. Dalam hal demikian,
Hak Cipta atas karya tersebut dipegang oleh Negara untuk melindungi Hak
Cipta bagi kepentingan Penciptanya, sedangkan apabila karya tersebut
berupa karya tulis dan telah diterbitkan, Hak Cipta atas Ciptaan yang
bersangkutan dipegang oleh Penerbit.</div>
Ayat (2)<br />
<div class="s120">
Penerbit dianggap Pemegang Hak Cipta atas Ciptaan yang
diterbitkan dengan menggunakan nama samaran Penciptanya. Dengan
demikian, suatu Ciptaan yang diterbitkan tetapi tidak diketahui siapa
Penciptanya atau terhadap Ciptaan yang hanya tertera nama samaran
Penciptanya, penerbit yang namanya tertera di dalam Ciptaan dan dapat
membuktikan sebagai Penerbit yang pertama kali menerbitkan Ciptaan
tersebut dianggap sebagai Pemegang Hak Cipta. Hal ini tidak berlaku
apabila Pencipta di kemudian hari menyatakan identitasnya dan ia dapat
membuktikan bahwa Ciptaan tersebut adalah Ciptaannya.</div>
Ayat (3)<br />
<div class="s120">
Penerbit dianggap Pemegang Hak Cipta atas Ciptaan yang
telah diterbitkan tetapi tidak diketahui Penciptanya atau pada Ciptaan
tersebut hanya tertera nama samaran Penciptanya, penerbit yang pertama
kali menerbitkan Ciptaan tersebut dianggap mewakili Pencipta. Hal ini
tidak berlaku apabila Pencipta di kemudian hari menyatakan identitasnya
dan ia dapat membuktikan bahwa Ciptaan tersebut adalah Ciptaannya.</div>
</div>
<br />
Pasal 12<br />
<div class="s120">
Ayat (1)<br />
<div class="s120">
Huruf a<br />
<div class="s120">
Yang dimaksud dengan perwajahan karya tulis adalah
karya cipta yang lazim dikenal dengan "typholographical arrangement",
yaitu aspek seni pada susunan dan bentuk penulisan karya tulis. Hal ini
mencakup antara lain format, hiasan, warna dan susunan atau tata letak
huruf indah yang secara keseluruhan menampilkan wujud yang khas.</div>
Huruf b<br />
<div class="s120">
Yang dimaksud dengan Ciptaan lain yang sejenis adalah
Ciptaan-ciptaan yang belum disebutkan, tetapi dapat disamakan dengan
Ciptaan-ciptaan seperti ceramah, kuliah, dan pidato.</div>
Huruf c<br />
<div class="s120">
Yang dimaksud dengan alat peraga adalah Ciptaan yang
berbentuk dua ataupun tiga dimensi yang berkaitan dengan geografi,
topografi, arsitektur, biologi atau ilmu pengetahuan lain.</div>
Huruf d<br />
<div class="s120">
Lagu atau musik dalam Undang-undang ini diartikan
sebagai karya yang bersifat utuh, sekalipun terdiri atas unsur lagu atau
melodi, syair atau lirik, dan aransemennya termasuk notasi.<br />
Yang dimaksud dengan utuh adalah bahwa lagu atau musik tersebut
merupakan satu kesatuan karya cipta.</div>
Huruf e<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Huruf f<br />
<div class="s120">
Yang dimaksud dengan gambar antara lain meliputi:
motif, diagram, sketsa, logo dan bentuk huruf indah, dan gambar tersebut
dibuat bukan untuk tujuan desain industri.<br />
Yang dimaksud dengan kolase adalah komposisi artistik yang dibuat dari
berbagai bahan (misalnya dari kain, kertas, kayu) yang ditempelkan pada
permukaan gambar.<br />
Seni terapan yang berupa kerajinan tangan sejauh tujuan pembuatannya
bukan untuk diproduksi secara massal merupakan suatu Ciptaan.</div>
Huruf g<br />
<div class="s120">
Yang dimaksud dengan arsitektur antara lain meliputi:
seni gambar bangunan, seni gambar miniatur, dan seni gambar maket
bangunan.</div>
Huruf h<br />
<div class="s120">
Yang dimaksud dengan peta adalah suatu gambaran dari
unsur-unsur alam dan/atau buatan manusia yang berada di atas ataupun di
bawah permukaan bumi yang digambarkan pada suatu bidang datar dengan
skala tertentu.</div>
Huruf i<br />
<div class="s120">
Batik yang dibuat secar a konvensional dilindungi
dalam Undang-undang ini sebagai bentuk Ciptaan tersendiri. Karya-karya
seperti itu memperoleh perlindungan karena mempunyai nilai seni, baik
pada Ciptaan motif atau gambar maupun komposisi warnanya. Disamakan
dengan pengertian seni batik adalah karya tradisional lainnya yang
merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang terdapat di berbagai daerah,
seperti seni songket, ikat, dan lain-lain yang dewasa ini terus
dikembangkan.</div>
Huruf j<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Huruf k<br />
<div class="s120">
Karya sinematografi yang merupakan media komunikasi
massa gambar gerak (moving images) antara lain meliputi: film
dokumenter, film iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dengan
skenario, dan film kartun. Karya sinematografi dapat dibuat dalam pita
seluloid, pita video, piringan video, cakram optik dan/atau media lain
yang memungkinkan untuk dipertunjukkan di bioskop, di layar lebar atau
ditayangkan di televisi atau di media lainnya.<br />
Karya serupa itu dibuat oleh perusahaan pembuat film, stasiun televisi
atau perorangan.</div>
Huruf l<br />
<div class="s120">
Yang dimaksud dengan bunga rampai meliputi: Ciptaan
dalam bentuk buku yang berisi kumpulan karya tulis pilihan, himpunan
lagu-lagu pilihan yang direkam dalam satu kaset, cakram optik atau media
lain, serta komposisi berbagai karya tari pilihan.<br />
Yang dimaksud dengan database adalah kompilasi data dalam bentuk apapun
yang dapat dibaca oleh mesin (komputer) atau dalam bentuk lain, yang
karena alasan pemilihan atau pengaturan atas isi data itu merupakan
kreasi intelektual. Perlindungan terhadap database diberika n dengan
tidak mengurangi hak Pencipta lain yang Ciptaannya dimasukkan dalam
database tersebut.<br />
Yang dimaksud dengan pengalihwujudan adalah pengubahan bentuk, misalnya
dari bentuk patung menjadi lukisan, cerita roman menjadi drama, drama
menjadi sandiwara radio dan novel menjadi film.</div>
</div>
Ayat (2)<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Ayat (3)<br />
<div class="s120">
Ciptaan yang belum diumumkan, sebagai contoh sketsa,
manuskrip, cetak biru (blue print) dan yang sejenisnya dianggap Ciptaan
yang sudah merupakan suatu kesatuan yang lengkap.</div>
</div>
<br />
Pasal 13<br />
<div class="s120">
Huruf a<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Huruf b<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Huruf c<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Huruf d<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Huruf e<br />
<div class="s120">
Yang dimaksud dengan keputusan badan-badan sejenis
lain, misalnya keputusan-keputusan yang memutuskan suatu sengketa,
termasuk keputusanâkeputusan Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan, dan Mahkamah Pelayaran.</div>
</div>
<br />
Pasal 14<br />
<div class="s120">
Huruf a<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Huruf b<br />
<div class="s120">
Contoh dari Pengumuman dan Perbanyakan atas nama
Pemerintah adalah Pengumuman dan Perbanyakan mengenai suatu hasil riset
yang dilakukan dengan biaya Negara.</div>
Huruf c<br />
<div class="s120">
Yang dimaksud dengan berita aktual adalah berita yang
diumumkan dalam waktu 1 x 24 jam sejak pertama kali diumumkan.</div>
</div>
<br />
Pasal 15<br />
<div class="s120">
Huruf a<br />
<div class="s120">
Pembatasan ini perlu dilakukan karena ukuran
kuantitatif untuk menentukan pelanggaran Hak Cipta sulit diterapkan .
Dalam hal ini akan lebih tepat apabila penentuan pelanggaran Hak Cipta
didasarkan pada ukuran kualitatif. Misalnya, pengambilan bagian yang
paling substansial dan khas yang menjadi ciri dari Ciptaan, meskipun
pemakaian itu kurang dari 10%. Pemakaian seperti itu secara substantif
merupakan pelanggaran Hak Cipta. Pemakaian Ciptaan tidak dianggap
sebagai pelanggaran Hak Cipta apabila sumbernya disebut atau dicantumkan
dengan jelas dan hal itu dilakukan terbatas untuk kegiatan yang
bersifat nonkomersial termasuk untuk kegiatan sosial. Misalnya, kegiatan
dalam lingkup pendidikan dan ilmu pengetahuan, kegiatan penelitian dan
pengembangan, dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar
dari Penciptanya. Termasuk dalam pengertian ini adalah pengambilan
Ciptaan untuk pertunjukan atau pementasan yang tidak dikenakan bayaran.
Khusus untuk pengutipan karya tulis, penyebutan atau pencantuman sumber
Ciptaan yang dikutip harus dilakukan secara lengkap. Artinya, dengan
mencantumkan sekurang-kurangnya nama Pencipta, judul atau nama Ciptaan,
dan nama penerbit jika ada.<br />
Yang dimaksud dengan kepentingan yang wajar dari Pencipta atau Pemegang
Hak Cipta adalah suatu kepentingan yang didasarkan pada keseimbangan
dalam menikmati manfaat ekonomi atas suatu ciptaan.</div>
Huruf b<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Huruf c<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Huruf d<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Huruf e<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Huruf f<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Huruf g<br />
<div class="s120">
Seorang pemilik (bukan Pemegang Hak Cipta) Program
Komputer dibolehkan membuat salinan atas Program Komputer yang
dimilikinya, untuk dijadikan cadangan semata-mata untuk digunakan
sendiri. Pembuatan salinan cadangan seperti di atas tidak dianggap
sebagai pelanggaran Hak Cipta.</div>
</div>
<br />
Pasal 16<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
<br />
Pasal 17<br />
<div class="s120">
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah beredarnya
Ciptaan yang apabila diumumkan dapat merendahkan nilai-nilai keagamaan,
ataupun menimbulkan masalah kesukuan atau ras, dapat menimbulkan
gangguan atau bahaya terhadap pertahanan keamanan negara, bertentangan
dengan norma kesusilaan umum yang berlaku dalam masyarakat, dan
ketertiban umum. Misalnya, buku-buku atau karya-karya sastra atau
karya-karya fotografi.</div>
<br />
Pasal 18<br />
<div class="s120">
Ayat (1)<br />
<div class="s120">
Maksud ketentuan ini adalah Pengumuman suatu ciptaan
melalui penyiaran radio, televisi dan sarana lainnya yang
diselenggarakan oleh Pemerintah haruslah diutamakan untuk kepentingan
publik yang secara nyata dibutuhkan oleh masyarakat umum.</div>
Ayat (2)<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
</div>
<br />
Pasal 19<br />
<div class="s120">
Ayat (1)<br />
<div class="s120">
Tidak selalu orang yang dipotret akan setuju bahwa
potretnya diumumkan tanpa diminta persetujuannya. Oleh karena itu
ditentukan bahwa harus dimintakan persetujuan yang bersangkutan atau
ahli warisnya.</div>
Ayat (2)<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Ayat (3)<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
</div>
<br />
Pasal 20<br />
<div class="s120">
Dalam suatu pemotretan dapat terjadi bahwa seseorang
telah dipotret tanpa diketahuinya dalam keadaan yang dapat merugikan
dirinya.</div>
<br />
Pasal 21<br />
<div class="s120">
Misalnya, seorang penyanyi dalam suatu pertunjukan
musik dapat berkeberatan jika diambil potretnya untuk diumumkan.</div>
<br />
Pasal 22<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
<br />
Pasal 23<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
<br />
Pasal 24<br />
<div class="s120">
Ayat (1)<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Ayat (2)<br />
<div class="s120">
Dengan hak moral, Pencipta dari suatu karya cipta
memiliki hak untuk:<br />
<div class="s12">
a. dicantumkan nama atau nama samarannya di dalam
Ciptaannya ataupun salinannya dalam hubungan dengan penggunaan secara
umum;</div>
<div class="s12">
b. mencegah bentuk-bentuk distorsi, mutilasi atau
bentuk perubahan lainnya yang meliputi pemutarbalikan, pemotongan,
perusakan, penggantian yang berhubungan dengan karya cipta yang pada
akhirnya akan merusak apresiasi dan reputasi Pencipta.</div>
Selain itu tidak satupun dari hak-hak tersebut di atas dapat dipindahkan
selama Penciptanya masih hidup, kecuali atas wasiat Pencipta
berdasarkan peraturan perundang-undangan.</div>
Ayat (3)<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Ayat (4)<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
</div>
<br />
Pasal 25<br />
<div class="s120">
Yang dimaksud dengan informasi manajemen hak Pencipta
adalah informasi yang melekat secara elektronik pada suatu ciptaan atau
muncul dalam hubungan dengan kegiatan Pengumuman yang menerangkan
tentang suatu Ciptaan, Pencipta, dan kepemilikan hak maupun informasi
persyaratan penggunaan, nomor atau kode informasi.<br />
Siapa pun dilarang mendistribusikan, mengimpor, menyiarkan,
mengkomunikasikan kepada publik karya-karya pertunjukan, rekaman suara
atau siaran yang diketahui bahwa perangkat informasi manajemen hak
Pencipta telah ditiadakan, dirusak, atau diubah tanpa izin pemegang hak.</div>
<br />
Pasal 26<br />
<div class="s120">
Ayat (1)<br />
<div class="s120">
Pembelian hasil Ciptaan tidak berarti bahwa status Hak
Ciptanya berpindah kepada pembeli, akan tetapi Hak Cipta atas suatu
Ciptaan tersebut tetap ada di tangan Penciptanya. Misalnya, pembelian
buku, kaset, dan lukisan.</div>
Ayat (2)<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Ayat (3)<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
</div>
<br />
Pasal 27<br />
<div class="s120">
Yang dimaksud dengan sarana kontrol teknologi adalah
instrumen teknologi dalam bentuk antara lain kode rahasia, password, bar
code, serial number, teknologi dekripsi (decryption) dan enkripsi
(encryption) yang digunakan untuk melindungi Ciptaan.<br />
Semua tindakan yang dianggap pelanggaran hukum meliputi: memproduksi
atau mengimpor atau menyewakan peralatan apa pun yang dirancang khusus
untuk meniadakan sarana kontrol teknologi atau untuk mencegah, membatasi
Perbanyakan dari suatu Ciptaan.</div>
<br />
Pasal 28<br />
<div class="s120">
Ayat (1)<br />
<div class="s120">
Yang dimaksud dengan ketentuan persyaratan sarana
produksi berteknologi tinggi, misalnya, izin lokasi produksi, kewajiban
membuat pembukuan produksi, membubuhkan tanda pengenal produsen pada
produknya, pajak atau cukai serta memenuhi syarat inspeksi oleh pihak
yang berwenang.</div>
Ayat (2)<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
</div>
<br />
Pasal 29<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
<br />
Pasal 30<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
<br />
Pasal 31<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
<br />
Pasal 32<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
<br />
Pasal 33<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
<br />
Pasal 34<br />
<div class="s120">
Ketentuan ini menegaskan bahwa tanggal 1 Januari
sebagai dasar perhitungan jangka waktu perl indungan Hak Cipta,
dimaksudkan semata-mata untuk memudahkan perhitungan berakhirnya jangka
perlindungan. Titik tolaknya adalah tanggal 1 Januari tahun berikutnya
setelah Ciptaan tersebut diumumkan, diketahui oleh umum, diterbitkan
atau Penciptanya meninggal dunia. Cara perhitungan seperti itu tetap
tidak mengurangi prinsip perhitungan jangka waktu perlindungan yang
didasarkan pada saat dihasilkannya suatu Ciptaan apabila tanggal
tersebut diketahui secara jelas.</div>
<br />
Pasal 35<br />
<div class="s120">
Ayat (1)<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Ayat (2)<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Ayat (3)<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Ayat (4)<br />
<div class="s120">
Pendaftaran Ciptaan bukan merupakan suatu keharusan
bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta, dan timbulnya perlindungan suatu
Ciptaan dimulai sejak Ciptaan itu ada atau terwujud dan bukan karena
pendaftaran. Hal ini berarti suatu Ciptaan baik yang terdaftar maupun
tidak terdaftar tetap dilindungi.</div>
</div>
<br />
Pasal 36<br />
<div class="s120">
Direktorat Jenderal yang menyelenggarakan pendaftaran
Ciptaan tidak bertanggung jawab atas isi, arti, maksud, atau bentuk dari
Ciptaan yang terdaftar.</div>
<br />
Pasal 37<br />
<div class="s120">
Ayat (1)<br />
<div class="s120">
Yang dimaksud dengan kuasa adalah Konsultan Hak
Kekayaan Intelektual yaitu orang yang memiliki keahlian di bidang Hak
Kekayaan Intelektual dan secara khusus memberikan jasa mengurus
permohonan Hak Cipta, Paten, Merek, Desain Industri serta bidang-bidang
Hak Kekayaan Intelektual lain dan terdaftar sebagai Konsultan Hak
Kekayaan Intelektual di Direktorat Jenderal.</div>
Ayat (2)<br />
<div class="s120">
Yang dimaksud dengan pengganti Ciptaan adalah contoh
Ciptaan yang dilampirkan karena Ciptaan itu sendiri secara teknis tidak
mungkin untuk dilampirkan dalam Permohonan, misalnya, patung yang
berukuran besar diganti dengan miniatur atau fotonya.</div>
Ayat (3)<br />
<div class="s120">
Jangka waktu proses permohonan dimaksudkan untuk
memberi kepastian hukum kepada Pemohon.</div>
Ayat (4)<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Ayat (5)<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Ayat (6)<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
</div>
<br />
Pasal 38<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
<br />
Pasal 39<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
<br />
Pasal 40<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
<br />
Pasal 41<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
<br />
Pasal 42<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
<br />
Pasal 43<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
<br />
Pasal 44<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
<br />
Pasal 45<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
<br />
Pasal 46<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
<br />
Pasal 47<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
<br />
Pasal 48<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
<br />
Pasal 49<br />
<div class="s120">
Ayat (1)<br />
<div class="s120">
Yang dimaksud dengan menyiarkan termasuk menyewakan,
melakukan pertunjukan umum (public performance), mengomunikasikan
pertunjukan langsung (life performance), dan mengomunikasikan secara
interaktif suatu karya rekaman Pelaku.</div>
Ayat (2)<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Ayat (3)<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
</div>
<br />
Pasal 50<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
<br />
Pasal 51<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
<br />
Pasal 52<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
<br />
Pasal 53<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
<br />
Pasal 54<br />
<div class="s120">
Ayat (1)<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Ayat (2)<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Ayat (3)<br />
<div class="s120">
Yang dimaksud dengan menggunakan penerimaan adalah
penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sesuai dengan sistem dan
mekanisme yang berlaku.<br />
Dalam hal ini seluruh penerimaan disetorkan langsung ke kas negara
sebagai PNBP. Kemudian, Direktorat Jenderal melalui Menteri mengajukan
permohonan kepada Menteri Keuangan untuk menggunakan sebagian PNBP
sesuai dengan keperluan yang dibenarkan oleh Undang-undang, yang saat
ini diatur dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan
Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor
43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3687).</div>
</div>
<br />
Pasal 55<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
<br />
Pasal 56<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
<br />
Pasal 57<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
<br />
Pasal 58<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
<br />
Pasal 59<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
<br />
Pasal 60<br />
<div class="s120">
Ayat (1)<br />
<div class="s120">
Yang dimaksud dengan Ketua Pengadilan Niaga adalah
Ketua Pengadilan Negeri/Pengadilan Niaga.</div>
Ayat (2)<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Ayat (3)<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Ayat (4)<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Ayat (5)<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
</div>
<br />
Pasal 61<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
<br />
Pasal 62<br />
<div class="s120">
Ayat (1)<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Ayat (2)<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Ayat (3)<br />
<div class="s120">
Kecuali dinyatakan lain, yang dimaksud dengan
âpaniteraâ pada ayat ini adalah panitera Pengadilan Negeri/Pengadilan
Niaga.</div>
</div>
<br />
Pasal 63<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
<br />
Pasal 64<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
<br />
Pasal 65<br />
<div class="s120">
Yang dimaksud dengan alternatif penyelesaian sengketa
adalah negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan cara lain yang dipilih oleh
para pihak sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.</div>
<br />
Pasal 66<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
<br />
Pasal 67<br />
<div class="s120">
Huruf a<br />
<div class="s120">
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah kerugian yang
lebih besar pada pihak yang haknya dilanggar, sehingga hakim Pengadilan
Niaga diberi kewenangan untuk menerbitkan penetapan sementara guna
mencegah berlanjutnya pelanggaran dan masuknya barang yang diduga
melanggar Hak Cipta dan Hak Terkait ke jalur perdagangan termasuk
tindakan importasi.</div>
Huruf b<br />
<div class="s120">
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah penghilangan
barang bukti oleh pihak pelanggar.</div>
Huruf c<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
</div>
<br />
Pasal 68<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
<br />
Pasal 69<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
<br />
Pasal 70<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
<br />
Pasal 71<br />
<div class="s120">
Ayat (1)<br />
<div class="s120">
Yang dimaksud dengan Pejabat Pegawai Negeri Sipil
tertentu adalah pegawai yang diangkat sebagai penyidik berdasarkan
Keputusan Menteri.</div>
Ayat (2)<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Ayat (3)<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
</div>
<br />
Pasal 72<br />
<div class="s120">
Ayat (1)<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Ayat (2)<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Ayat (3)<br />
<div class="s120">
Yang dimaksud dengan memperbanyak penggunaan adalah
menggandakan, atau menyalin program komputer dalam bentuk kode sumber
(source code) atau program aplikasinya.<br />
Yang dimaksud dengan kode sumber adalah sebuah arsip (file) program yang
berisi pernyataan-pernyataan (statements) pemrograman, kode-kode
instruksi/perintah, fungsi, prosedur dan objek yang dibuat oleh seorang
pemrogram (programmer).<br />
Misalnya: A membeli program komputer dengan hak Lisensi untuk digunakan
pada satu unit komputer, atau B mengadakan perjanjian Lisensi untuk
pengunaan aplikasi program komputer pada 10 (sepul uh) unit komputer.
Apabila A atau B menggandakan atau menyalin aplikasi program komputer di
atas untuk lebih dari yang telah ditentukan atau diperjanjikan,
tindakan itu merupakan pelanggaran, kecuali untuk arsip.</div>
Ayat (4)<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Ayat (5)<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Ayat (6)<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Ayat (7)<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Ayat (8)<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Ayat (9)<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
</div>
<br />
Pasal 73<br />
<div class="s120">
Ayat (1)<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
Ayat (2)<br />
<div class="s120">
Yang dimaksud dengan âbersifat unikâ adalah bersifat
lain daripada yang lain, tidak ada persamaan dengan yang lain, atau yang
bersifat khusus.</div>
</div>
<br />
Pasal 74<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
<br />
Pasal 75<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
<br />
Pasal 76<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
<br />
Pasal 77<br />
<div class="s120">
Cukup jelas.</div>
<br />
Pasal 78<br />
<div class="s120">
Diberlakukan 12 (dua belas) bulan sejak tanggal
diundangkan dimaksudkan agar undang- undang ini dapat disosialisasikan
terutama kepada pihak-pihak yang terkait dengan Hak Cipta, misalnya,
perguruan tinggi, asosiasi-asosiasi di bidang Hak Cipta, dan lain-lain.</div>
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<div class="tiInherit" style="text-align: center; text-indent: 0pt;">
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4220<br />
</div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/13505667582003710930noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8550374304110771050.post-63768882151512400372011-10-06T03:48:00.000-07:002011-10-06T03:48:19.942-07:00<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><br />
KEBIJAKAN LEGISLATIF TENTANG<br />
PERLINDUNGAN ANAK TERHADAP PORNOGRAFI<br />
SKRIPSI<br />
<br />
BAB I<br />
PENDAHULUAN<br />
A. Latar Belakang Masalah<br />
Pada bagian penjelasan UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) disebutkan bahwa:<br />
âNegara Indonesia berdasarkan atas hukumâ. Hal ini berarti Republik<br />
Indonesia adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan<br />
UUD 1945, menjunjung tinggi atas hak asasi manusia dan menjamin semua<br />
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan,<br />
serta wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan dengan tidak ada<br />
kecualinya. Dengan demikian negara menjamin bahwa kewajiban yang sama<br />
menurut hukum. Hal yang demikian berarti negara ingin mewujudkan pula<br />
ketertiban, keamanan, dan ketentraman rakyat atau masyarakatnya.<br />
Rasa aman dan tenteram merupakan dambaan setiap anggota masyarakat.<br />
Rasa tersebut sangat dibutuhkan dengan harapan dapat mendorong kreatifitas<br />
dan peran aktif masyarakat dalam pembangunan. Jika kreatifitas masyarakat<br />
dapat terus berkembang dan dapat berperan aktif dalam pembangunan, maka<br />
akan terjadi suatu pembangunan yang berkesinambungan, serasi, selaras, dan<br />
s e imbang dengan keadaan masyarakat.<br />
Di dalam masyarakat terdapat berbagai komponen yang produktif yang<br />
memiliki potensi di dalam upaya mendukung pembangunan nasional, namun<br />
ada suatu komponen yang sangat penting yang sangat dibutuhkan agar dalam<br />
pembangunan dapat berjalan berkesinambungan namun juga sering diabaikan<br />
dalam masyarakat, yaitu anak. Anak merupakan cikal bakal yang berpotensi<br />
untuk dididik menjadi manusia yang dewasa, kreatif, dan produktif untuk ikut<br />
andil dalam pembangunan bangsa dan negara. Anak merupakan bagian dari<br />
generasi penerus bangsa sebagai salah satu sumber daya manusia yang<br />
merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memerlukan<br />
pembinaan, perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan<br />
perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi. selaras, seimbang,<br />
dan yang utama memberi perlindungan dari segala kemungkinan yang akan<br />
membahayakan mereka dan bangsa di masa depan, oleh karena it u menjadi<br />
kewajiban bagi generasi terdahulu untuk menjamin, memberi, memelihara,<br />
dan mengamankan kepentingan anak agar dalam perkembangan diri anak<br />
tidak terganggu oleh adanya gangguan dari luar yang dapat mempengaruhi<br />
kehidupan anak untuk selanjutnya yang dapat merugikan anak itu sendiri,<br />
keluarganya, masyarakat, serta bangsa dan negara. <br />
Pornografi anak di Indonesia saat ini semakin marak dan semakin<br />
mengkhawatirkan. Kemajuan informasi dan teknologi yang demikian pesat<br />
memberi manfaat yang cukup besar. Tetapi ternyata juga berdampak negative<br />
luar biasa. Media pornografi anak semakin mudah untuk diakses melalui<br />
media elektronik dan cetak. Begitu mudahnya setiap anak untuk melihat<br />
materi pornografi melalui internet, handphone, buku bacaan dan VCD.<br />
Kemudahan mengakses materi pornografi dapat mencontoh aktifitas seksual<br />
sesuai dengan adegan yang ditontonnya. Inilah yang menyebabkan kekerasan<br />
seksual terhadap anak yang dilakukan oleh sesamanya.<br />
Di masa mendatang, pornografi internet adalah bencana besar terhadap<br />
anak yang akan menghantui orang tua. Belum lagi semakin banyaknya bisnis<br />
warung internet yang dengan leluasa dijelajahi secar bebas oleh anak-anak.<br />
Sebuah kelompok hak anak-anak melaporkan, jumlah website yang<br />
menyediakan pornografi anak-anak tahun lalu meningkat dengan 70 persen,<br />
Didapatkan fakta yang mencengangkan lainnya bahwa pornografi masih<br />
menjadi konsumsi tertinggi bagi para pengakses internet. Ternyata didapatkan<br />
12% situs di dunia ini mengandung pornografi. Setiap harinya 266 situs porno<br />
baru muncul dan diperkirakan kini ada 372 juta halaman website pornografi.<br />
Sedangkan 25% yang dicari melalui search engine adalah pornografi.<br />
Ternyata peminat pornografi internet demikian besar 35% dari data yang<br />
didapat dari internet adalah pornografi, setiap detiknya 28.258 pengguna<br />
internet melihat pornografi dan setia detiknya $ 89.00 dihabiskan untuk<br />
pornografi di internet.<br />
Anak yang dijadikan model pornografi mengalami kerusakan<br />
perkembangan fisik dan psikis yang dapat menghancurkan masa depan anak.<br />
Mereka seringkali menjadi rendah diri bahkan mendapat masalah kesehatan<br />
mental yang parah. Terlebih lagi, mereka umumnya dikucilkan oleh<br />
masyarakat di lingkungannya, diberi label âanak yang tidak bermoralâ dan<br />
bahkan kehilangan haknya untuk memperoleh pendidikan. Pornografi anak<br />
biasanya menjadi sasaran bagi kaum fedophilia yang mendapatkan kepuasan<br />
seksual dengan melihat dan melakukan hubungan seksual dengan anak.<br />
<br />
Widodo Judarwanto. 2 November 2008. Undang-Undang Pornografi Selamatkan Anak<br />
Indonesia. http://UU Pornografi Selamatkan Anak Indonesia-wikiMu.mht4<br />
Keberadaan pornografi anak tidak hanya menyebabkan model pornografi anak<br />
mendapatkan kekerasan fisik, psikis, dan seksual di dalam proses<br />
pembuatannya. Pornografi anak yang menyebar bebas akan meningkatkan<br />
berbagai kekerasan seksual terhadap anak dilakukan oleh orang dewasa<br />
ataupun bahkan oleh sesama anak. <br />
Berdasarkan penelitian Indonesia ACT<br />
<br />
di Batam pada tahun 2007, salah<br />
satu tujuan utama perdagangan anak adalah untuk dijadikan model pornografi.<br />
Pornografi anak merupakan bentuk eksploitasi seksual, sehingga perlindungan<br />
kepada anak semestinya mendapatkan perhatian yang besar. Terdapat dua hal<br />
yang berbahaya di dalam pornografi anak; pertama, pelibatan anak di dalam<br />
pornografi berarti sama dengan mengeksploitasi anak bekerja dalam bentuk<br />
pekerjaan terburuk. Kedua, membiarkan anak mengakses pornografi akan<br />
sangat berdampak pada proses tumbuh kembang anak.<br />
<br />
Pengaturan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi<br />
meliputi; (1) pelarangan dan pembatasan pembuatan, penyebarluasan, dan<br />
penggunaan pornografi; (2) perlindungan anak dari pengaruh pornografi; (3)<br />
pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi,<br />
termasuk peran serta masyarakat dalam pencegahan. Undang-Undang ini<br />
menetapkan secara tegas tentang bentuk hukuman dari pelanggaran<br />
pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang disesuaikan<br />
dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, yakni berat, sedang, dan ringan,<br />
<br />
<br />
Indonesia ACT adalah gabungan antara Jaringan Advokasi Perlindungan Anak dan Jaringan<br />
Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3).<br />
<br />
Indonesia ACT: Tidak Ada Toleransi Bagi Pornorafi Anak. melangit di langitperempuan pada<br />
Juni 27<br />
t h<br />
, 2008. Http://www.Indonesia ACT Tidak Ada Toleransi Bagi Pornografi Anak.mht5<br />
serta memberikan pemberatan terhadap perbuatan pidana yang melibatkan<br />
anak. Di samping itu, pemberatan juga diberikan terhadap pelaku tindak<br />
pidana yang dilakukan oleh korporasi dengan melipatgandakan sanksi pokok<br />
serta pemberian hukuman tambahan. Berdasarkan pemikiran tersebut, undangundang ini diatur secara komprehensif dalam rangka mewujudkan dan<br />
memelihara tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang beretika,<br />
berkepribadian luhur, dan menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha<br />
Esa, serta menghormati harkat dan martabat setiap warga negara. <br />
<br />
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak<br />
memang telah mengatur perlindungan anak dari pornografi tetapi sebagian<br />
saja itupun dengan redaksi perlindungan anak dari eksploitasi seksual<br />
sebagaimana diatur dalam Pasal 59 dan Pasal 88.<br />
<br />
Pasal ini hanya akan<br />
menjerat produsen pornografi anak, padahal anak menjadi korban pornografi<br />
bukan hanya atas materi pornografi anak tetapi juga pornografi yang<br />
melibatkan orang-orang dewasa. Ada beberapa perspektif dalam memandang<br />
anak sebagai korban pornografi :<br />
<br />
<br />
Penjelasan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi<br />
<br />
Pasal 59 UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menyebutkan :<br />
Pemerintah dan lembaga Negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk <br />
memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang beehadapan<br />
dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi<br />
dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan<br />
narkotika, alkohol, psikotropik, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan,<br />
penjualandan perdagangan, anak korban kekerasan fisik dan/atau menta, anak yang<br />
menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.<br />
Pasal 88 UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menyebutkan :<br />
Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk<br />
menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10<br />
(sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). 6<br />
a. Anak menjadi korban pornografi karena terampas haknya untuk tumbuh<br />
dan berkembang secara wajar, serta memiliki masa depan karena<br />
pemikiran, mentalitas, bahka n fisiknya dirusak oleh pornografi<br />
b. Anak menjadi korban pornografi karena eksploitasi secara seksual untuk<br />
menjadi subjek materi pornografi.<br />
c. Anak menjadi korban pornografi karena terdorong menjadi pelaku<br />
kejahatan seksual berupa pencabulan, pemerkosaan, hingga pemerkosaan<br />
yang berakibat pembunuhan dan terampas masa depannya, terpidana<br />
akibat mengkonsumsi pornografi.<br />
d. Anak menjadi korban kejahatan seksual berupa pencabulan, pemerkosaan,<br />
hingga pembunuhan oleh pelaku anak-anak maupun dewasa yang<br />
terdor ong melakukan perbuatan pidana akibat pornografi.<br />
Berbekal pelbagai perspektif tersebut, maka perlindungan anak terhadap<br />
bahaya pornografi harus dilakukan dengan tidak hanya mencegah akses anak<br />
terhadap pornografi tetapi juga orang dewasa terhadap pornografi. Pencegahan<br />
akses terhadap pornografi meliputi pelarangan produksi, distribusi hingga<br />
konsumsi pornografi. Undang-Undang Perlindungan Anak hanya meliputi<br />
sebagian kecil dari upaya pencegahan ini, yaitu pelarangan disertai<br />
pemidanaan bagi orang-orang yang mengeksploitasi anak secara seksual.<br />
Perlindungan akses anak dari mengkonsumsi pornografi sendiri belum diatur<br />
oleh Undang-Undang ini. <br />
Umar Badarsyah. Perlindungan Anak dan RUU Pornografi. 28 Oktober 2008. Http://amrualbadari.blog.friendster.com7<br />
Telah menjadi asas umum hukum pidana yaitu asas berlakunya hukum<br />
pidana menurut waktu (Asas Legalitas), bahwa suatu perbuatan dapat<br />
dinyatakan sebagai tindak pidana dan dapat dipidana apabila sudah ditetapkan<br />
dalam undang-undang.<br />
Dalam hal pelanggaran atas delik pornografi yang<br />
diatur dalam Undang-Undang Tentang Pornografi ini, anak-anak, perempuan,<br />
laki-laki tua muda dan orang dengan latar SARA manapun hanya akan<br />
dipidana jika ia terbukti melakukan kesalahan yang dirumuskan ditiap-tiap<br />
pasalnya. Dalam hukum pidana, pertanyaan itu tidak berhenti pada apakah ada<br />
kesalahan yang diperbuat tetapi melaju pada pertanyaa n selanjutnya, apakah<br />
orang yang melakukan kesalahan dapat dimintakan pertanggungjawaban dan<br />
sejauh mana pertanggungjawaban itu dapat dikenakan. Dimana dalam bentuk<br />
pertanggungjawaban ini, diatur secara khusus oleh Undang-Undang Nomor 44<br />
Tahun 2008 Tentang Pornografi dan tidak diatur oleh Undang-Undang Nomor<br />
23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.<br />
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penelitian ini dimaksudkan<br />
untuk mengetahui kebijakan legislatif tentang perlindungan anak terhadap<br />
pornografi yang diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang<br />
berlaku di Indonesia, dengan judul âKEBIJAKAN LEGISLATIF TENTANG<br />
PERLINDUNGAN ANAK TERHADAP PORNOGRAFIâ.<br />
Surbakti, Natangsa dan Sudaryono. 2005. Buku Pegangan Kuliah Hukum Pidana . Surakarta:<br />
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta. Hal 588<br />
B. Rumusan Masalah<br />
Penulis memberikan rumusan masalah yang akan diteliti untuk mencapai<br />
tujuan yang dikehendaki dan memberikan kemudahan dalam penelitian.<br />
Adapun yang dirumuskan sebagai suatu permasa lahan pada penelitian ini<br />
yaitu:<br />
Bagaimanakah kebijakan legislatif tentang perlindungan anak terhadap<br />
pornografi yang diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang<br />
berlaku di Indonesia?<br />
C. Tujuan Penelitian<br />
Berdasarkan perumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan yang ingin<br />
dicapai dalam penelitian hukum ini adalah :<br />
Untuk mengetahui kebijakan legislatif tentang perlindungan anak terhadap<br />
pornografi yang diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang<br />
berlaku di Indonesia.<br />
D. Manfaat Penelitian<br />
Selain tujuan penelitian di atas, dalam penulisan hukum ini penulis juga<br />
mengharapkan adanya suatu manfaat yang dapat diperoleh. Adapun manfaat<br />
yang didapat dari penelitian ini terbagi menjadi :<br />
1. Manfaat Teoritis<br />
Manfaat Teoritis dari penelitian ini adalah diketahuinya kebijakan<br />
legislatif tentang perlindungan anak terhadap pornografi yang diatur dalam 9<br />
beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,<br />
sehingga dengan demikian diharapkan hasil dari penelitian ini dapat<br />
memberikan tambahan pengetahuan bagi perkembangan ilmu hukum pada<br />
umumnya dan perkembangan ilmu hukum pidana anak pada khususnya.<br />
2. Manfaat Praktis<br />
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai tambahan pengetahuan<br />
dan wawasan bagi penulis mengenai hukum pidana pada umumnya dan<br />
hukum pidana anak pada khususnya, serta untuk memenuhi syarat guna<br />
mencapai derajat sarjana pada Fakultas Hukum Universitas<br />
Muhammadiyah Surakarta. <br />
E. Kerangka Pemikiran<br />
Negara Indones ia adalah Negara hukum yang berdasarkan Pancasila yang<br />
menghormati ke-Bhinneka -an dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.<br />
Negara bertanggung jawab melindungi setiap warga negara, menjunjung tinggi<br />
harkat dan martabat manusia, nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia dan<br />
kepribadian luhur yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.<br />
Sebagai penganut faham hidup berketuhanan, bangsa Indonesia meyakini<br />
dan mempercayai bahwa sikap dan tindakan asusila dan amoral dalam<br />
kehidupan seks, seperti pelecehan, perselingkuhan, kekerasan seks,<br />
penyimpangan seks, dan penyebarluasan gagasan-gagasan tentang seks melalui<br />
pornografi dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat. Dalam hal ini,<br />
tindakan membuat, menggandakan, menyebarluaskan, menggunakan dan10<br />
menyediakan sarana dan prasarana pornografi merupakan ancaman terhadap<br />
kelestarian tatanan kehidupan masyarakat.<br />
Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini<br />
terjadi peningka tan terhadap pembuatan, penggandaan, penyebarluasan,<br />
penggunaan, dan penyediaan sarana dan prasarana pornografi dalam berbagai<br />
bentuknya. Kecenderungan ini telah menimbulkan kesalahan dan kekuatiran<br />
masyarakat akan hancurnya sendi-sendi moral dan etika yang sangat diperlukan<br />
dalam pemeliharaan dan pelestarian tatanan kehidupan masyarakat. Selain itu,<br />
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pornografi belum<br />
mengatur secara tegas mengenai pembuatan, penggandaan, penyebarluasan,<br />
penggunaan dan penye diaan sarana dan prasarana pornografi. Oleh karena itu,<br />
dalam rangka melestarikan tatanan kehidupan dan ketertiban serta penegakan<br />
hukum masalah pornografi harus diatur dengan undang-undang yang mampu<br />
melindungi setiap warganegara, terutama anak dari eksploitasi seksual; serta<br />
mencegah dan menghentikan berkembangnya komersialisasi seks dan<br />
eksploitasi seksual baik industri maupun distribusinya.<br />
Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita -cita<br />
perjuangan bangsa dan sumberdaya manusia bagi pembangunan nasional.<br />
<br />
Olehkarena kondisinya sebagai anak, maka perlu perlakuan khusus agar dapat<br />
tumbuh dan berkembang secara wajar baik fisik, mental dan rohaninya. Untuk<br />
itu anak per lu dihindarkan dari perbuatan pidana yang dapat mempengaruhi<br />
perkembangan fisik, mental dan rohaninya tersebut. Menyadari kenyataan<br />
<br />
Penjelasan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi<br />
Penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak11<br />
demikian di samping norma sosial, moral/etika dan norma hukum juga<br />
memberikan perlindungan demikian khusus diberikan kepada anak, karena<br />
kalau dilakukan terhadap orang dewasa tidak dikualifikasi sebagai tindak<br />
pidana atau pelanggaran hukum. Akan tetapi apabila dilakukan terhadap anak<br />
itu menjadi tindak pidana. Dengan demikian, maka perlindungan yang<br />
diberikan kepada anak terhadap bahaya pornografi akan lebih terjamin dan<br />
terealisasi.<br />
F. Metode Penelitian<br />
Dalam melakukan penelitian agar terlaksana dengan maksimal, maka<br />
peneliti mempergunakan beberapa metode sebagai berikut :<br />
1. Metode Pendekatan<br />
Penelitian ini mendasarkan pada penelitian hukum yang dilakukan dengan<br />
pendekatan doktrinal (normative)<br />
karena dalam penelitian ini hukum<br />
dikonsepsikan sebagai norma -norma tertulis yang dibuat dan diundangkan<br />
oleh lembaga atau pejabat yang berwenang yaitu kebijakan legislatif yang<br />
mengatur tentang perlindungan anak terhadap pornografi.<br />
Pendekatan doktrinal yang bersifat normative, yaitu : penelitian terhadap taraf sinkronisasi (taraf<br />
konsistensinya) dari peraturan perundang-undangan, baik secara vertikal maupun horizontal. Hal<br />
ini dapat dilakukan terhadap bidang-bidang tertentu yang diatur oleh hukum, maupun di dalam<br />
kaitannya dengan bidang-bidang lain, yang mungkin mempunyai hubungan timbal balik.<br />
Perbandingan hukum, yang terutama terfokuskan pada perbedaan-perbedaan (dan juga mungkin<br />
persamaan-persamaan) yang terdapat di dalam dua atau lebih system (tata) hukum yang berbeda. <br />
Dimyati, Khudzaifah dan Kelik Wardiono. 2008. Metode Penelitian Hukum (Buku Pegangan<br />
Kuliah). Surakarta : Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta. Hal 1012<br />
2. Jenis Penelitian<br />
Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif, yaitu untuk memberikan<br />
gambaran mengenai kebijakan legislatif tentang perlindungan anak terhadap<br />
pornografi yang diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang<br />
berlaku di Indonesia. <br />
3. Sumber Data<br />
Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan sumber data sebagai<br />
berikut :<br />
a. Bahan Hukum Primer<br />
- KUHP<br />
- KUHAP<br />
- Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak<br />
- Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak-hak Azasi<br />
Manusia<br />
- Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan<br />
Anak<br />
- Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran<br />
- Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan<br />
Saksi dan Korban<br />
- Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi<br />
b. Bahan Hukum Sekunder<br />
- Buku-buku ilmiah13<br />
- Karya-karya tulis, artikel-artikel lain yang terkait dengan<br />
perlindungan anak terhadap pornografi.<br />
c. Bahan Hukum Tersier<br />
Merupakan bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum<br />
primer dan bahan hukum sekunder, misal : bibliografi, kamus.<br />
4. Metode Pengumpulan Data<br />
Untuk mengumpulkan data dimaksud diatas, maka digunakan teknik studi<br />
kepustakaan yaitu dengan mencari, mencatat, menginventarisasi,<br />
menganalisa dan mempelajari data-data yang berupa bahan-bahan pustaka.<br />
5. Metode Analisis Data<br />
Analisis data yang digunakan adalah dengan cara normatif kualitatif yang<br />
bertolak dengan menginventarisasi peraturan perundang-undangan, bukubuku ilmiah dan karya-karya tulis, artikel-artikel lain yang terkait dengan<br />
perlindungan anak terhadap pornografi.<br />
Penelitian ini merupakan jenis penelitian terhadap taraf sinkronisasi<br />
peraturan perundang-undangan secara horizontal, maka dilakuka n dengan<br />
cara mengkaji peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang<br />
perlindungan anak terhadap pornografi. Adapun yang dapat dijadikan<br />
sebagai obyek dalam penelitian normatif berjenis ini adalah data-data<br />
sekunder yang berupa : Bahan hukum primer.14<br />
G. Sistematika Penulisan Skripsi<br />
Untuk mengetahui isi dari penulisan skripsi ini, maka disusunlah<br />
sistematika penulisan skripsi yang terdiri dari 4 (empat) bab yaitu :<br />
Bab I Pendahuluan, yang mencakup latar belakang masalah, rumusan<br />
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka pemikiran, metode<br />
penelitian, dan sistematika penulisan skripsi.<br />
Bab II Tinjauan Pustaka, yang membahas mengenai beberapa sub bab,<br />
yaitu : tinjauan umum tentang kebijakan legislatif, anak, perlindungan anak,<br />
dan pornografi.<br />
Bab III Hasil Penelitian dan Pembahasan yang membahas mengenai<br />
Kebijakan Legislatif Tentang Perlindungan Anak Terhadap Pornografi yang<br />
terdiri dari beberapa sub bab, yaitu : Perlindungan anak sebagai korban<br />
pornografi, anak sebagai pelaku tindak pidana pornografi, dan kebijakan<br />
legislatif di bidang pencegahan.<br />
Bab IV Penutup yang membahas tentang kesimpulan dan saran.</div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/13505667582003710930noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8550374304110771050.post-21377694964229449792011-10-05T04:30:00.000-07:002011-10-06T03:26:51.504-07:00<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<h1 class="firstHeading" id="firstHeading">
Hukum Indonesia</h1>
<div id="siteSub">
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas</div>
<b>Hukum di Indonesia</b> merupakan campuran dari sistem hukum
hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang
dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada <b>hukum Eropa</b>
kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu
Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (<i>Nederlandsch-Indie</i>). <b>Hukum Agama</b>,
karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka
dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang
perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga
berlaku sistem <b>hukum Adat</b> yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi,<sup class="reference" id="cite_ref-0"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Indonesia#cite_note-0">[1]</a></sup> yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.<br />
<table class="toc" id="toc">
<tbody>
<tr>
<td>
<div id="toctitle">
<h2>
Daftar isi</h2>
</div>
<ul>
<li class="toclevel-1 tocsection-1"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Indonesia#Hukum_perdata_Indonesia"><span class="tocnumber">1</span> <span class="toctext">Hukum perdata Indonesia</span></a></li>
<li class="toclevel-1 tocsection-2"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Indonesia#Hukum_pidana_Indonesia"><span class="tocnumber">2</span> <span class="toctext">Hukum pidana Indonesia</span></a></li>
<li class="toclevel-1 tocsection-3"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Indonesia#Hukum_tata_negara"><span class="tocnumber">3</span> <span class="toctext">Hukum tata negara</span></a></li>
<li class="toclevel-1 tocsection-4"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Indonesia#Hukum_tata_usaha_.28administrasi.29_negara"><span class="tocnumber">4</span> <span class="toctext">Hukum tata usaha (administrasi) negara</span></a></li>
<li class="toclevel-1 tocsection-5"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Indonesia#Hukum_acara_perdata_Indonesia"><span class="tocnumber">5</span> <span class="toctext">Hukum acara perdata Indonesia</span></a></li>
<li class="toclevel-1 tocsection-6"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Indonesia#Hukum_acara_pidana_Indonesia"><span class="tocnumber">6</span> <span class="toctext">Hukum acara pidana Indonesia</span></a>
<ul>
<li class="toclevel-2 tocsection-7"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Indonesia#Asas_dalam_hukum_acara_pidana"><span class="tocnumber">6.1</span> <span class="toctext">Asas dalam hukum acara pidana</span></a></li>
</ul>
</li>
<li class="toclevel-1 tocsection-8"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Indonesia#Hukum_antar_tata_hukum"><span class="tocnumber">7</span> <span class="toctext">Hukum antar tata hukum</span></a></li>
<li class="toclevel-1 tocsection-9"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Indonesia#Hukum_adat_di_Indonesia"><span class="tocnumber">8</span> <span class="toctext">Hukum adat di Indonesia</span></a></li>
<li class="toclevel-1 tocsection-10"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Indonesia#Hukum_Islam_di_Indonesia"><span class="tocnumber">9</span> <span class="toctext">Hukum Islam di Indonesia</span></a></li>
<li class="toclevel-1 tocsection-11"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Indonesia#Istilah_hukum"><span class="tocnumber">10</span> <span class="toctext">Istilah hukum</span></a>
<ul>
<li class="toclevel-2 tocsection-12"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Indonesia#Advokat"><span class="tocnumber">10.1</span> <span class="toctext">Advokat</span></a></li>
<li class="toclevel-2 tocsection-13"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Indonesia#Advokat_dan_pengacara"><span class="tocnumber">10.2</span> <span class="toctext">Advokat dan pengacara</span></a></li>
<li class="toclevel-2 tocsection-14"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Indonesia#Konsultan_hukum"><span class="tocnumber">10.3</span> <span class="toctext">Konsultan hukum</span></a></li>
<li class="toclevel-2 tocsection-15"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Indonesia#Jaksa_dan_polisi"><span class="tocnumber">10.4</span> <span class="toctext">Jaksa dan polisi</span></a></li>
</ul>
</li>
<li class="toclevel-1 tocsection-16"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Indonesia#Lihat_pula"><span class="tocnumber">11</span> <span class="toctext">Lihat pula</span></a></li>
<li class="toclevel-1 tocsection-17"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Indonesia#Rujukan"><span class="tocnumber">12</span> <span class="toctext">Rujukan</span></a></li>
<li class="toclevel-1 tocsection-18"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Indonesia#Pranala_luar"><span class="tocnumber">13</span> <span class="toctext">Pranala luar</span></a></li>
</ul>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<h2>
<span class="editsection"></span> <span class="mw-headline" id="Hukum_perdata_Indonesia">Hukum perdata Indonesia</span></h2>
<table class="metadata plainlinks mbox-small" style="background-color: #f9f9f9; border: 1px solid #aaa;">
<tbody>
<tr>
<td class="mbox-image"><a href="http://id.wikisource.org/wiki/Special:Search/Hukum_Indonesia" title="Search Wikisource"><img alt="Search Wikisource" height="42" src="http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/4/4c/Wikisource-logo.svg/40px-Wikisource-logo.svg.png" width="40" /></a></td>
<td class="mbox-text"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Wikisource" title="Wikisource">Wikisource</a> memiliki naskah sumber yang berkaitan dengan <i><b><a class="extiw" href="http://id.wikisource.org/wiki/The_Civil_Code" title="s:The Civil Code">The Civil Code</a></b></i></td>
</tr>
</tbody></table>
Hukum adalah sekumpulan peraturan yang berisi perintah dan larangan
yang dibuat oleh pihak yang berwenang sehingga dapat dipaksakan
pemberlakuannya berfungsi untuk mengatur masyarakat demi terciptanya
ketertiban disertai dengan sanksi bagi pelanggarnya<br />
Salah satu bidang <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum" title="Hukum">hukum</a> yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Subyek_hukum" title="Subyek hukum">subyek hukum</a> dan hubungan antara subyek hukum. <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_perdata" title="Hukum perdata">Hukum perdata</a> disebut pula <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum" title="Hukum">hukum</a> privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Negara" title="Negara">negara</a> serta kepentingan umum (misalnya <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Politik" title="Politik">politik</a> dan <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilu" title="Pemilu">pemilu</a> (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Negara" title="Negara">negara</a>), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Penduduk" title="Penduduk">penduduk</a> atau <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Warga_negara" title="Warga negara">warga negara</a>
sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan,
perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan
tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.<br />
Ada beberapa <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem" title="Sistem">sistem</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum" title="Hukum">hukum</a> yang berlaku di <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Dunia" title="Dunia">dunia</a> dan perbedaan sistem hukum tersebut juga memengaruhi bidang hukum perdata, antara lain sistem hukum <i>Anglo-Saxon</i> (yaitu sistem hukum yang berlaku di <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Inggris" title="Kerajaan Inggris">Kerajaan Inggris</a> Raya dan negara-negara <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Negara_persemakmuran" title="Negara persemakmuran">persemakmuran</a> atau negara-negara yang terpengaruh oleh <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Inggris" title="Inggris">Inggris</a>, misalnya <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Amerika_Serikat" title="Amerika Serikat">Amerika Serikat</a>), sistem hukum Eropa kontinental, sistem hukum <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Komunis" title="Komunis">komunis</a>, sistem <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Islam" title="Hukum Islam">hukum Islam</a> dan sistem-sistem hukum lainnya. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Belanda" title="Belanda">Belanda</a>, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan.<br />
Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer.) yang berlaku di <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia" title="Indonesia">Indonesia</a> tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari <i>Burgerlijk Wetboek</i>
(atau dikenal dengan BW)yang berlaku di kerajaan Belanda dan
diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas
konkordansi. Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia
Belanda, BW diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata Belanda sendiri
disadur dari hukum perdata yang berlaku di <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Perancis" title="Perancis">Perancis</a> dengan beberapa penyesuaian. Kitab undang-undang hukum perdata (disingkat KUHPer) terdiri dari empat bagian, yaitu:<br />
<ul>
<li>Buku I tentang Orang; mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum
keluarga, yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang
dimiliki oleh subyek hukum. Antara lain ketentuan mengenai timbulnya hak
keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan, perkawinan, <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Keluarga" title="Keluarga">keluarga</a>,
perceraian dan hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk bagian
perkawinan, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak
berlaku dengan di undangkannya UU nomor 1 tahun <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/1974" title="1974">1974</a> tentang perkawinan.</li>
<li>Buku II tentang Kebendaan; mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum
yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang
berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris dan
penjaminan. Yang dimaksud dengan benda meliputi (i) benda berwujud yang
tidak bergerak (misalnya <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Tanah" title="Tanah">tanah</a>, <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Bangunan" title="Bangunan">bangunan</a> dan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kapal" title="Kapal">kapal</a> dengan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Berat" title="Berat">berat</a>
tertentu); (ii) benda berwujud yang bergerak, yaitu benda berwujud
lainnya selain yang dianggap sebagai benda berwujud tidak bergerak; dan
(iii) benda tidak berwujud (misalnya hak tagih atau piutang). Khusus
untuk bagian tanah, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan
tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 5 tahun <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/1960" title="1960">1960</a> tentang <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Agraria&action=edit&redlink=1" title="Agraria (halaman belum tersedia)">agraria</a>. Begitu pula bagian mengenai penjaminan dengan <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Hipotik&action=edit&redlink=1" title="Hipotik (halaman belum tersedia)">hipotik</a>, telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU tentang hak tanggungan.</li>
<li>Buku III tentang Perikatan; mengatur tentang hukum perikatan (atau
kadang disebut juga perjanjian (walaupun istilah ini sesunguhnya
mempunyai makna yang berbeda), yaitu hukum yang mengatur tentang hak dan
kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain tentang
jenis-jenis perikatan (yang terdiri dari perikatan yang timbul dari
(ditetapkan) <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-undang" title="Undang-undang">undang-undang</a>
dan perikatan yang timbul dari adanya perjanjian), syarat-syarat dan
tata cara pembuatan suatu perjanjian. Khusus untuk bidang perdagangan, <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kitab_Undang-undang_Hukum_Dagang&action=edit&redlink=1" title="Kitab Undang-undang Hukum Dagang (halaman belum tersedia)">Kitab undang-undang hukum dagang</a>
(KUHD) juga dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan
KUHPer, khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus
dari KUHPer.</li>
<li>Buku IV tentang Daluarsa dan Pembuktian; mengatur hak dan kewajiban
subyek hukum (khususnya batas atau tenggat waktu) dalam mempergunakan
hak-haknya dalam hukum perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan
pembuktian.</li>
</ul>
Sistematika yang ada pada KUHP tetap dipakai sebagai acuan oleh para
ahli hukum dan masih diajarkan pada fakultas-fakultas hukum di
Indonesia.<br />
<h2>
<span class="editsection"></span> <span class="mw-headline" id="Hukum_pidana_Indonesia">Hukum pidana Indonesia</span></h2>
Berdasarkan isinya, hukum dapat dibagi menjadi 2, yaitu hukum privat
dan hukum publik (C.S.T Kansil).Hukum privat adalah hukum yg mengatur
hubungan orang perorang, sedangkan hukum publik adalah hukum yg mengatur
hubungan antara negara dengan warga negaranya. Hukum pidana merupakan
bagian dari hukum publik. Hukum pidana terbagi menjadi dua bagian, yaitu
hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil
mengatur tentang penentuan tindak pidana, pelaku tindak pidana, dan
pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil diatur
dalam <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kitab_undang-undang_hukum_pidana&action=edit&redlink=1" title="Kitab undang-undang hukum pidana (halaman belum tersedia)">kitab undang-undang hukum pidana</a>
(KUHP). Hukum pidana formil mengatur tentang pelaksanaan hukum pidana
materiil. Di Indonesia, pengaturan hukum pidana formil telah disahkan
dengan UU nomor 8 tahun <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/1981" title="1981">1981</a> tentang hukum acara pidana (KUHAP).<br />
<h2>
<span class="editsection"></span> <span class="mw-headline" id="Hukum_tata_negara">Hukum tata negara</span></h2>
Hukum tata negara adalah hukum yang mengatur tentang negara, yaitu
antara lain dasar pendirian, struktur kelembagaan, pembentukan
lembaga-lembaga negara, hubungan hukum (hak dan kewajiban) antar lembaga
negara, wilayah dan warga negara. Hukum tata negara mengatur mengenai
negara dalam keadaan diam artinya bukan mengenai suatu keadaan nyata
dari suatu negara tertentu (sistem pemerintahan, sistem pemilu, dll dari
negara tertentu) tetapi lebih pada negara dalam arti luas. Hukum ini
membicarakan negara dalam arti yang abstrak.<br />
<h2>
<span class="editsection"></span> <span class="mw-headline" id="Hukum_tata_usaha_.28administrasi.29_negara">Hukum tata usaha (administrasi) negara</span></h2>
Hukum tata usaha (administrasi) negara adalah hukum yang mengatur
kegiatan administrasi negara. Yaitu hukum yang mengatur tata pelaksanaan
pemerintah dalam menjalankan tugasnya . hukum administarasi negara
memiliki kemiripan dengan hukum tata negara.kesamaanya terletak dalam
hal kebijakan pemerintah ,sedangkan dalam hal perbedaan hukum tata
negara lebih mengacu kepada fungsi konstitusi/hukum dasar yang digunakan
oleh suatu negara dalam hal pengaturan kebijakan pemerintah,untuk hukum
administrasi negara dimana negara dalam "keadaan yang bergerak". Hukum
tata usaha negara juga sering disebut HTN dalam arti sempit.<br />
<h2>
<span class="editsection"></span> <span class="mw-headline" id="Hukum_acara_perdata_Indonesia">Hukum acara perdata Indonesia</span></h2>
Hukum acara perdata Indonesia adalah hukum yang mengatur tentang tata
cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum
perdata. Dalam hukum acara perdata, dapat dilihat dalam berbagai
peraturan Belanda dulu(misalnya; Het Herziene Inlandsh Reglement/HIR,
RBG, RB,RO).<br />
<h2>
<span class="editsection"></span> <span class="mw-headline" id="Hukum_acara_pidana_Indonesia">Hukum acara pidana Indonesia</span></h2>
Hukum acara pidana Indonesia adalah hukum yang mengatur tentang tata
cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum
pidana. Hukum acara pidana di Indonesia diatur dalam UU nomor 8 tahun
1981.<br />
<h3>
<span class="editsection"></span> <span class="mw-headline" id="Asas_dalam_hukum_acara_pidana">Asas dalam hukum acara pidana</span></h3>
Asas di dalam hukum acara pidana di Indonesia adalah:<br />
<ul>
<li>Asas perintah tertulis, yaitu segala tindakan hukum hanya dapat
dilakukan berdasarkan perintah tertulis dari pejabat yang berwenang
sesuai dengan UU.</li>
<li>Asas peradilan cepat, sederhana, biaya ringan, jujur, dan tidak
memihak, yaitu serangkaian proses peradilan pidana (dari penyidikan
sampai dengan putusan hakim) dilakukan cepat, ringkas, jujur, dan adil
(pasal 50 KUHAP).</li>
<li>Asas memperoleh bantuan hukum, yaitu setiap orang punya kesempatan,
bahkan wajib memperoleh bantuan hukum guna pembelaan atas dirinya (pasal
54 KUHAP).</li>
<li>Asas terbuka, yaitu pemeriksaan tindak pidana dilakukan secara terbuka untuk umum (pasal 64 KUHAP).</li>
<li>Asas pembuktian, yaitu tersangka/terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (pasal 66 KUHAP), kecuali diatur lain oleh UU.</li>
</ul>
<h2>
<span class="editsection"></span> <span class="mw-headline" id="Hukum_antar_tata_hukum">Hukum antar tata hukum</span></h2>
Hukum antar tata hukum adalah hukum yang mengatur hubungan antara dua
golongan atau lebih yang tunduk pada ketentuan hukum yang berbeda.<br />
<h2>
<span class="editsection"></span> <span class="mw-headline" id="Hukum_adat_di_Indonesia">Hukum adat di Indonesia</span></h2>
<div class="dablink noprint">
<img alt="!" height="20" src="http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/e/ec/Crystal_Clear_app_xmag.svg/20px-Crystal_Clear_app_xmag.svg.png" width="20" />Artikel utama untuk bagian ini adalah: <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Adat_di_Indonesia" title="Hukum Adat di Indonesia">Hukum Adat di Indonesia</a></div>
Hukum <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Adat" title="Adat">adat</a> adalah seperangkat norma dan aturan adat yang berlaku di suatu wilayah.<br />
<h2>
<span class="editsection"></span> <span class="mw-headline" id="Hukum_Islam_di_Indonesia">Hukum Islam di Indonesia</span></h2>
<a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Islam" title="Hukum Islam">Hukum Islam</a> di <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia" title="Indonesia">Indonesia</a>
belum bisa ditegakkan secara menyeluruh, karena belum adanya dukungan
yang penuh dari segenap lapisan masyarakat secara demokratis baik
melalui pemilu atau <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Referendum" title="Referendum">referendum</a> maupun <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Amandemen" title="Amandemen">amandemen</a> terhadap <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/UUD_1945" title="UUD 1945">UUD 1945</a> secara tegas dan konsisten. <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Aceh" title="Aceh">Aceh</a>
merupakan satu-satunya provinsi yang banyak menerapkan hukum Islam
melalui Pengadilan Agama, sesuai pasal 15 ayat 2 Undang-Undang RI No. 4
Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu : <i>Peradilan Syariah Islam di Provinsi <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Nanggroe_Aceh_Darrussalam&action=edit&redlink=1" title="Nanggroe Aceh Darrussalam (halaman belum tersedia)">Nanggroe Aceh Darrussalam</a>
merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang
kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan
pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang
kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum</i>.<br />
<h2>
<span class="editsection"></span> <span class="mw-headline" id="Istilah_hukum">Istilah hukum</span></h2>
<h3>
<span class="editsection"></span><span class="mw-headline" id="Advokat">Advokat</span></h3>
Sejak berlakunya UU nomor 18 tahun <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/2003" title="2003">2003</a>
tentang advokat, sebutan bagi seseorang yang berprofesi memberikan
bantuan hukum secara swasta - yang semula terdiri dari berbagai sebutan,
seperti advokat, pengacara, konsultan hukum, penasihat hukum - adalah
advokat.<br />
<h3>
<span class="editsection"></span><span class="mw-headline" id="Advokat_dan_pengacara">Advokat dan pengacara</span></h3>
Kedua istilah ini sebenarnya bermakna sama, walaupun ada beberapa
pendapat yang menyatakan berbeda. Sebelum berlakunya UU nomor 18 tahun
2003, istilah untuk pembela keadilan plat hitam ini sangat beragam,
mulai dari istilah pengacara, penasihat hukum, konsultan hukum, advokat
dan lainnya. Pengacara sesuai dengan kata-kata secara harfiah dapat
diartikan sebagai orang yang beracara, yang berarti individu, baik yang
tergabung dalam suatu kantor secara bersama-sama atau secara individual
yang menjalankan profesi sebagai penegak hukum plat hitam di <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Pengadilan" title="Pengadilan">pengadilan</a>.
Sementara advokat dapat bergerak dalam pengadilan, maupun bertindak
sebagai konsultan dalam masalah hukum, baik pidana maupun perdata. Sejak
diundangkannya UU nomor 18 tahun 2003, maka istilah-istilah tersebut
distandarisasi menjadi advokat saja.<br />
Dahulu yang membedakan keduanya yaitu <b>Advokat</b> adalah seseorang
yang memegang izin ber"acara" di Pengadilan berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Kehakiman serta mempunyai wilayah untuk "beracara" di seluruh
wilayah Republik Indonesia sedangkan <b>Pengacara Praktek</b> adalah
seseorang yang memegang izin praktik / beracara berdasarkan Surat
Keputusan Pengadilan Tinggi setempat dimana wilayah beracaranya adalah
"hanya" diwilayah Pengadilan Tinggi yang mengeluarkan izin praktik
tersebut. Setelah UU No. 18 th 2003 berlaku maka yang berwenang untuk
mengangkat seseorang menjadi Advokat adalah Organisasi
Advokat.(Pengacara dan Pengacara Praktek/pokrol dst seteah UU No. 18
tahun 2003 dihapus)<br />
<h3>
<span class="editsection"></span><span class="mw-headline" id="Konsultan_hukum">Konsultan hukum</span></h3>
Konsultan hukum atau dalam bahasa Inggris <i>counselor at law</i> atau <i>legal consultant</i>
adalah orang yang berprofesi memberikan pelayanan jasa hukum dalam
bentuk konsultasi, dalam sistem hukum yang berlaku di negara
masing-masing. Untuk di Indonesia, sejak UU nomor 18 tahun 2003 berlaku,
semua istilah mengenai konsultan hukum, pengacara, penasihat hukum dan
lainnya yang berada dalam ruang lingkup pemberian jasa hukum telah
distandarisasi menjadi advokat.<br />
<h3>
<span class="editsection"></span> <span class="mw-headline" id="Jaksa_dan_polisi">Jaksa dan polisi</span></h3>
Dua institusi publik yang berperan aktif dalam menegakkan hukum publik di Indonesia adalah <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kejaksaan&action=edit&redlink=1" title="Kejaksaan (halaman belum tersedia)">kejaksaan</a> dan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Polisi" title="Polisi">kepolisian</a>.
Kepolisian atau polisi berperan untuk menerima, menyelidiki, menyidik
suatu tindak pidana yang terjadi dalam ruang lingkup wilayahnya. Apabila
ditemukan unsur-unsur tindak <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Pidana" title="Pidana">pidana</a>,
baik khusus maupun umum, atau tertentu, maka pelaku (tersangka) akan
diminta keterangan, dan apabila perlu akan ditahan. Dalam masa
penahanan, tersangka akan diminta keterangannya mengenai tindak pidana
yang diduga terjadi. Selain tersangka, maka polisi juga memeriksa <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Saksi" title="Saksi">saksi-saksi</a> dan alat bukti yang berhubungan erat dengan tindak pidana yang disangkakan. Keterangan tersebut terhimpun dalam <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Berita_acara_pemeriksaan&action=edit&redlink=1" title="Berita acara pemeriksaan (halaman belum tersedia)">berita acara pemeriksaan</a>
(BAP) yang apabila dinyatakan P21 atau lengkap, akan dikirimkan ke
kejaksaan untuk dipersiapkan masa persidangannya di pengadilan.
Kejaksaan akan menjalankan fungsi pengecekan BAP dan analisa bukti-bukti
serta saksi untuk diajukan ke pengadilan. Apabila kejaksaan berpendapat
bahwa bukti atau saksi kurang mendukung, maka kejaksaan akan
mengembalikan berkas tersebut ke kepolisian, untuk dilengkapi. Setelah
lengkap, maka kejaksaan akan melakukan proses penuntutan perkara. Pada
tahap ini, pelaku (tersangka) telah berubah statusnya menjadi terdakwa,
yang akan disidang dalam pengadilan. Apabila telah dijatuhkan putusan,
maka status terdakwa berubah menjadi terpidana.<br />
<h2>
<span class="editsection"></span><span class="mw-headline" id="Lihat_pula">Lihat pula</span></h2>
<ul>
<li><a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang" title="Undang-Undang">Undang-Undang</a></li>
<li><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum" title="Hukum">Hukum</a></li>
<li><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukuman_pukulan_rotan" title="Hukuman pukulan rotan">Hukuman pukulan rotan</a></li>
<li><a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Perkembangan_organisasi_advokat_di_Indonesia&action=edit&redlink=1" title="Perkembangan organisasi advokat di Indonesia (halaman belum tersedia)">Perkembangan organisasi advokat di Indonesia</a></li>
<li><a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Islam" title="Hukum Islam">Hukum Islam</a></li>
</ul>
<h2>
<span class="editsection"></span> <span class="mw-headline" id="Rujukan">Rujukan</span></h2>
<div class="references-small" style="list-style-type: decimal;">
<ol class="references">
<li id="cite_note-0"><b><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Indonesia#cite_ref-0">^</a></b> <a class="external text" href="http://www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=1900+64&f=uu19-1964.htm" rel="nofollow">Pasal 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964</a></li>
</ol>
</div>
<h2>
<span class="editsection"></span><span class="mw-headline" id="Pranala_luar">Pranala luar</span></h2>
<ul>
<li><span lang="Indonesia" style="color: #777777; cursor: help; font-size: 0.95em; font-weight: bold;" title="Bahasa Indonesia">(Indonesia)</span> <a class="external text" href="http://www.depkehham.go.id/" rel="nofollow">Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (Depkehham) Republik Indonesia</a></li>
<li><span lang="Indonesia" style="color: #777777; cursor: help; font-size: 0.95em; font-weight: bold;" title="Bahasa Indonesia">(Indonesia)</span> <a class="external text" href="http://www.kejaksaan.go.id/" rel="nofollow">Kejaksaan Agung Republik Indonesia</a></li>
<li><span lang="Indonesia" style="color: #777777; cursor: help; font-size: 0.95em; font-weight: bold;" title="Bahasa Indonesia">(Indonesia)</span> <a class="external text" href="http://www.mari.go.id/" rel="nofollow">Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia)</a></li>
<li><span lang="Indonesia" style="color: #777777; cursor: help; font-size: 0.95em; font-weight: bold;" title="Bahasa Indonesia">(Indonesia)</span> <a class="external text" href="http://www.polri.go.id/" rel="nofollow">Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri)</a></li>
<li><span lang="Indonesia" style="color: #777777; cursor: help; font-size: 0.95em; font-weight: bold;" title="Bahasa Indonesia">(Indonesia)</span> <a class="external text" href="http://www.ri.go.id/produk_uu/datar_isi-2.htm" rel="nofollow">Produk Perundang-Undangan Republik Indonesia (di situs www.ri.go.id)</a></li>
</ul>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/13505667582003710930noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8550374304110771050.post-62229180834601965082011-10-04T05:28:00.000-07:002011-10-04T05:32:12.096-07:00sejarah uu republik indonesia<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<h3 class="post-title entry-title">
<br /> </h3>
<div class="post-header">
</div>
<h1 class="firstHeading" id="firstHeading">
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945</h1>
<b>Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945</b>, atau disingkat <b>UUD 1945</b> atau <b>UUD '45</b>, adalah <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Hukum_dasar_tertulis&action=edit&redlink=1" title="Hukum dasar tertulis (halaman belum tersedia)">hukum dasar tertulis</a> (<i>basic law</i>), <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Konstitusi" title="Konstitusi">konstitusi</a> pemerintahan negara <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Republik_Indonesia" title="Republik Indonesia">Republik Indonesia</a> saat ini. <sup class="reference" id="cite_ref-0"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Dasar_Negara_Republik_Indonesia_Tahun_1945#cite_note-0">[1]</a></sup><br />
UUD 1945 disahkan sebagai undang-undang dasar negara oleh <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/PPKI" title="PPKI">PPKI</a> pada tanggal <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/18_Agustus" title="18 Agustus">18 Agustus</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/1945" title="1945">1945</a>. Sejak tanggal <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/27_Desember" title="27 Desember">27 Desember</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/1949" title="1949">1949</a>, di Indonesia berlaku <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Konstitusi_Sementara_Republik_Indonesia_Serikat&action=edit&redlink=1" title="Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat (halaman belum tersedia)">Konstitusi RIS</a>, dan sejak tanggal <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/17_Agustus" title="17 Agustus">17 Agustus</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/1950" title="1950">1950</a> di Indonesia berlaku <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Dasar_Sementara_Republik_Indonesia" title="Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia">UUDS 1950</a>. <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Dekrit_Presiden_1959" title="Dekrit Presiden 1959">Dekrit Presiden</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/5_Juli" title="5 Juli">5 Juli</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/1959" title="1959">1959</a> kembali memberlakukan UUD 1945, dengan dikukuhkan secara aklamasi oleh <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Dewan_Perwakilan_Rakyat" title="Dewan Perwakilan Rakyat">DPR</a> pada tanggal <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/22_Juli" title="22 Juli">22 Juli</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/1959" title="1959">1959</a>.<br />
Pada kurun waktu tahun <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/1999" title="1999">1999</a>-<a href="http://id.wikipedia.org/wiki/2002" title="2002">2002</a>, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen), yang mengubah susunan lembaga-lembaga dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.<br />
<div id="toctitle">
<h2>
Daftar isi</h2>
<span class="toctoggle">[<a class="internal" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Dasar_Negara_Republik_Indonesia_Tahun_1945#" id="togglelink">sembunyikan</a>]</span></div>
<ul>
<li class="toclevel-1 tocsection-1"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Dasar_Negara_Republik_Indonesia_Tahun_1945#Naskah_Undang-Undang_Dasar_1945"><span class="tocnumber">1</span> <span class="toctext">Naskah Undang-Undang Dasar 1945</span></a></li>
<li class="toclevel-1 tocsection-2"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Dasar_Negara_Republik_Indonesia_Tahun_1945#Sejarah"><span class="tocnumber">2</span> <span class="toctext">Sejarah</span></a> <ul>
<li class="toclevel-2 tocsection-3"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Dasar_Negara_Republik_Indonesia_Tahun_1945#Sejarah_Awal"><span class="tocnumber">2.1</span> <span class="toctext">Sejarah Awal</span></a></li>
<li class="toclevel-2 tocsection-4"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Dasar_Negara_Republik_Indonesia_Tahun_1945#Periode_berlakunya_UUD_1945_18_Agustus_1945-_27_Desember_1949"><span class="tocnumber">2.2</span> <span class="toctext">Periode berlakunya UUD 1945 18 Agustus 1945- 27 Desember 1949</span></a></li>
<li class="toclevel-2 tocsection-5"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Dasar_Negara_Republik_Indonesia_Tahun_1945#Periode_berlakunya_Konstitusi_RIS_1949_27_Desember_1949_-_17_Agustus_1950"><span class="tocnumber">2.3</span> <span class="toctext">Periode berlakunya Konstitusi RIS 1949 27 Desember 1949 - 17 Agustus 1950</span></a></li>
<li class="toclevel-2 tocsection-6"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Dasar_Negara_Republik_Indonesia_Tahun_1945#Periode_UUDS_1950_17_Agustus_1950_-_5_Juli_1959"><span class="tocnumber">2.4</span> <span class="toctext">Periode UUDS 1950 17 Agustus 1950 - 5 Juli 1959</span></a></li>
<li class="toclevel-2 tocsection-7"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Dasar_Negara_Republik_Indonesia_Tahun_1945#Periode_kembalinya_ke_UUD_1945_5_Juli_1959-1966"><span class="tocnumber">2.5</span> <span class="toctext">Periode kembalinya ke UUD 1945 5 Juli 1959-1966</span></a></li>
<li class="toclevel-2 tocsection-8"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Dasar_Negara_Republik_Indonesia_Tahun_1945#Periode_UUD_1945_masa_orde_baru_11_Maret_1966-_21_Mei_1998"><span class="tocnumber">2.6</span> <span class="toctext">Periode UUD 1945 masa orde baru 11 Maret 1966- 21 Mei 1998</span></a></li>
<li class="toclevel-2 tocsection-9"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Dasar_Negara_Republik_Indonesia_Tahun_1945#Periode_21_Mei_1998-_19_Oktober_1999"><span class="tocnumber">2.7</span> <span class="toctext">Periode 21 Mei 1998- 19 Oktober 1999</span></a></li>
<li class="toclevel-2 tocsection-10"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Dasar_Negara_Republik_Indonesia_Tahun_1945#Periode_UUD_1945_Amandemen"><span class="tocnumber">2.8</span> <span class="toctext">Periode UUD 1945 Amandemen</span></a></li>
</ul>
</li>
<li class="toclevel-1 tocsection-11"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Dasar_Negara_Republik_Indonesia_Tahun_1945#Referensi"><span class="tocnumber">3</span> <span class="toctext">Referensi</span></a></li>
<li class="toclevel-1 tocsection-12"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Dasar_Negara_Republik_Indonesia_Tahun_1945#Pranala_luar"><span class="tocnumber">4</span> <span class="toctext">Pranala luar</span></a><span class="toctext"> </span></li>
<li class="toclevel-1 tocsection-12"><h2>
<span class="mw-headline" id="Naskah_Undang-Undang_Dasar_1945">Naskah Undang-Undang Dasar 1945</span></h2>
Sebelum dilakukan Perubahan, UUD 1945 terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh (16 bab, 37 pasal, 65 ayat (16 ayat berasal dari 16 pasal yang hanya terdiri dari 1 ayat dan 49 ayat berasal dari 21 pasal yang terdiri dari 2 ayat atau lebih), 4 pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan), serta Penjelasan.<br />
Setelah dilakukan 4 kali perubahan, UUD 1945 memiliki 20 bab, 37 pasal, 194 ayat, 3 pasal Aturan Peralihan, dan 2 pasal Aturan Tambahan.<br />
Dalam Risalah Sidang Tahunan MPR Tahun 2002, diterbitkan <b>Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Satu Naskah</b>, Sebagai Naskah Perbantuan dan Kompilasi Tanpa Ada Opini.<br />
<h2>
<span class="mw-headline" id="Sejarah">Sejarah</span></h2>
<h3>
<span class="editsection"></span> <span class="mw-headline" id="Sejarah_Awal">Sejarah Awal</span></h3>
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk pada tanggal 29 April 1945 adalah badan yang menyusun rancangan UUD 1945. Pada masa sidang pertama yang berlangsung dari tanggal 28 Mei hingga 1 Juni 1945, Ir. <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Soekarno" title="Soekarno">Soekarno</a> menyampaikan gagasan tentang "Dasar Negara" yang diberi nama Pancasila. Pada tanggal <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/22_Juni" title="22 Juni">22 Juni</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/1945" title="1945">1945</a>, 38 anggota BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang terdiri dari 9 orang untuk merancang <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Piagam_Jakarta" title="Piagam Jakarta">Piagam Jakarta</a> yang akan menjadi naskah Pembukaan UUD 1945. Setelah dihilangkannya anak kalimat "dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya" maka naskah Piagam Jakarta menjadi naskah Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pengesahan UUD 1945 dikukuhkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bersidang pada tanggal 29 Agustus 1945. Naskah rancangan UUD 1945 Indonesia disusun pada masa Sidang Kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Nama Badan ini tanpa kata "Indonesia" karena hanya diperuntukkan untuk tanah Jawa saja. Di Sumatera ada BPUPK untuk Sumatera. Masa Sidang Kedua tanggal <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/10_Juli" title="10 Juli">10</a>-<a href="http://id.wikipedia.org/wiki/17_Juli" title="17 Juli">17 Juli</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/1945" title="1945">1945</a>. Tanggal <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/18_Agustus" title="18 Agustus">18 Agustus</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/1945" title="1945">1945</a>, <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/PPKI" title="PPKI">PPKI</a> mengesahkan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.<br />
<h3>
<span class="editsection"></span> <span class="mw-headline" id="Periode_berlakunya_UUD_1945_18_Agustus_1945-_27_Desember_1949">Periode berlakunya UUD 1945 18 Agustus 1945- 27 Desember 1949</span></h3>
Dalam kurun waktu 1945-1950, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena Indonesia sedang disibukkan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/16_Oktober" title="16 Oktober">16 Oktober</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/1945" title="1945">1945</a> memutuskan bahwa <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/KNIP" title="KNIP">KNIP</a> diserahi kekuasaan legislatif, karena MPR dan DPR belum terbentuk. Tanggal <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/14_November" title="14 November">14 November</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/1945" title="1945">1945</a> dibentuk Kabinet Semi-Presidensiel ("Semi-Parlementer") yang pertama, sehingga peristiwa ini merupakan perubahan sistem pemerintahan agar dianggap lebih demokratis.<br />
<h3>
<span class="editsection"></span> <span class="mw-headline" id="Periode_berlakunya_Konstitusi_RIS_1949_27_Desember_1949_-_17_Agustus_1950">Periode berlakunya Konstitusi RIS 1949 27 Desember 1949 - 17 Agustus 1950</span></h3>
Pada masa ini sistem pemerintahan indonesia adalah parlementer.<br />
bentuk pemerintahan dan bentuk negaranya federasi yaitu negara yang didalamnya terdiri dari negara-negara bagian yang masing masing negara bagian memiliki kedaulatan sendiri untuk mengurus urusan dalam negerinya.<br />
<h3>
<span class="editsection"></span> <span class="mw-headline" id="Periode_UUDS_1950_17_Agustus_1950_-_5_Juli_1959">Periode UUDS 1950 17 Agustus 1950 - 5 Juli 1959</span></h3>
Pada periode UUDS 50 ini diberlakukan sistem Demokrasi Parlementer yang sering disebut Demokrasi Liberal. Pada periode ini pula kabinet selalu silih berganti, akibatnya pembangunan tidak berjalan lancar, masing-masing partai lebih memperhatikan kepentingan partai atau golongannya. Setelah negara RI dengan UUDS 1950 dan sistem Demokrasi Liberal yang dialami rakyat Indonesia selama hampir 9 tahun, maka rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS 1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak cocok, karena tidak sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945. Akhirnya Presiden menganggap bahwa keadaan ketatanegaraan Indonesia membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara serta merintangi pembangunan semesta berencana untuk mencapai masyarakat adil dan makmur; sehingga pada tanggal 5 Juli 1959 mengumumkan dekrit mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya UUDS 1950<br />
<h3>
<span class="editsection"></span> <span class="mw-headline" id="Periode_kembalinya_ke_UUD_1945_5_Juli_1959-1966">Periode kembalinya ke UUD 1945 5 Juli 1959-1966</span></h3>
<div class="thumb tright">
<div class="thumbinner" style="width: 222px;">
<a class="image" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Berkas:Perangko_kembali_ke_UUD_1945_50_sen.jpg&filetimestamp=20110505053038"><img alt="" class="thumbimage" height="169" src="http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/7/79/Perangko_kembali_ke_UUD_1945_50_sen.jpg/220px-Perangko_kembali_ke_UUD_1945_50_sen.jpg" width="220" /></a> <br />
<div class="thumbcaption">
<div class="magnify">
<a class="internal" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Berkas:Perangko_kembali_ke_UUD_1945_50_sen.jpg&filetimestamp=20110505053038" title="Perbesar"><img alt="" height="11" src="http://bits.wikimedia.org/skins-1.17/common/images/magnify-clip.png" width="15" /></a></div>
Perangko "Kembali ke UUD 1945" dengan nominal 50 sen</div>
</div>
</div>
Karena situasi politik pada Sidang Konstituante 1959 dimana banyak saling tarik ulur kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan UUD baru, maka pada tanggal <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/5_Juli" title="5 Juli">5 Juli</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/1959" title="1959">1959</a>, Presiden <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Sukarno" title="Sukarno">Sukarno</a> mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar, menggantikan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Dasar_Sementara_Republik_Indonesia" title="Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia">Undang-Undang Dasar Sementara 1950</a> yang berlaku pada waktu itu.<br />
Pada masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, di antaranya:<br />
</li>
<li>Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri Negara</li>
<li>MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup</li>
<li><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_30_September" title="Gerakan 30 September">Pemberontakan Partai Komunis Indonesia melalui Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia</a></li>
</ul>
<h3>
<span class="editsection"></span> <span class="mw-headline" id="Periode_UUD_1945_masa_orde_baru_11_Maret_1966-_21_Mei_1998">Periode UUD 1945 masa orde baru 11 Maret 1966- 21 Mei 1998</span></h3>
Pada masa <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Orde_Baru" title="Orde Baru">Orde Baru</a> (1966-1998), Pemerintah menyatakan akan menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun pelaksanaannya ternyata menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 yang murni,terutama pelanggaran pasal 23 (hutang Konglomerat/private debt dijadikan beban rakyat Indonesia/public debt) dan 33 UUD 1945 yang memberi kekuasaan pada pihak swasta untuk menghancur hutan dan sumberalam kita.<br />
Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat "sakral", di antara melalui sejumlah peraturan:<br />
<ul>
<li>Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya</li>
<li>Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus minta pendapat rakyat melalui referendum.</li>
<li>Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR Nomor IV/MPR/1983.</li>
</ul>
<h3>
<span class="editsection"></span><span class="mw-headline" id="Periode_21_Mei_1998-_19_Oktober_1999">Periode 21 Mei 1998- 19 Oktober 1999</span></h3>
Pada masa ini dikenal masa transisi. Yaitu masa sejak Presiden Soeharto digantikan oleh B.J.Habibie sampai dengan lepasnya Provinsi Timor Timur dari NKRI.<br />
<h3>
<span class="editsection"></span><span class="mw-headline" id="Periode_UUD_1945_Amandemen">Periode UUD 1945 Amandemen</span></h3>
Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Permusyawaratan_Rakyat" title="Majelis Permusyawaratan Rakyat">MPR</a> (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu "luwes" (sehingga dapat menimbulkan multitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.<br />
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan di antaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensiil.<br />
Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen) yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:<br />
<ul>
<li>Sidang Umum MPR 1999, tanggal <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/14_Oktober" title="14 Oktober">14</a>-<a href="http://id.wikipedia.org/wiki/21_Oktober" title="21 Oktober">21 Oktober</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/1999" title="1999">1999</a> â <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Perubahan_Pertama_UUD_1945" title="Perubahan Pertama UUD 1945">Perubahan Pertama UUD 1945</a></li>
<li>Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/7_Agustus" title="7 Agustus">7</a>-<a href="http://id.wikipedia.org/wiki/18_Agustus" title="18 Agustus">18 Agustus</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/2000" title="2000">2000</a> â <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Perubahan_Kedua_UUD_1945" title="Perubahan Kedua UUD 1945">Perubahan Kedua UUD 1945</a></li>
<li>Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/1_November" title="1 November">1</a>-<a href="http://id.wikipedia.org/wiki/9_November" title="9 November">9 November</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/2001" title="2001">2001</a> â <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Perubahan_Ketiga_UUD_1945" title="Perubahan Ketiga UUD 1945">Perubahan Ketiga UUD 1945</a></li>
<li>Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/1_Agustus" title="1 Agustus">1</a>-<a href="http://id.wikipedia.org/wiki/11_Agustus" title="11 Agustus">11 Agustus</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/2002" title="2002">2002</a> â <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Perubahan_Keempat_UUD_1945" title="Perubahan Keempat UUD 1945">Perubahan Keempat UUD 1945</a></li>
</ul>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/13505667582003710930noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8550374304110771050.post-56826993570930633262011-09-26T05:37:00.000-07:002011-09-26T05:37:57.493-07:00hukum internasionalHukum internasional
Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas berskala internasional. Pada awalnya, Hukum Internasional hanya diartikan sebagai perilaku dan hubungan antarnegara namun dalam perkembangan pola hubungan internasional yang semakin kompleks pengertian ini kemudian meluas sehingga hukum internasional juga mengurusi struktur dan perilaku organisasi internasional dan pada batas tertentu, perusahaan multinasional dan individu.
Hukum internasional adalah hukum bangsa-bangsa, hukum antarbangsa atau hukum antarnegara. Hukum bangsa-bangsa dipergunakan untuk menunjukkan pada kebiasaan dan aturan hukum yang berlaku dalam hubungan antara raja-raja zaman dahulu. Hukum antarbangsa atau hukum antarnegara menunjukkan pada kompleks kaedah dan asas yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa atau negara.
Hukum Internasional merupakan keseluruhan kaedah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara:
(i) negara dengan negara
(ii) negara dengan subyek hukum lain bukan negara atau subyek hukum bukan negara satu sama lain.
== Perbedaan dan persamaan ==
Hukum Internasional publik berbeda dengan Hukum Perdata Internasional. Hukum Perdata Internasional ialah keseluruhan kaedah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara atau hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata (nasional) yang berlainan. Sedangkan Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata.
Persamaannya adalah bahwa keduanya mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara(internasional). Perbedaannya adalah sifat hukum atau persoalan yang diaturnya (obyeknya).
Bentuk Hukum internasional
Hukum Internasional terdapat beberapa bentuk perwujudan atau pola perkembangan yang khusus berlaku di suatu bagian dunia (region) tertentu :
Hukum Internasional Regional
Hukum Internasional yang berlaku/terbatas daerah lingkungan berlakunya, seperti Hukum Internasional Amerika / Amerika Latin, seperti konsep landasan kontinen (Continental Shelf) dan konsep perlindungan kekayaan hayati laut (conservation of the living resources of the sea) yang mula-mula tumbuh di Benua Amerika sehingga menjadi hukum Internasional Umum.
Hukum Internasional Khusus
Hukum Internasional dalam bentuk kaedah yang khusus berlaku bagi negara-negara tertentu seperti Konvensi Eropa mengenai HAM sebagai cerminan keadaan, kebutuhan, taraf perkembangan dan tingkat integritas yang berbeda-beda dari bagian masyarakat yang berlainan. Berbeda dengan regional yang tumbuh melalui proses hukum kebiasaan.
[sunting] Hukum Internasional dan Hukum Dunia
Hukum Internasional didasarkan atas pikiran adanya masyarakat internasional yang terdiri atas sejumlah negara yang berdaulat dan merdeka dalam arti masing-masing berdiri sendiri yang satu tidak dibawah kekuasaan lain sehingga merupakan suatu tertib hukum koordinasi antara anggota masyarakat internasional yang sederajat.
Hukum Dunia berpangkal pada dasar pikiran lain. Dipengaruhi analogi dengan Hukum Tata Negara (constitusional law), hukum dunia merupakan semacam negara (federasi) dunia yang meliputi semua negara di dunia ini. Negara dunia secara hirarki berdiri di atas negara-negara nasional. Tertib hukum dunia menurut konsep ini merupakan suatu tertib hukum subordinasi.
[sunting] Masyarakat dan Hukum Internasional
Adanya masyarakat-masyarakat Internasional sebagai landasan sosiologis hukum internasional.
Adanya suatu masyarakat Internasional. Adanya masyarakat internasional ditunjukkan adanya hubungan yang terdapat antara anggota masyarakat internasional, karena adanya kebutuhan yang disebabkan antara lain oleh pembagian kekayaan dan perkembangan industri yang tidak merata di dunia seperti adanya perniagaan atau pula hubungan di lapangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, keagamaan, sosial dan olah raga mengakibatkan timbulnya kepentingan untuk memelihara dan mengatur hubungan bersama merupakan suatu kepentingan bersama. Untuk menertibkan, mengatur dan memelihara hubungan Internasional inilah dibutuhkan hukum dunia menjamin unsur kepastian yang diperlukan dalam setiap hubungan yang teratur. Masyarakat Internasional pada hakekatnya adalah hubungan kehidupan antar manusia dan merupakan suatu kompleks kehidupan bersama yang terdiri dari aneka ragam masyarakat yang menjalin dengan erat.
Asas hukum yang bersamaan sebagai unsur masyarakat hukum internasional. Suatu kumpulan bangsa untuk dapat benar-benar dikatakan suatu masyarakat Hukum Internasional harus ada unsur pengikat yaitu adanya asas kesamaan hukum antara bangsa-bangsa di dunia ini. Betapapun berlainan wujudnya hukum positif yang berlaku di tiap-tiap negara tanpa adanya suatu masyarakat hukum bangsa-bangsa merupakan hukum alam (naturerech) yang mengharuskan bangsa-bangsa di dunia hidup berdampingan secara damai dapat dikembalikan pada akal manusia (ratio) dan naluri untuk mempertahankan jenisnya.
Kedaulatan Negara : Hakekat dan Fungsinya Dalam Masyarakat Internasional.
Negara dikatakan berdaulat (sovereian) karena kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri hakiki negara. Negara berdaulat berarti negara itu mempunyai kekuasaan tertentu. Negara itu tidak mengakui suatu kekuasaan yang lebih tinggi daripada kekuasaannya sendiri dan mengandung 2 (dua) pembatasan penting dalam dirinya:
Kekuasaan itu berakhir dimana kekuasaan suatu negara lain mulai.
Kekuasaan itu terbatas pada batas wilayah negara yang memiliki kekuasaan itu.
Konsep kedaulatan, kemerdekaan dan kesamaan derajat tidak bertentangan satu dengan lain bahkan merupakan perwujudan dan pelaksanaan pengertian kedaulatan dalam arti wajar dan sebagai syarat mutlak bagi terciptanya suatu masyarakat Internasional yang teratur.
Masyarakat Internasional dalam peralihan: perubahan-perubahan dalam peta bumi politik, kemajuan teknologi dan struktur masyarakat internasional.
Masyarakat Internasional mengalami berbagai perubahan yang besar dan pokok ialah perbaikan peta bumi politik yang terjadi terutama setelah Perang Dunia II. Proses ini sudah dimulai pada permulaan abad XX mengubah pola kekuasaan politik di dunia. Timbulnya negara-negara baru yang merdeka, berdaulat dan sama derajatnya satu dengan yang lain terutama sesudah Perang Dunia
Perubahan Kedua ialah kemajuan teknologi.
Kemajuan teknologi berbagai alat perhubungan menambah mudahnya perhubungan yang melintasi batas negara.
Perkembangan golongan ialah timbulnya berbagai organisasi atau lembaga internasional yang mempunyai eksistensi terlepas dari negara-negara dan adanya perkembangan yang memberikan kompetensi hukum kepada para individu. Kedua gejala ini menunjukkan bahwa disamping mulai terlaksananya suatu masyarakat internasional dalam arti yang benar dan efektif berdasarkan asas kedaulatan, kemerdekaan dan persamaan derajat antar negara sehingga dengan demikian terjelma Hukum Internasional sebagai hukum koordinasi, timbul suatu komplek kaedah yang lebih memperlihatkan ciri-ciri hukum subordinasi.
[sunting] Sejarah dan Perkembangannya
Hukum Internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang mengatur hubungan antara negara-negara, lahir dengan kelahiran masyarakat Internasional yang didasarkan atas negara-negara nasional. Sebagai titik saat lahirnya negara-negara nasional yang modern biasanya diambil saat ditandatanganinya Perjanjian Perdamaian Westphalia yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun di Eropa.
Zaman dahulu kala sudah terdapat ketentuan yang mengatur, hubungan antara raja-raja atau bangsa-bangsa:
Dalam lingkungan kebudayaan India Kuno telah terdapat kaedah dan lembaga hukum yang mengatur hubungan antar kasta, suku-suku bangsa dan raja-raja yang diatur oleh adat kebiasaan. Menurut Bannerjce, adat kebiasaan yang mengatur hubungan antara raja-raja dinamakan Desa Dharma. Pujangga yang terkenal pada saat itu Kautilya atau Chanakya.Penulis buku Artha Sastra Gautamasutra salah satu karya abad VI SM di bidang hukum.
[sunting] Kebudayaan Yahudi
Dalam hukum kuno mereka antara lain Kitab Perjanjian Lama, mengenal ketentuan mengenai perjanjian, diperlakukan terhadap orang asing dan cara melakukan perang.Dalam hukum perang masih dibedakan (dalam hukum perang Yahudi ini) perlakuan terhadap mereka yang dianggap musuh bebuyutan, sehingga diperbolehkan diadakan penyimpangan ketentuan perang.
Lingkungan kebudayaan Yunani.Hidup dalam negara-negara kita.Menurut hukum negara kota penduduk digolongkan dalam 2 golongan yaitu orang Yunani dan orang luar yang dianggap sebagai orang biadab (barbar). Masyarakat Yunani sudah mengenal ketentuan mengenai perwasitan (arbitration) dan diplomasi yang tinggi tingkat perkembangannya.
Sumbangan yang berharga untuk Hukum Internasional waktu itu ialah konsep hukum alam yaitu hukum yang berlaku secara mutlak dimanapun juga dan yang berasal dari rasion atau akal manusia.
Hukum Internasional sebagai hukum yang mengatur hubungan antara kerajaan-kerajaan tidak mengalami perkembangan yang pesat pada zaman Romawi. Karena masyarakat dunia merupakan satu imperium yaitu imperium roma yang menguasai seluruh wilayah dalam lingkungan kebudayaan Romawi. Sehingga tidak ada tempat bagi kerajaan-kerajaan yang terpisah dan dengan sendirinya tidak ada pula tempat bagi hukum bangsa-bangsa yang mengatur hubungan antara kerajaan-kerajaan. Hukum Romawi telah menyumbangkan banyak sekali asas atau konsep yang kemudian diterima dalam hukum Internasional ialah konsep seperti occupatio servitut dan bona fides. Juga asas âpacta sunt servandaâ merupakan warisan kebudayaan Romawi yang berharga.
[sunting] Abad pertengahan
Selama abad pertengahan dunia Barat dikuasai oleh satu sistem feodal yang berpuncak pada kaisar sedangkan kehidupan gereja berpuncak pada Paus sebagai Kepala Gereja Katolik Roma. Masyarakat Eropa waktu itu merupakan satu masyarakat Kristen yang terdiri dari beberapa negara yang berdaulat dan Tahta Suci, kemudian sebagai pewaris kebudayaan Romawi dan Yunani.
Di samping masyarakat Eropa Barat, pada waktu itu terdapat 2 masyarakat besar lain yang termasuk lingkungan kebudayaan yang berlaianan yaitu Kekaisaran Byzantium dan Dunia Islam. Kekaisaran Byzantium sedang menurun mempraktikan diplomasi untuk mempertahankan supremasinya. Oleh karenanya praktik Diplomasi sebagai sumbangan yang terpenting dalam perkembangan Hukum Internasional dan Dunia Islam terletak di bidang Hukum Perang.
[sunting] Perjanjian Westphalia
Perjanjian Damai Westphalia terdiri dari dua perjanjian yang ditandatangani di dua kota di wilayah Westphalia, yaitu di OsnabrĂźck (15 Mei 1648) dan di MĂźnster (24 Oktober 1648). Kedua perjanjian ini mengakhiri Perang 30 Tahun (1618-1648) yang berlangsung di Kekaisaran Suci Romawi dan Perang 80 Tahun (1568-1648) antara Spanyol dan Belanda.
Perdamaian Westphalia dianggap sebagai peristiwa penting dalam sejarah Hukum Internasional modern, bahkan dianggap sebagai suatu peristiwa Hukum Internasional modern yang didasarkan atas negara-negara nasional. Sebabnya adalah :
Selain mengakhiri perang 30 tahun, Perjanjian Westphalia telah meneguhkan perubahan dalam peta bumi politik yang telah terjadi karena perang itu di Eropa .
Perjanjian perdamaian mengakhiri untuk selama-lamanya usaha Kaisar Romawi yang suci.
Hubungan antara negara-negara dilepaskan dari persoalan hubungan kegerejaan dan didasarkan atas kepentingan nasional negara itu masing-masing.
Kemerdekaan negara Belanda, Swiss dan negara-negara kecil di Jerman diakui dalam Perjanjian Westphalia.
Perjanjian Westphalia meletakkan dasar bagi susunan masyarakat Internasional yang baru, baik mengenai bentuknya yaitu didasarkan atas negara-negara nasional (tidak lagi didasarkan atas kerajaan-kerajaan) maupun mengenai hakekat negara itu dan pemerintahannya yakni pemisahan kekuasaan negara dan pemerintahan dari pengaruh gereja.
Dasar-dasar yang diletakkan dalam Perjanjian Westphalia diperteguh dalam Perjanjian Utrech yang penting artinya dilihat dari sudut politik Internasional, karena menerima asas keseimbangan kekuatan sebagai asas politik internasional.
[sunting] Ciri-ciri masyarakat Internasional
Negara merupakan satuan teritorial yang berdaulat.
Hubungan nasional yang satu dengan yang lainnya didasarkan atas kemerdekaan dan persamaan derajat.
Masyarakat negara-negara tidak mengakui kekuasaan di atas mereka seperti seorang kaisar pada zaman abad pertengahan dan Paus sebagai Kepala Gereja.
Hubungan antara negara-negara berdasarkan atas hukum yang banyak mengambil alih pengertian lembaga Hukum Perdata, Hukum Romawi.
Negara mengakui adanya Hukum Internasional sebagai hukum yang mengatur hubungan antar negara tetapi menekankan peranan yang besar yang dimainkan negara dalam kepatuhan terhadap hukum ini.
Tidak adanya Mahkamah (Internasional) dan kekuatan polisi internasional untuk memaksakan ditaatinya ketentuan hukum Internasional.
Anggapan terhadap perang yang dengan lunturnya segi-segi keagamaan beralih dari anggapan mengenai doktrin bellum justum (ajaran perang suci) kearah ajaran yang menganggap perang sebagai salah satu cara penggunaan kekerasan.
[sunting] Tokoh Hukum Internasional
Hugo Grotius mendasarkan sistem hukum Internasional atas berlakunya hukum alam. Hukum alam telah dilepaskan dari pengaruh keagamaan dan kegerejaan. Banyak didasarkan atas praktik negara dan perjanjian negara sebagai sumber Hukum Internasional disamping hukum alam yang diilhami oleh akal manusia, sehingga disebut Bapak Hukum Internasional.
Fransisco Vittoria (biarawan Dominikan â berkebangsaan Spanyol Abad XIV menulis buku Relectio de Indis mengenai hubungan Spanyol dan Portugis dengan orang Indian di AS. Bahwa negara dalam tingkah lakunya tidak bisa bertindak sekehendak hatinya. Maka hukum bangsa-bangsa ia namakan ius intergentes.
Fransisco Suarez (Yesuit) menulis De legibius ae Deo legislatore (on laws and God as legislator) mengemukakan adanya suatu hukum atau kaedah obyektif yang harus dituruti oleh negara-negara dalam hubungan antara mereka.
Balthazer Ayala (1548-1584) dan Alberico Gentilis mendasarkan ajaran mereka atas falsafah keagamaan atau tidak ada pemisahan antara hukum, etika dan teologi.
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/13505667582003710930noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8550374304110771050.post-55697097104093907502011-09-24T05:06:00.001-07:002011-10-04T06:01:13.400-07:00materi ujian upa(ujian profesi advokat)<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
Alternatif penyelesaian<br />
sengketa
Perselisihan dan sengketa diantara dua pihak yang melakukan hubungan kerjasama mungkin saja terjadi. Terjadinya perselisihan dan sengketa ini sering kali disebabkan apabila salah satu pihak tidak menjalankan kesepakatan yang telah dibuat dengan baik ataupun karena ada pihak yang wanprestasi, sehingga merugikan pihak lainnya.
Penyelesaian sengketa bisa melalui dua cara yaitu pengadilan dan arbitrase. Konflik bisa terjadi antara pengadilan dan arbitrase dalam penentuan kewenangan mutlak untuk menyelesaikan perkara. Kewenangan mutlak arbitrase tercipta melalui klausul arbitrase yang terdapat pada suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak sebelum terjadi sengketa atau berdasarkan kesepakatan para pihak setelah timbul perselisihan.
Bab XV, Pasal 32 Undang-undang Penanaman Modal No.25 Tahun 2007 mengatur mengenai penyelesaian sengketa. Dalam ketentuan tersebut diuraikan bagaimana cara penyelesaian sengketa yang digunakan apabila terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara pemerintah dengan penanam modal. Cara penyelesaian sengketa tersebut antara lain: a) musyawarah dan mufakat; b) arbitrase; c) pengadilan; d) ADR; e) khusus untuk sengketa antara pemerintah dengan penanam modal dalam negeri, sengketa diselesaikan melalui arbitrase atau melalui pengadilan; f) khusus untuk sengketa antara pemerintah dengan penanam modal asing, sengketa diselesaikan melalui arbitrase internasional yang telah disepakati.
Cara penyelesaian melalui arbitrase dapat dilakukan melalui arbitrase nasional, Badan Arbitrase Nasional (BANI) , arbitrase ad hoc maupun arbitrase asing. Arbitrase asing yang biasa dipilih dalam penyelesaian sengketa penanaman modal antara lain seperti: ICSID (International Center for Settlement of Investment Disputes) dan ICC (International Chamber of Commerce). Berkaitan dengan arbitrase asing tersebut, Indonesia telah meratifikasi New York Conventionon Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award of 1958.
ADR atau Alternative Dispute Resolution diartikan atau Penyelesaian Sengketa Alternatif, menurut UU No.30 Tahun 1999, adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.
Permasalahan yang timbul ialah mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing. Ciri putusan arbitrase asing adalah didasarkan atas faktor wilayah teritorial. Dengan demikian, suatu putusan tetap dikatakan sebagai putusan arbitrase asing apabila putusan dijatuhkan di luar negeri dan tidak digantungkan pada syarat perbedaan kewarganegaraan maupun perbedaan tata hukum.
Terlepas dari kedua aturan tersebut, saat ini untuk pengakuan dan pelaksanaan atas putusan arbitrase asing diatur lebih lanjut dalam ketentuan UU No 30 tahun 1999 Pasal 65 s.d. 69. mengenai arbitrase asing diatur dalam Bab VI bagian kedua tentang Arbitrase Internasional dan yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan arbitrase asing adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.<br />
KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA<br />
PEMBUKAAN
Bahwa semestinya organisasi profesi memiliki Kode Etik yang membebankan kewajiban dan sekaligus memberikan perlindungan hukum kepada setiap anggotanya dalam menjalankan profesinya. Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile) yang dalam menjalankan profesinya berada dibawah perlindungan hukum, undang-undang dan Kode Etik, memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian Advokat yang berpegang teguh kepada Kemandirian, Kejujuran, Kerahasiaan dan Keterbukaan. Bahwa profesi Advokat adalah selaku penegak hukum yang sejajar dengan instansi penegak hukum lainnya, oleh karena itu satu sama lainnya harus saling menghargai antara teman sejawat dan juga antara para penegak hukum lainnya. Oleh karena itu juga, setiap Advokat harus menjaga citra dan martabat kehormatan profesi, serta setia dan menjunjung tinggi Kode Etik dan Sumpah Profesi, yang pelaksanaannya diawasi oleh Dewan Kehormatan sebagai suatu lembaga yang eksistensinya telah dan harus diakui setiap Advokat tanpa melihat dari organisasi profesi yang mana ia berasal dan menjadi anggota, yang pada saat mengucapkan Sumpah Profesi-nya tersirat pengakuan dan kepatuhannya terhadap Kode Etik Advokat yang berlaku.
Dengan demikian Kode Etik Advokat Indonesia adalah sebagai hukum tertinggi dalam menjalankan profesi, yang menjamin dan melindungi namun membebankan kewajiban kepada setiap Advokat untuk jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada klien, pengadilan, negara atau masyarakat dan terutama kepada dirinya sendiri.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dengan:
a. Advokat adalah orang yang berpraktek memberi jasa hukum, baik didalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang yang berlaku, baik sebagai Advokat, Pengacara, Penasehat Hukum, Pengacara praktek ataupun sebagai konsultan hukum.
b. Klien adalah orang, badan hukum atau lembaga lain yang menerima jasa dan atau bantuan hukum dari Advokat.
c. Teman sejawat adalah orang atau mereka yang menjalankan praktek hukum sebagai Advokat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
d. Teman sejawat asing adalah Advokat yang bukan berkewarganegaraan Indonesia yang menjalankan praktek hukum di Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
e. Dewan kehormatan adalah lembaga atau badan yang dibentuk oleh organisasi profesi advokat yang berfungsi dan berkewenangan mengawasi pelaksanaan kode etik Advokat sebagaimana semestinya oleh Advokat dan berhak menerima dan memeriksa pengaduan terhadap seorang Advokat yang dianggap melanggar Kode Etik Advokat.
f. Honorarium adalah pembayaran kepada Advokat sebagai imbalan jasa Advokat berdasarkan kesepakatan dan atau perjanjian dengan kliennya.
BAB II
KEPRIBADIAN ADVOKAT
Pasal 2
Advokat Indonesia adalah warga negara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia, dan yang dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi hukum, Undang-undang Dasar Republik Indonesia, Kode Etik Advokat serta sumpah jabatannya.
Pasal 3
a. Advokat dapat menolak untuk memberi nasihat dan bantuan hukum kepada setiap orang yang memerlukan jasa dan atau bantuan hukum dengan pertimbangan oleh karena tidak sesuai dengan keahliannya dan bertentangan dengan hati nuraninya, tetapi tidak dapat menolak dengan alasan karena perbedaan agama, kepercayaan, suku, keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik dan kedudukan sosialnya.
b. Advokat dalam melakukan tugasnya tidak bertujuan semata-mata untuk memperoleh imbalan materi tetapi lebih mengutamakan tegaknya Hukum, Kebenaran dan Keadilan.
c. Advokat dalam menjalankan profesinya adalah bebas dan mandiri serta tidak dipengaruhi oleh siapapun dan wajib memperjuangkan hak-hak azasi manusia dalam Negara Hukum Indonesia.
d. Advokat wajib memelihara rasa solidaritas diantara teman sejawat.
e. Advokat wajib memberikan bantuan dan pembelaan hukum kepada teman sejawat yang diduga atau didakwa dalam suatu perkara pidana atas permintaannya atau karena penunjukan organisasi profesi.
f. Advokat tidak dibenarkan untuk melakukan pekerjaan lain yang dapat merugikan kebebasan, derajat dan martabat Advokat.
g. Advokat harus senantiasa menjunjung tinggi profesi Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile).
h. Advokat dalam menjalankan profesinya harus bersikap sopan terhadap semua pihak namun wajib mempertahankan hak dan martabat advokat.
i. Seorang Advokat yang kemudian diangkat untuk menduduki suatu jabatan Negara (Eksekutif, Legislatif dan judikatif) tidak dibenarkan untuk berpraktek sebagai Advokat dan tidak diperkenankan namanya dicantumkan atau dipergunakan oleh siapapun atau oleh kantor manapun dalam suatu perkara yang sedang diproses/berjalan selama ia menduduki jabatan tersebut.
BAB III
HUBUNGAN DENGAN KLIEN
Pasal 4
a. Advokat dalam perkara-perkara perdata harus mengutamakan penyelesaian dengan jalan damai.
b. Advokat tidak dibenarkan memberikan keterangan yang dapat menyesatkan klien mengenai perkara yang sedang diurusnya.
c. Advokat tidak dibenarkan menjamin kepada kliennya bahwa perkara yang ditanganinya akan menang.
d. Dalam menentukan besarnya honorarium Advokat wajib mempertimbangkan kemampuan klien.
e. Advokat tidak dibenarkan membebani klien dengan biaya-biaya yang tidak perlu.
f. Advokat dalam mengurus perkara cuma-cuma harus memberikan perhatian yang sama seperti terhadap perkara untuk mana ia menerima uang jasa.
g. Advokat harus menolak mengurus perkara yang menurut keyakinannya tidak ada dasar hukumnya.
h. Advokat wajib memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan oleh klien secara kepercayaan dan wajib tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antara Advokat dan klien itu.
i. Advokat tidak dibenarkan melepaskan tugas yang dibebankan kepadanya pada saat yang tidak menguntungkan posisi klien atau pada saat tugas itu akan dapat menimbulkan kerugian yang tidak dapat diperbaiki lagi bagi klien yang bersangkutan, dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf a.
j. Advokat yang mengurus kepentingan bersama dari dua pihak atau lebih harus mengundurkan diri sepenuhnya dari pengurusan kepentingan-kepentingan tersebut, apabila dikemudian hari timbul pertentangan kepentingan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
k. Hak retensi Advokat terhadap klien diakui sepanjang tidak akan menimbulkan kerugian kepentingan klien.
BAB IV
HUBUNGAN DENGAN TEMAN SEJAWAT
Pasal 5
a. Hubungan antara teman sejawat Advokat harus dilandasi sikap saling menghormati, saling menghargai dan saling mempercayai.
b. Advokat jika membicarakan teman sejawat atau jika berhadapan satu sama lain dalam sidang pengadilan, hendaknya tidak menggunakan kata-kata yang tidak sopan baik secara lisan maupun tertulis.
c. Keberatan-keberatan terhadap tindakan teman sejawat yang dianggap bertentangan dengan Kode Etik Advokat harus diajukan kepada Dewan Kehormatan untuk diperiksa dan tidak dibenarkan untuk disiarkan melalui media massa atau cara lain.
d. Advokat tidak diperkenankan menarik atau merebut seorang klien dari teman sejawat.
e. Apabila klien hendak mengganti Advokat, maka Advokat yang baru hanya dapat menerima perkara itu setelah menerima bukti pencabutan pemberian kuasa kepada Advokat semula dan berkewajiban mengingatkan klien untuk memenuhi kewajibannya apabila masih ada terhadap Advokat semula.
f. Apabila suatu perkara kemudian diserahkan oleh klien terhadap Advokat yang baru, maka Advokat semula wajib memberikan kepadanya semua surat dan keterangan yang penting untuk mengurus perkara itu, dengan memperhatikan hak retensi Advokat terhadap klien tersebut.
BAB V
TENTANG SEJAWAT ASING
Pasal 6
Advokat asing yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku menjalankan profesinya di Indonesia tunduk kepada serta wajib mentaati Kode Etik ini.
BAB VI
CARA BERTINDAK MENANGANI PERKARA
Pasal 7
a. Surat-surat yang dikirim oleh Advokat kepada teman sejawatnya dalam suatu perkara dapat ditunjukkan kepada hakim apabila dianggap perlu kecuali surat-surat yang bersangkutan dibuat dengan membubuhi catatan "Sans Prejudice ".
b. Isi pembicaraan atau korespondensi dalam rangka upaya perdamaian antar Advokat akan tetapi tidak berhasil, tidak dibenarkan untuk digunakan sebagai bukti dimuka pengadilan.
c. Dalam perkara perdata yang sedang berjalan, Advokat hanya dapat menghubungi hakim apabila bersama-sama dengan Advokat pihak lawan, dan apabila ia menyampaikan
surat, termasuk surat yang bersifat "ad informandum" maka hendaknya seketika itu tembusan dari surat tersebut wajib diserahkan atau dikirimkan pula kepada Advokat pihak lawan.
d. Dalam perkara pidana yang sedang berjalan, Advokat hanya dapat menghubungi hakim apabila bersama-sama dengan jaksa penuntut umum.
e. Advokat tidak dibenarkan mengajari dan atau mempengaruhi saksi-saksi yang diajukan oleh pihak lawan dalam perkara perdata atau oleh jaksa penuntut umum dalam perkara pidana.
f. Apabila Advokat mengetahui, bahwa seseorang telah menunjuk Advokat mengenai suatu perkara tertentu, maka hubungan dengan orang itu mengenai perkara tertentu tersebut hanya boleh dilakukan melalui Advokat tersebut.
g. Advokat bebas mengeluarkan pernyataan-pernyataan atau pendapat yang dikemukakan dalam sidang pengadilan dalam rangka pembelaan dalam suatu perkara yang menjadi tanggung jawabnya baik dalam sidang terbuka maupun dalam sidang tertutup yang dikemukakan secara proporsional dan tidak berkelebihan dan untuk itu memiliki imunitas hukum baik perdata maupun pidana.
h. Advokat mempunyai kewajiban untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-Cuma (pro deo) bagi orang yang tidak mampu.
i. Advokat wajib menyampaikan pemberitahuan tentang putusan pengadilan mengenai perkara yang ia tangani kepada kliennya pada waktunya.
BAB VII
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN TENTANG KODE ETIK
Pasal 8
a. Profesi Advokat adalah profesi yang mulia dan terhormat (officium nobile), dan karenanya dalam menjalankan profesi selaku penegak hukum di pengadilan sejajar dengan Jaksa dan Hakim, yang dalam melaksanakan profesinya berada dibawah perlindungan hukum, undang-undang dan Kode Etik ini.
b. Pemasangan iklan semata-mata untuk menarik perhatian orang adalah dilarang termasuk pemasangan papan nama dengan ukuran dan! atau bentuk yang berlebih-lebihan.
c. Kantor Advokat atau cabangnya tidak dibenarkan diadakan di suatu tempat yang dapat merugikan kedudukan dan martabat Advokat.
d. Advokat tidak dibenarkan mengizinkan orang yang bukan Advokat mencantumkan namanya sebagai Advokat di papan nama kantor Advokat atau mengizinkan orang yang bukan Advokat tersebut untuk memperkenalkan dirinya sebagai Advokat.
e. Advokat tidak dibenarkan mengizinkan karyawan-karyawannya yang tidak berkualifikasi untuk mengurus perkara atau memberi nasehat hukum kepada klien dengan lisan atau dengan tulisan.
f. Advokat tidak dibenarkan melalui media massa mencari publitas bagi dirinya dan atau untuk menarik perhatian masyarakat mengenai tindakan-tindakannya sebagai Advokat mengenai perkara yang sedang atau telah ditanganinya, kecuali apabila keterangan-keterangan yang ia berikan itu bertujuan untuk menegakkan prinsip-prinsip hukum yang
wajib diperjuangkan oleh setiap Advokat.
g. Advokat dapat mengundurkan diri dari perkara yang akan dan atau diurusnya apabila timbul perbedaan dan tidak dicapai kesepakatan tentang cara penanganan perkara dengan kliennya.
h. Advokat yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Hakim atau Panitera dari suatu lembaga peradilan, tidak dibenarkan untuk memegang atau menangani perkara yang diperiksa pengadilan tempatnya terakhir bekerja selama 3 (tiga) tahun semenjak ia berhenti dari pengadilan tersebut.
BAB VIII
PELAKSANAAN KODE ETIK
Pasal 9
a. Setiap Advokat wajib tunduk dan mematuhi Kode Etik Advokat ini.
b. Pengawasan atas pelaksanaan Kode Etik Advokat ini dilakukan oleh Dewan Kehormatan.
BAB IX
DEWAN KEHORMATAN
Bagian Pertama
KETENTUAN UMUM
Pasal 10
1. Dewan Kehormatan berwenang memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh Advokat.
2. Pemeriksaan suatu pengaduan dapat dilakukan melalui dua tingkat, yaitu:
a. Tingkat Dewan Kehormatan Cabang/Daerah.
b. Tingkat Dewan Kehormatan Pusat.
3. Dewan Kehormatan Cabang/daerah memeriksa pengaduan pada tingkat pertama dan Dewan Kehormatan Pusat pada tingkat terakhir.
4. Segala biaya yang dikeluarkan dibebankan kepada:
a. Dewan Pimpinan Cabang/Daerah dimana teradu sebagai anggota pada tingkat Dewan Kehormatan Cabang/Daerah;
b. Dewan Pimpinan Pusat pada tingkat Dewan Kehormatan Pusat organisasi dimana teradu sebagai anggota;
c. Pengadu/Teradu.
Bagian Kedua
PENGADUAN
Pasal 11
1. Pengaduan dapat diajukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan merasa dirugikan, yaitu:
a. Klien.
b. Teman sejawat Advokat.
c. Pejabat Pemerintah.
d. Anggota Masyarakat.
e. Dewan Pimpinan Pusat/Cabang/Daerah dari organisasi profesi dimana Teradu menjadi anggota.
2. Selain untuk kepentingan organisasi, Dewan Pimpinan Pusat atau Dewan Pimpinan Cabang/Daerah dapat juga bertindak sebagai pengadu dalam hal yang menyangkut kepentingan hukum dan kepentingan umum dan yang dipersamakan untuk itu.
3. Pengaduan yang dapat diajukan hanyalah yang mengenai pelanggaran terhadap Kode Etik Advokat.
Bagian Ketiga
TATA CARA PENGADUAN
Pasal 12
1. Pengaduan terhadap Advokat sebagai teradu yang dianggap melanggar Kode Etik Advokat harus disampaikan secara tertulis disertai dengan alasan-alasannya kepada Dewan Kehormatan Cabang/Daerah atau kepada dewan Pimpinan Cabang/Daerah atau Dewan Pimpinan Pusat dimana teradu menjadi anggota.
2. Bilamana di suatu tempat tidak ada Cabang/Daerah Organisasi, pengaduan disampaikan kepada Dewan Kehormatan Cabang/Daerah terdekat atau Dewan Pimpinan Pusat.
3. Bilamana pengaduan disampaikan kepada Dewan Pimpinan Cabang/Daerah, maka Dewan Pimpinan Cabang/Daerah meneruskannya kepada Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang berwenang untuk memeriksa pengaduan itu.
4. Bilamana pengaduan disampaikan kepada Dewan Pimpinan Pusat/Dewan Kehormatan Pusat, maka Dewan Pimpinan Pusat/Dewan Kehormatan Pusat meneruskannya kepada Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang berwenang untuk memeriksa pengaduan itu baik langsung atau melalui Dewan Dewan Pimpinan Cabang/Daerah.
Bagian Keempat
PEMERIKSAAN TINGKAT PERTAMA OLEH DEWAN KEHORMATAN CABANG/DAERAH
Pasal 13
1. Dewan Kehormatan Cabang/Daerah setelah menerima pengaduan tertulis yang disertai surat-surat bukti yang dianggap perlu, menyampaikan surat pemberitahuan selambatlambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari dengan surat kilat khusus/tercatat kepada teradu tentang adanya pengaduan dengan menyampaikan salinan/copy surat pengaduan tersebut.
2. Selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari pihak teradu harus memberikan jawabannya secara tertulis kepada Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang bersangkutan, disertai surat-surat bukti yang dianggap perlu.
3. Jika dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari tersebut teradu tidak memberikan jawaban tertulis, Dewan Kehormatan Cabang/Daerah menyampaikan pemberitahuan kedua dengan peringatan bahwa apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal surat peringatan tersebut ia tetap tidak memberikan jawaban tertulis, maka ia dianggap telah melepaskan hak jawabnya.
4. Dalam hal teradu tidak menyampaikan jawaban sebagaimana diatur di atas dan dianggap telah melepaskan hak jawabnya, Dewan Kehormatan Cabang/Daerah dapat segera menjatuhkan putusan tanpa kehadiran pihak-pihak yang bersangkutan.
5. Dalam hal jawaban yang diadukan telah diterima, maka Dewan Kehormatan dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari menetapkan hari sidang dan menyampaikan panggilan secara patut kepada pengadu dan kepada teradu untuk hadir dipersidangan yang sudah ditetapkan tersebut.
6. Panggilan-panggilan tersebut harus sudah diterima oleh yang bersangkutan paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari sidang yang ditentukan.
7. Pengadu dan yang teradu:
a. Harus hadir secara pribadi dan tidak dapat menguasakan kepada orang lain, yang jika dikehendaki masing-masing dapat didampingi oleh penasehat.
b. Berhak untuk mengajukan saksi-saksi dan bukti-bukti.
8. Pada sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak:
a. Dewan Kehormatan akan menjelaskan tata cara pemeriksaan yang berlaku;
b. Perdamaian hanya dimungkinkan bagi pengaduan yang bersifat perdata atau hanya untuk kepentingan pengadu dan teradu dan tidak mempunyai kaitan langsung dengan kepentingan organisasi atau umum, dimana pengadu akan mencabut kembali pengaduannya atau dibuatkan akta perdamaian yang dijadikan dasar keputusan oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang langsung mempunyai kekuatan hukum yang pasti.
c. Kedua belah pihak diminta mengemukakan alasan-alasan pengaduannya atau pembelaannya secara bergiliran, sedangkan surat-surat bukti akan diperiksa dan saksi-saksi akan didengar oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah.
9. Apabila pada sidang yang pertama kalinya salah satu pihak tidak hadir:
a. Sidang ditunda sampai dengan sidang berikutnya paling lambat 14 (empat belas) hari dengan memanggil pihak yang tidak hadir secara patut.
b. Apabila pengadu yang telah dipanggil sampai 2 (dua) kali tidak hadir tanpa alasan yang sah, pengaduan dinyatakan gugur dan ia tidak dapat mengajukan pengaduan lagi atas dasar yang sama kecuali Dewan Kehormatan Cabang/Daerah berpendapat bahwa materi pengaduan berkaitan dengan kepentingan umum atau kepentingan organisasi.
c. Apabila teradu telah dipanggil sampai 2 (dua) kali tidak datang tanpa alasan yang sah, pemeriksaan diteruskan tanpa hadirnya teradu.
d. Dewan berwenang untuk memberikan keputusan di luar hadirnya yang teradu, yang mempunyai kekuatan yang sama seperti keputusan biasa.
Bagian Kelima
SIDANG DEWAN KEHORMATAN CABANG/DAERAH
Pasal 14
1. Dewan Kehormatan Cabang/Daerah bersidang dengan Majelis yang terdiri sekurang-kurangnya atas 3 (tiga) orang anggota yang salah satu merangkap sebagai Ketua
Majelis, tetapi harus selalu berjumlah ganjil.
2. Majelis dapat terdiri dari Dewan Kehormatan atau ditambah dengan Anggota Majelis Kehormatan Ad Hoc yaitu orang yang menjalankan profesi dibidang hukum serta mempunyai pengetahuan dan menjiwai Kode Etik Advokat.
3. Majelis dipilih dalam rapat Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang khusus dilakukan untuk itu yang dipimpin oleh Ketua Dewan Kehormatan Cabang/Daerah atau jika ia berhalangan oleh anggota Dewan lainnya yang tertua,
4. Setiap dilakukan persidangan, Majelis Dewan Kehormatan diwajibkan membuat atau menyuruh membuat berita acara persidangan yang disahkan dan ditandatangani oleh Ketua Majelis yang menyidangkan perkara itu.
5. Sidang-sidang dilakukan secara tertutup, sedangkan keputusan diucapkan dalam sidang terbuka.
Bagian Keenam
CARA PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Pasal 15
(1) Setelah memeriksa dan mempertimbangkan pengaduan, pembelaan, surat-surat bukti dan keterangan saksi-saksi maka Majelis Dewan Kehormatan mengambil Keputusan yang dapat berupa:
a. Menyatakan pengaduan dari pengadu tidak dapat diterima;
b. Menerima pengaduan dari pengadu dan mengadili serta menjatuhkan sanksi-sanksi kepada teradu;
c. Menolak pengaduan dari pengadu.
(2) Keputusan harus memuat pertimbangan-pertimbangan yang menjadi dasarnya dan menunjuk pada pasal-pasal Kode Etik yang dilanggar.
(3) Majelis Dewan Kehormatan mengambil keputusan dengan suara terbanyak dan mengucapkannya dalam sidang terbuka dengan atau tanpa dihadiri oleh pihak-pihak yang bersangkutan, setelah sebelumnya memberitahukan hari, tanggal dan waktu persidangan tersebut kepada pihak-pihak yang bersangkutan.
(4) Anggota Majelis yang kalah dalam pengambilan suara berhak membuat catatan keberatan yang dilampirkan didalam berkas perkara.
(5) Keputusan ditandatangani oleh Ketua dan semua Anggota Majelis, yang apabila berhalangan untuk menandatangani keputusan, hal mana disebut dalam keputusan yang bersangkutan.
Bagian Ketujuh
SANKSI-SANKSI
Pasal 16
1. Hukuman yang diberikan dalam keputusan dapat berupa:
a. Peringatan biasa.
b. Peringatan keras.
c. Pemberhentian sementara untuk waktu tertentu.
d. Pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi.
2. Dengan pertimbangan atas berat atau ringannya sifat pelanggaran Kode Etik Advokat dapat dikenakan sanksi:
a. Peringatan biasa bilamana sifat pelanggarannya tidak berat.
b. Peringatan keras bilamana sifat pelanggarannya berat atau karena mengulangi kembali melanggar kode etik dan atau tidak mengindahkan sanksi peringatan yang pernah diberikan.
c. Pemberhentian sementara untuk waktu tertentu bilamana sifat pelanggarannya berat, tidak mengindahkan dan tidak menghormati ketentuan kode etik atau bilamana setelah mendapat sanksi berupa peringatan keras masih mengulangi melakukan pelanggaran kode etik.
d. Pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi bilamana dilakukan pelanggaran kode etik dengan maksud dan tujuan merusak citra serta martabat kehormatan profesi Advokat yang wajib dijunjung tinggi sebagai profesi yang mulia dan terhormat.
3. Pemberian sanksi pemberhentian sementara untuk waktu tertentu harus diikuti larangan untuk menjalankan profesi advokat diluar maupun dimuka pengadilan.
4. Terhadap mereka yang dijatuhi sanksi pemberhentian sementara untuk waktu tertentu dan atau pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi disampaikan kepada Mahkamah Agung untuk diketahui dan dicatat dalam daftar Advokat.
Bagian Kedelapan
PENYAMPAIAN SALINAN KEPUTUSAN
Pasal 17
Dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah keputusan diucapkan, salinan keputusan Dewan kehormatan Cabang/Daerah harus disampaikan kepada:
a. Anggota yang diadukan/teradu;
b. Pengadu;
c. Dewan Pimpinan Cabang/Daerah dari semua organisasi profesi;
d. Dewan Pimpinan Pusat dari masing-masing organisasi profesi;
e. Dewan Kehormatan Pusat;
f. Instansi-instansi yang dianggap perlu apabila keputusan telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti.
Bagian Kesembilan
PEMERIKSAAN TINGKAT BANDING DEWAN KEHORMATAN PUSAT
Pasal 18
1. Apabila pengadu atau teradu tidak puas dengan keputusan Dewan Kehormatan Cabang/Daerah, ia berhak mengajukan permohonan banding atas keputusan tersebut kepada Dewan Kehormatan Pusat.
2. Pengajuan permohonan banding beserta Memori Banding yang sifatnya wajib, harus disampaikan melalui Dewan Kehormatan Cabang/Daerah dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak tanggal yang bersangkutan menerima salinan keputusan.
3. Dewan Kehormatan Cabang/Daerah setelah menerima Memori Banding yang bersangkutan selaku pembanding selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak penerimaannya, mengirimkan salinannya melalui surat kilat khusus/tercatat kepada pihak lainnya selaku terbanding.
4. Pihak terbanding dapat mengajukan Kontra Memori Banding selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak penerimaan Memori Banding.
5. Jika jangka waktu yang ditentukan terbanding tidak menyampaikan Kontra Memori Banding ia dianggap telah melepaskan haknya untuk itu.
6. Selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak berkas perkara dilengkapi dengan bahan-bahan yang diperlukan, berkas perkara tersebut diteruskan oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah kepada dewan Kehormatan Pusat.
7. Pengajuan permohonan banding menyebabkan ditundanya pelaksanaan keputusan Dewan Kehormatan Cabang/Daerah.
8. Dewan kehormatan Pusat memutus dengan susunan Majelis yang terdiri sekurangkurangnya
3 (tiga) orang anggota atau lebih tetapi harus berjumlah ganjil yang salah satu merangkap Ketua Majelis.
9. Majelis dapat terdiri dari Dewan Kehormatan atau ditambah dengan Anggota Majelis
Kehormatan Ad Hoc yaitu orang yang menjalankan profesi dibidang hukum serta mempunyai pengetahuan dan menjiwai Kode Etik Advokat.
10. Majelis dipilih dalam rapat Dewan Kehormatan Pusat yang khusus diadakan untuk itu yang dipimpin oleh Ketua Dewan Kehormatan Pusat atau jika ia berhalangan oleh anggota Dewan lainnya yang tertua.
11. Dewan Kehormatan Pusat memutus berdasar bahan-bahan yang ada dalam berkas perkara, tetapi jika dianggap perlu dapat meminta bahan tambahan dari pihak-pihak yang bersangkutan atau memanggil mereka langsung atas biaya sendiri.
12. Dewan Kehormatan Pusat secara prorogasi dapat menerima permohonan pemeriksaan langsung dari suatu perkara yang diteruskan oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah asal saja permohonan seperti itu dilampiri surat persetujuan dari kedua belah pihak agar perkaranya diperiksa langsung oleh Dewan Kehormatan Pusat.
13. Semua ketentuan yang berlaku untuk pemeriksaan pada tingkat pertama oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah, mutatis mutandis berlaku untuk pemeriksaan pada tingkat banding oleh Dewan Kehormatan Pusat.
Bagian Kesepuluh
KEPUTUSAN DEWAN KEHORMATAN
Pasal 19
1. Dewan Kehormatan Pusat dapat menguatkan, merubah atau membatalkan keputusan Dewan Kehormatan Cabang/Daerah dengan memutus sendiri.
2. Keputusan Dewan kehormatan Pusat mempunyai kekuatan tetap sejak diucapkan dalam sidang terbuka dengan atau tanpa dihadiri para pihak dimana hari, tanggal dan waktunya telah diberitahukan sebelumnya kepada pihak-pihak yang bersangkutan.
3. Keputusan Dewan Kehormatan Pusat adalah final dan mengikat yang tidak dapat diganggu gugat dalam forum manapun, termasuk dalam MUNAS.
4. Dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah keputusan diucapkan, salinan keputusan Dewan Kehormatan Pusat harus disampaikan kepada:
a. Anggota yang diadukan/teradu baik sebagai pembanding ataupun terbanding;
b. Pengadu baik selaku pembanding ataupun terbanding;
c. Dewan Pimpinan Cabang/Daerah yang bersangkutan;
d. Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang bersangkutan;
e. Dewan Pimpinan Pusat dari masing-masing organisasi profesi;
f. Instansi-instansi yang dianggap perlu.
5. Apabila seseorang telah dipecat, maka Dewan Kehormatan Pusat atau Dewan Kehormatan Cabang/Daerah meminta kepada Dewan Pimpinan Pusat/Organisasi profesi
untuk memecat orang yang bersangkutan dari keanggotaan organisasi profesi. Bagian Kesebelas
KETENTUAN LAIN TENTANG DEWAN KEHORMATAN
Pasal 20
Dewan Kehormatan berwenang menyempurnakan hal-hal yang telah diatur tentang Dewan Kehormatan dalam Kode Etik ini dan atau menentukan hal-hal yang belum diatur didalamnya dengan kewajiban melaporkannya kepada Dewan Pimpinan Pusat/Organisasi profesi agar diumumkan dan diketahui oleh setiap anggota dari masing-masing organisasi.
BAB X
KODE ETIK & DEWAN KEHORMATAN
Pasal 21
Kode Etik ini adalah peraturan tentang Kode Etik dan Ketentuan Tentang Dewan Kehormatan bagi mereka yang menjalankan profesi Advokat, sebagai satu-satunya Peraturan Kode Etik yang diberlakukan dan berlaku di Indonesia.
BAB XI
ATURAN PERALIHAN
Pasal 22
1. Kode Etik ini dibuat dan diprakarsai oleh Komite Kerja Advokat Indonesia, yang disahkan dan ditetapkan oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat & Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI) dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) yang dinyatakan berlaku bagi setiap orang yang menjalankan profesi Advokat di Indonesia tanpa terkecuali.
2. Setiap Advokat wajib menjadi anggota dari salah satu organisasi profesi tersebut dalam
ayat 1 pasal ini.
3. Komite Kerja Advokat Indonesia mewakili organisasi-organisasi profesi tersebut dalam ayat 1 pasal ini sesuai dengan Pernyataan Bersama tertanggal 11 Februari 2002 dalam hubungan kepentingan profesi Advokat dengan lembaga-lembaga Negara dan
pemerintah.
4. Organisasi-organisasi profesi tersebut dalam ayat 1 pasal ini akan membentuk Dewan kehormatan sebagai Dewan Kehormatan Bersama, yang struktur akan disesuaikan dengan Kode Etik Advokat ini.
Pasal 23
Perkara-perkara pelanggaran kode etik yang belum diperiksa dan belum diputus atau belum berkekuatan hukum yang tetap atau dalam pemeriksaan tingkat banding akan diperiksa dan diputus berdasarkan Kode Etik Advokat ini.
BAB XXII
PENUTUP
Pasal 24
Kode Etik Advokat ini berlaku sejak tanggal berlakunya Undang-undang tentang Advokat
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 23 Mei 2002
PERUBAHAN I
KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA
Ketujuh organisasi profesi advokat yang tergabung dalam Komite Kerjasama Advokat Indonesia (KKAI, yaitu Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), dan Himpunan Advokat & Pengacara Indonesia (HAPI), dengan ini merubah seluruh ketentuan Bab XXII, pasal 24 kode etik Advokat Indonesia yang ditetapkan pada tanggal 23 Mei 2002 sehingga seluruhnya menjadi :
BAB XXII
PENUTUP
Kode etik Advokat ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, yaitu sejak tanggal 23 Mei 2002.
Ditanda-tangani di: Jakarta
Pada tanggal: 1 Oktober 2002
Oleh:
KOMITE KERJA ADVOKAT INDONESIA<br />
Alternatif penyelesaian sengketa (APS)<br />
Alternatif penyelesaian sengketa (APS) adalah seperangkat pengalaman dan teknik hukum yang bertujuan untuk<br />
1. Menyelesaikan sengketa hukum di luar pengadilan untuk keuntungan para pihak yang bersengketa
2. Mengurangi biaya litigasi konvensional dan pengunduran waktu yang biasa terjadi
3. Mencegah terjadinya sengketa hukum yang biasanya diajukan ke pengadilan
Alternatif penyelesaian sengketa dilandasi prinsip âpemecahan masalah dengan bekerjasama yang disertai dengan itikat baik kedua belah pihakâ dikarenakan dua alasan<br />
1. Jenis perselisihan membutuhkan cara pendekatan yang berlainan dan para pihak yang bersengketa merancang prosedur / tata cara khusus untuk penyelesaian berdasarkan musyawarah<br />
2. APS melibatkan partisipasi yang lebih intensif dan langsung dari kedua belah pihak dalam usaha penyelesaian sengketa
APS mempunyai beragam bentuk yaitu
1. Negosiasi adalah suatu proses berkomunikasi satu sama lain yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan kita ketika pihak lain menguasai yang kita inginkan
2. Mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa dimana para pihak yang bersengketa memanfaatkan bantuan pihak ketiga yang independent untuk bertindak sebagai mediator (penengah) dengan menggunakan berbagai prosedur, teknik, dan keterampilan untuk membantu para pihak dalam menyelesaikan sengketa mereka melalui perundingan. Mediator tidak mempunyai kewenangan untuk membuat keputusan yang mengikat, tetapi para pihaklah yang didorong untuk membuat keputusan. Oleh karena itu bentuk penyelesaiannya adalah akta perdamaian antara para pihak yang berselisih
3. Konsiliasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa dimana para pihak yang bersengketa memanfaatkan bantuan pihak ketiga yang independent untuk bertindak sebagai konsiliator (penengah) dengan menggunakan berbagai prosedur, teknik, dan keterampilan untuk membantu para pihak dalam menyelesaikan sengketa mereka melalui perundingan. Konsiliator mempunyai kewenangan untuk membuat keputusan yang bersifat anjuran. Oleh karena itu bentuk penyelesaiannya adalah putusan yang bersifat anjuran
4. Inquiry (Angket) adalah Suatu proses penyelesaian sengketa dengan mengumpulkan fakta-fakta yang merupakan penyebab sengkta, keadaan waktu sengketa, dan jenis sengketa yang terjadi untuk mencapai versi tunggal atas sengketa yang terjadi. Angket ini dilakukan oleh komisi angket yang independent yang anggotanya diangkat oleh para pihak yang bersengketa. Keputusan bersifat rekomendasi yang tidak mengikat para pihak
5. Arbitrase adalah suatu proses penyelesaian perselisihan yang merupakan bentuk tindakan hukum yang diakui oleh UU dimana salah satu pihak atau lebih menyerahkan sengketanya dengan satu pihak lain atau lebih kepada satu orang arbitrer atau lebih dalam bentuk majelis arbitrer ahli yang professional yang akan bertindak sebagai hakim/peradilan swasta yang akan menerapkan tata cara hukum negara yang berlaku atau menerapkan tata cara hukum perdamaian yang telah disepakati bersama oleh para pihak terdahulu untuk sampai pada putusan yang terakhir dan mengikat<br />
HUBUNGAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DAN
TINDAKAN HUKUM PEJABAT TATA USAHA NEGARA<br />
Dewasa ini dalam era Reformasi, paralel dengan perkembangan dunia yang semakin transparan serta informasi yang sangat cepat, masyarakat atau rakyat sudah tidak dapat dibohongi lagi oleh pihak penguasa bahkan semakin tidak takut, mereka semakin kritis dan jeli memandang setiap persoalan-persoalan dan gejolak yang timbul.
Dalam negara Republik Indonesia sebagai suatu negara yang didasarkan atas hukum, pelaksanaan hukum sepenuhnya diserahkan kepada Pemerintah sebagai Penguasa (Eksekutif),. Pemerintah yang melaksanakan segala sesuatu mengenai kehidupan rakyatnya. Pemerintah dan yang diperintah sebenarnya merupakan dua subyek yang saling membutuhkan dan seharusnya saling melengkapi, saling membantu dan saling menghargai. Sebagai pelaksana keputusan-keputusan Legislatif dibidang hukum, maka pemerintah membentuk suatu instansi yang khusus dapat mengamati kehidupan serta pelaksanaannya didalam masyarakat. Wakil-wakil pemerintah (Aparatur Hukum) dibidang pelaksana penegakan hukum antara lain adalah Lembaga Mahkamah Agung atau Pengadilan.
Bahwa eksistensi dari Indonesia sebagai negara hukum antara lain tercermin dari asas bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan atas hukum baik tertulis maupun tidak tertulis. Hal ini membawa konsekwensi disatu sisi hukum digunakan sebagai rel pijakan bagi pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, disisi lain hukum yang sama digunakan sebagai dasar pengujian terhadap tindakan pemerintah.
Administrasi Negara Cq. Pemerintah yang disebut sebagai Badan/Pejabat TUN menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 adalah yang diberi tugas oleh peraturan perundang-undangan untuk mengurus berbagai segi kehidupan masyarakat.
Badan/Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang untuk melakukan perbuatan Tata Usaha Negara yang dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) macam perbuatan :
a) Mengeluarkan Keputusan (beschikking) ;
b) Mengeluarkan Peraturan (regeling)
c) Melakukan perbuatan materiil (Materiele daad)
Karena perbuatan-perbuatan Administrasi Negara/Tata Usaha Negara tersebut lalu lahirlah hubungan hukum antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan TUN yang bersangkutan dengan warga masyarakat atau badan hukum perdata yang terkena oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Dari ke-3 (tiga) macam perbuatan tersebut, yang menjadi wewenang Peradilan Tata Usaha Negara adalah terbatas pada perbuatan mengeluarkan Keputusan tersebut dalam butir a, artinya keputusan yang dikeluarkan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dapat dinilai oleh Peradilan Tata Usaha Negara. Sedangkan mengenai perbuatan-perbuatan Administrasi Negara pada butir b dan c tidak termasuk kompetensi Peradilan TUN tetapi menjadi kompetensi Mahkamah Konstitusi maupun Peradilan Umum.
Dengan demikian semua perbuatan Administrasi Negara dapat dinilai oleh Pengadilan, walaupun yang menilai itu mungkin tidak termasuk lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.
Bahwa yang dapat menjadi objek sengketa di Peradilan TUN adalah Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) . Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, âKeputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau Badan Hukum Perdataâ.
Dari bunyi ketentuan pasal tersebut diatas, dapat kita lihat bahwa yang dimaksud Keputusan TUN yang dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara menunjukkan adanya ciri-ciri khusus yang meliputi beberapa elemen.
Bahwa segenap elemen-elemen tersebut adalah bersifat kumulatif untuk dapat menjadi objek sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara ;
Walaupun suatu keputusan sudah memenuhi pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tersebut, ada beberapa kategori Keputusan TUN yang tidak dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara yaitu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 peraturan perundangan tersebut.
Batal atau Tidak Sahnya Keputusan Tata Usaha Negara.
Bahwa dalam tindakan Hukum Administrasi dianut asas âPresumtio Justae Causaâ yang maksudnya bahwa suatu Keputusan TUN harus selalu dianggap benar dan dapat dilaksanakan, sepanjang Hakim belum membuktikan sebaliknya.
Badan Peradilan yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Tata Usaha Negara adalah Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004.
Bahwa secara umum syarat-syarat untuk sahnya suatu keputusan Tata Usaha Negara adalah sebagai berikut :
SYARAT MATERIIL :
a) Keputusan harus dibuat oleh alat negara (organ) yang berwenang ;
b) Karena keputusan itu suatu pernyataan kehendak (wilsverklaring) maka pembentukan kehendak itu tidak boleh memuat kekurangan yuridis ;
c) Keputusan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan dasarnya dan pembuatnya harus memperhatikan cara (prosedur) membuat keputusan itu, bilamana hal ini ditetapkan dengan tegas dalam peraturan dasar tersebut.
d) Isi dan tujuan keputusan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar ;
SYARAT FORMIL :
a) Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya keputusan dan berhubung dengan cara dibuatnya keputusan harus dipenuhi ;
b) Keputusan harus diberi bentuk yang ditentukan ;
c) Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan dilakukannya keputusan harus dipenuhi ;
d) Jangka waktu yang ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya keputusan dan diumumkannya keputusan itu tidak boleh dilewati ;
Bahwa bagi Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara, masalah yang sangat erat hubungannya dengan fungsi peradilan adalah masalah hak menguji (toetsing recht).
Berdasarkan ketentuan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menganut pendirian yang mewajibkan penyelesaian sengketa Administrasi tertentu melalui Upaya Administratif sebelum gugatan diajukan. Setelah upaya administratif ditempuh, maka gugatan dapat diajukan ke Pengadilan. Maksudnya adalah agar diberi kesempatan untuk menyelesaikan administrasi terlebih dahulu melalui saluran yang tersedia berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Badan Peradilan Tata Usaha Negara hanya menilai apakah suatu tindakan Badan/Pejabat TUN dalam menjalankan urusan pemerintah itu sudah sesuai dengan norma-norma hukum (baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis) yang berlaku bagi tindakan tersebut. Dengan perkataan lain penilaian yang dilakukan oleh Peradilan Tata Usaha Negara terbatas hanya dari segi hukumnya (peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik).
Dasar pengujian sebagaimana diatur dalam pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, yaitu :
a) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku ;
b) Badan atau Pejabat TUN pada waktu mengeluarkan keputusan telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut ;
c) Badan atau Pejabat TUN pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut.
Di dalam praktek Peradilan Tata Usaha Negara pengujian Hakim Tata Usaha Negara terhadap Surat Keputusan Tata Usaha Negara sesuai ketentuan Pasal 53 diatas, adalah meliputi 3 (tiga) aspek yaitu :
1. Aspek kewenangan :
yaitu meliputi hal berwenang, tidak berwenang atau melanggar kewenangan,
Dasar kewenangan Badan/Pejabat TUN adalah secara ATRIBUSI (berasal dari perundang-undangan yang melekat pada suatu jabatan), DELEGASI (adanya pemindahan/pengalihan suatu kewenangan yang ada) dan MANDAT (dalam hal ini tidak ada pengakuan kewenangan atau pengalihan kewenangan).
2. Aspek Substansi/Materi :
yaitu meliputi pelaksanaan atau penggunaan kewenangannya apakah secara materi/substansi telah sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Aspek Prosedural :
yaitu apakah prosedur pengambilan Keputusan Tata Usaha Negara yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan dalam pelaksanaan kewenangan tersebut telah ditempuh atau tidak.
Pengujian tersebut tidak saja berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku tetapi juga dengan memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB), yaitu :
1. Asas yang berkaitan dengan proses persiapan dan proses pembentukan keputusan
- Persiapan yang cermat ;
- Asas fair play ;
- Larangan detournement de procedure (menyalahi prosedur);
2. Asas yang berkaitan dengan pertimbangan serta susunan keputusan :
- Keharusan memberikan pertimbangan terhadap semua kepentingan pada suatu keputusan ;
- Pertimbangan tersebut harus memadai ;
3. Asas yang berkaitan dengan isi keputusan :
1. Asas kepastian hukum dan asas kepercayaan ;
2. Asas persamaan perlakuan ;
3. Larangan detournement de pouvoir ;
4. Asas kecermatan materiil ;
5. Asas keseimbangan ;
6. Larangan willekeur (sewenang-wenang)
I. PENDAHULUAN
Dalam sisitem ketatanegaraan Republik Indonesia terdapat tiga pilar kekeuasaan negara, yaitu Kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif (Kehakiman). Berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman, dalam Psl 24 UUD 1945 (Perubahan) Jo. UU No. 4 Thn 2004, ditegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) sebagai lingkungan peradilan yang terakhir dibentuk, yang ditandai dengan disahkannya Undang-undang No. 5 tahun 1986 pada tanggal 29 Desember 1986, dalam konsideran âMenimbangâ undang-undang tersebut disebutkan bahwa salah satu tujuan dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) adalah untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram serta tertib yang menjamin kedudukan warga masyarakat dalam hukum dan menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta selaras antara aparatur di bidang tata usaha negara dengan para warga masyarakat. Dengan demikian lahirnya PERATUN juga menjadi bukti bahwa Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kepastian hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Sebagai negara yang demokratis, Indonesia memiliki sistem ketatanegaraan dengan memiliki lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dari ketiga lembaga tersebut eksekutif memiliki porsi peran dan wewenang yang paling besar apabila dibandingkan dengan lembaga lainnya, oleh karenanya perlu ada kontrol terhadap pemerintah untuk adanya check and balances. Salah satu bentuk konrol yudisial atas tindakan administrasi pemerintah adalah melalui lembaga peradilan. Dalam konteks inilah maka Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) dibentuk dengan UU No. 5 tahun 1986, yang kemudian dengan adanya tuntutan reformasi di bidang hukum, telah disahkan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986.
Perubahan yang sangat mendasar dari UU No. 5 Tahun 1986 adalah dengan dihilangkannya wewenang pemerintah ic. Departemen Kehakiman sebagai pembina organisasi, administrasi, dan keuangan serta dihilangkannya wewenang untuk melakukan pembinaan dan pengawasan umum bagi hakim PERATUN, yang kemudian semuanya beralih ke Mahkamah Agung. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan indepedensi lembaga PERATUN.
Di samping itu adanya pemberlakuan sanksi berupa dwangsom dan sanksi administratif serta publikasi (terhadap Badan atau Pejabat TUN (Tergugat) yang tidak mau melaksanakan putusan PERATUN, menjadikan PERATUN yang selama ini dinilai oleh sebagian masyarakat sebagai âmacan ompongâ, kini telah mulai menunjukan âgigiâ nya.
Sejak mulai efektif dioperasionalkannya PERATUN pada tanggal 14 Januari 1991 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1991, yang sebelumnya ditandai dengan diresmikannya tiga Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) di Jakarta, Medan, dan Ujung Pandang, serta lima Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di jakarta, Medan, Palembang, Surabaya dan Ujung Pandang. Kemudian berkembang, dengan telah didirikannya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di seluruh Ibu Kota Propinsi sebagai pengadilan tingkat pertama. Hingga saat ini eksistensi dan peran PERATUN sebagai suatu lembaga peradilan yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang memeriksa, memutus dan mengadili sengketa tata usaha negara antara anggota masyarakat dengan pihak pemerintah (eksekutif), dirasakan oleh berbagai kalangan belum dapat memberikan kontribusi dan sumbangsi yang memadai di dalam memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat serta di dalam menciptakan prilaku aparatur yang bersih dan taat hukum, serta sadar akan tugas dan fungsinya sebagai pelayan dan pengayom masyarakat.
Sesuai dengan tujuan penyampaian materi ini, sebagai pembekalan kepada para aparat/pejabat publik, yang diharapkan dapat memiliki pengetahuan tentang ruang lingkup PERATUN, subjek dan objek, serta proses beracara di persidangan. Oleh karenanya dalam makalah ini penulis titik beratkan pada masalah Hukum Acara (Hukum Formil) di Peratun, namun demikian penulis juga menyajikan sekilas tentang Hukum Materil sebagai pengantar pembahasan Hukum Formil di Peratun. Hal ini bertujuan agar dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai aparatur pemerintah, dapat diantisipasi/dihindarkan permasalahan-permasalahan yang dapat menimbulkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (Tujuan Prefentif). Di samping itu jika terjadi juga gugatan tersebut, para pejabat terkait sudah dapat memahami tindakan-tindakan yang harus dilakukan berkaitan dengan adanya gugatan tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara, atau dengan kata lain sudah dapat mengetahui bagaimana proses persidangan/mekanisme beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara (Tujuan Refresif).
Penyajian makalah ini sengaja penulis sampaikan selengkap mungkin dengan tujuan memanfaatkan forum ini sebagai sarana sosialisasi Peratun, khususnya bagi para aparat pemerintah , karena memang harus diakui masih banyak kalangan masyarakat yang merasa asing dengan lembaga Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun).
II. RUANG LINGKUP, TUGAS DAN WEWENANG PERATUN
Peradilan Tata Usaha Negara adalah peradilan dalam lingkup hukum publik, yang mempunyai tugas dan wewenang : âmemeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara, yaitu suatu sengketa yang timbul dalam bidang hukum TUN antara orang atau badan hukum perdata (anggota masyarakat) dengan Badan atau Pejabat TUN (pemerintah) baik dipusat maupun didaerah sebagai akibat dikeluarkannya suatu Keputusan TUN (beschikking), termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku â (vide Pasal 50 Jo. Pasal 1 angka 4 UU No. 5 tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004).
Berdasarkan uraian tersebut, secara sederhana dapat dipahami bahwa yang menjadi subjek di Peratun adalah Seseorang atau Badan Hukum Perdata sebagai Penggugat, dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai Tergugat. Sementara itu yang menjadi objek di Peratun adalah Surat Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking). Subjek dan Objek gugatan di Peratun ini lebih lanjut akan dijelaskan dalam pembahasan mengenai unsur-unsur dari suatu Surat Keputusan TUN berikut ini.
Pengertian dari Surat Keputusan TUN disebutkan dalam Pasal 1 angka 3, yaitu :
âKeputusan Tata Usaha Negara adalah Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.â
Selanjutnya dari pengertian ataupun definisi Keputusan TUN tersebut di atas, dapat diambil unsur-unsur dari suatu Keputusan TUN, yang terdiri dari
1. Bentuk Penetapan tersebut harus Tertulis
Penetapan Tertulis itu harus dalam bentuk tertulis, dengan demikian suatu tindakan hukum yang pada dasarnya juga merupakan Keputusan TUN yang dikeluarkan secara lisan tidak masuk dalam pengertian Keputusan TUN ini. Namun demikian bentuk tertulis tidak selalu disyaratkan dalam bentuk formal suatu Surat Keputusan Badan/Pejabat TUN, karena seperti yang disebutkan dalam penjelasan pasal 1 angka 3 UU No. 5 tahun 1986, bahwa syarat harus dalam bentuk tertulis itu bukan mengenai syarat-syarat bentuk formalnya akan tetapi asal terlihat bentuknya tertulis, oleh karena sebuah memo atau nota pun dapat dikategorikan suatu Penetapan Tertulis yang dapat digugat (menjadi objek gugatan) apabila sudah jelas :
- Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkannya.
- Maksud serta mengenai hal apa isi putusan itu.
- Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan didalamnya jelas bersifat konkrit, individual dan final.
- Serta menimbulkan suatu akibat hukum bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata.
2. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN.
Sebagai suatu Keputusan TUN, Penetapan tertulis itu juga merupakan salah satu instrumen yuridis pemerintahan yang dikeluarkan oleh Badan
atau Pejabat TUN dalam rangka pelaksanaan suatu bidang urusan pemerintahan. Selanjutnya mengenai apa dan siapa yang dimaksud dengan
Badan atau Pejabat TUN sebagai subjek Tergugat, disebutkan dalam pasal 1 angka 2 :
âBadan atau Pejabat Tata Usaha negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.â
Badan atau Pejabat TUN di sini ukurannya ditentukan oleh fungsi yang dilaksanakan Badan atau Pejabat TUN pada saat tindakan hukum TUN itu dilakukan. Sehingga apabila yang diperbuat itu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan suatu pelaksanaan dari urusan pemerintahan, maka apa saja dan siapa saja yang melaksanakan fungsi demikian itu, saat itu juga dapat dianggap sebagai suatu Badan atau Pejabat TUN.
Sedang yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah segala macam urusan mengenai masyarakat bangsa dan negara yang bukan merupakan tugas legislatif ataupun yudikatif. Dengan demikian apa dan siapa saja tersebut tidak terbatas pada instansi-instansi resmi yang berada dalam lingkungan pemerintah saja, akan tetapi dimungkinkan juga instansi yang berada dalam lingkungan kekuasaan legislatif maupun yudikatif pun, bahkan dimungkinkan pihak swasta, dapat dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat TUN dalam konteks sebagai subjek di Peratun.
3. Berisi Tindakan Hukum TUN.
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa suatu Penetapan Tertulis adalah salah satu bentuk dari keputusan Badan atau Pejabat TUN, dan keputusan yang demikian selalu merupakan suatu tindakan hukum TUN, dan suatu tindakan hukum TUN itu adalah suatu keputusan yang menciptakan, atau menentukan mengikatnya atau menghapuskannya suatu hubungan hukum TUN yang telah ada. Dengan kata lain untuk dapat dianggap suatu Penetapan Tertulis, maka tindakan Badan atau Pejabat TUN itu harus merupakan suatu tindakan hukum, artinya dimaksudkan untuk menimbulkan suatu akibat hukum TUN.
1. Berdasarkan Peraturan Per UU an yang Berlaku.
Kata âberdasarkanâ dalam rumusan tersebut dimaksudkan bahwa setiap pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN harus ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena hanya peraturan perundang-undangan yang berlaku sajalah yang memberikan dasar keabsahan (dasar legalitas) urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat TUN (pemerintah). Dari kata âberdasarkanâ itu juga dimaksudkan bahwa wewenang Badan atau Pejabat TUN untuk melaksanakan suatu bidang urusan pemerintahan itu hanya berasal atau bersumber ataupun diberikan oleh suatu ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku.
1. Bersifat Konkret, Individual dan Final.
Keputusan TUN itu harus bersifat konkret, artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan TUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan, seperti Pemberhentian si X sebagai Pegawai, IMB yang diberikan kepada si Y dan sebagainya.
Bersifat Individual artinya Keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu dan jelas kepada siapa Keputusan TUN itu diberikan, baik alamat maupun hal yang dituju. Jadi sifat individual itu secara langsung mengenai hal atau keadaan tertentu yang nyata dan ada.
Bersifat Final artinya akibat hukum yang ditimbulkan serta dimaksudkan dengan mengeluarkan Penetapan Tertulis itu harus sudah menimbulkan akibat hukum yang definitif. Dengan mengeluarkan suatu akibat hukum yang definitif tersebut ditentukan posisi hukum dari satu subjek atau objek hukum, hanya pada saat itulah dikatakan bahwa suatu akibat hukum itu telah ditimbulkan oleh Keputusan TUN yang bersangkutan secara final.
1. Menimbulkan Akibat Hukum Bagi Seseorang / Badan Hukum Perdata.
Menimbulkan Akibat Hukum disini artinya menimbulkan suatu perubahan dalam suasana hukum yang telah ada. Karena Penetapan Tertulis itu merupakan suatu tindakan hukum, maka sebagai tindakan hukum ia selalu dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Apabila tidak dapat menimbulkan akibat hukum ia bukan suatu tindakan hukum dan karenanya juga bukan suatu Penetapan Tertulis. Sebagai suatu tindakan hukum, Penetapan Tertulis harus mampu menimbulkan suatu perubahan dalam hubungan-hubungan hukum yang telah ada, seperti melahirkan hubungan hukum baru, menghapuskan hubungan hukum yang telah ada, menetapkan suatu status dan sebagainya.
Di samping pengertian tentang Keputusan TUN dalam pasal 1 angka 3 tersebut diatas, dalam UU Peratun diatur juga ketentuan tentang pengertian yang lain dari Keputusan TUN, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 3, sebagai berikut :
(1) Apabila badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.
(2) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedang jangka waktu sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.
(3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2); maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.â
Ketentuan dalam Pasal 3 ini merupakan perluasan dari pengertian Keputusan TUN sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 3 diatas, yang disebut dengan Keputusan TUN yang Fiktif atau Negatif.
Uraian dari ayat (1) Pasal 3 tersebut merupakan prinsip dasar bahwa setiap Badan atau Pejabat TUN itu wajib melayani setiap permohonan warga masyarakat yang diterimanya, yang menurut aturan dasarnya menjadi tugas dan kewajibannya dari Badan atau Pejabat TUN tersebut. Oleh karenanya apabila badan atau Pejabat TUN melalaikan kewajibannya, maka walaupun ia tidak mengeluarkan keputusan terhadap suatu permohonan yang diterimanya itu, ia dianggap telah bertindak menolak permohonan tersebut.
Ada kalanya dalam aturan dasarnya ditentukan jangka waktu penyelesaian dari suatu permohonan, maka sesuai dengan ketentuan ayat (2) Pasal 3 tersebut, setelah lewat waktu yang ditentukan oleh aturan dasarnya, Badan atau Pejabat TUN belum juga menanggapinya (mengeluarkan keputusan) maka ia dianggap telah menolak permohonan yang diterimanya.
Sementara itu dalam ayat (3) nya menentukan bahwa apabila aturan dasarnya tidak menyebutkan adanya batas waktu untuk memproses penyelesaian suatu permohonan yang menjadi kewajibannya, maka setelah lewat waktu 4 bulan Badan atau Pejabat TUN tersebut belum juga mengeluarkan keputusan, maka ia juga dianggap telah menolak permohonan yang diterimanya. Secara keseluruhan, ketentuan dalam Pasal 3 ini merupakan perluasandari pengertian Keputusan TUN (memperluas kompetensi pengadilan).
Selanjutnya disamping ketentuan yang memperluas pengertian Keputusan TUN sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 diatas, juga UU Peratun mengatur tentang ketentuan yang mempersempit pengertian dari Keputusan TUN (mempersempit kompetensi pengadilan), artinya secara definisi masuk dalam pengertian suatu Keputusan TUN seperti dimaksud dalam Pasal 1 angka 3, akan tetapi secara substansial tidaklah dapat dijadikan objek gugatan di Peratun. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 49, yang menyebutkan :
âPengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan :
a. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.â
Keadaan-keadaan tersebut diatas dapat terjadi pada prinsipnya tergantung pada hasil penafsiran dari apa yang ditentukan dalam masing-masing peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk masing-masing keadaan, seperti penetapan keadaan perang, keadaan bahaya, bencana alam dan sebagainya.
Selanjutnya dalam Pasal 2 disebutkan pengecualian dari Pengertian Keputusan TUN, yaitu :â Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini :
1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata.
2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum.
3. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan.
4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana.
5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;
7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.
III. HUKUM ACARA PERATUN
3.1. Karakteristik Hukum Acara Di Peratun.
Secara sederhana Hukum Acara diartikan sebagai Hukum Formil yang bertujuan untuk mempertahankan Hukum Materil. Hal-hal yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya di atas, merupakan ketentuan-ketentuan tentang Hukum Materil di Peratun. Sementara itu mengenai Hukum Formilnya juga diatur dalam UU No. 5 tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004, mulai dari Pasal 53 s/d Pasal 132.
Penggabungan antara Hukum Materil dan Hukum Formil ini merupakan karakteristik tersendiri yang membedakan Peradilan TUN dengan Peradilan lainnya. Untuk mengantarkan pada pembahasan tentang Hukum Acara di Peratun ini, terlebih dahulu akan diuraikan hal-hal yang merupakan ciri atau karakteristik Hukum Acara Peratun sebagai pembeda dengan Peradilan lainnya, khususnya Peradilan Umum (Perdata), sebagai berikut :
+ Adanya Tenggang Waktu mengajukan gugatan (Pasal 55).
+ Terbatasnya tuntutan yang dapat diajukan dalam petitum gugatan Penggugat (Pasal 53).
+ Adanya Proses Dismissal (Rapat Permusyawaratan) oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) (Pasal 62).
+ Dilakukannya Pemeriksaan Persiapan sebelum diperiksa di persidangan yang terbuka untuk umum (Pasal 63).
+ Peranan Hakim TUN yang aktif (dominus litis) untuk mencari kebenaran materil (Pasal 63, 80, 85,95 dan 103).
+ Kedudukan yang tidak seimbang antara Penggugat dengan Tergugat, oleh karenanya âkonpensasiâ perlu diberikan karena kedudukan Penggugat diasumsikan dalam posisi yang lebih lemah dibandingkn dengan Tergugat selaku pemegang kekuasaan publik.
+ Sistem pembuktian yang mengarah pada pembuktian bebas yang terbatas (Pasal 107).
+ Gugatan di pengadilan tidak mutlak menunda pelaksanaan Keputusan TUN yang digugat (Pasal 67).
+ Putusan Hakim yang tidak boleh bersifat ultra petita yaitu melebihi apa yang dituntut dalam gugatan Penggugat, akan tetapi dimungkinkan adanya reformatio in peius (membawa Penggugat pada keadaan yang lebih buruk) sepanjang diatur dalam perundang-undangan.
+ Putusan hakim TUN yang bersifat erga omnes, artinya putusan tersebut tidak hanya berlaku bagi para pihak yang bersengketa, akan tetapi berlaku juga bagi pihak-pihak lainnya yang terkait.
+ Berlakunya azas audi et alteram partem, yaitu para pihak yang terlibat dalam sengketa harus didengar penjelasannya sebelum hakim menjatuhkan putusan.
3.2. Gugatan.
3.2. 1. Pengertian Gugatan.
Mengenai pengertian dari gugatan dijelaskan dalam Pasal 1 angka 5, sebagai berikut :
â Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan diajukan ke Pengadilan untuk mendapat putusanâ
Gugatan di Peratun diajukan oleh seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan akibat dikeluarkannya suatu Keputusan TUN. Oleh karenanya unsur adanya kepentingan dalam pengajuan gugatan merupakan hal yang sangat urgen dalam sengketa di Peratun. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 53 ayat (1), sebagai berikut :
â Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar KeputusanTata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.
Dari ketentuan Pasal 53 ayat (1) ini menjadi dasar siapa yang bertindak senagai Subjek Penggugat di Peratun, yaitu Orang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan TUN.
Selanjutnya Pasal 53 ayat (2) menyebutkan alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan, adalah:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Suatu gugatan yang akan diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara harus memuat hal-hal yang merupakan syarat formil suatu gugatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 56, yaitu :
a. nama, kewarganegaraan, tempat tinggal dan pekerjaan penggugat atau kuasanya.
b. nama jabatan, dan tempat tinggal tergugat.
c. dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh pengadilan.
3.2.2. Pengajuan gugatan.
Menurut Pasal 54 ayat (1) gugatan sengketa TUN diajukan secara tertulis kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat. Gugatan yang diajukan harus dalam bentuk tertulis, karena gugatan itu akan menjadi pegangan bagi pengadilan dan para pihak selama pemeriksaan.
Apabila Tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan Tata Usaha Negara, gugatan diajukan pada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Dalam hal tempat kedudukan Tergugat tidak berada dalam daerah hukum pengadilan tempat kediaman Penggugat, maka gugatan diajukan kepada pengadilan tempat kedudukan Penggugat untuk diteruskan kepada pengadilan yang bersangkutan. Sedangkan apabila Penggugat dan Tergugat berada di luar negeri gugatan diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, dan apabila Tergugat berkedudukan di dalam negeri dan Penggugat diluar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara di tempat kedudukan Tergugat.
Salah satu kekhususan di Peratun juga berkaitan dengan fungsi Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) yang bukan saja sebagai pengadilan tingkat banding, akan tetapi juga mempunyai fungsi sebagai pengadilan tingkat pertama seperti halnya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hal ini terjadi apabila sengketa TUN tersebut berkaitan dengan ketentuan Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004, yaitu yang mengatur tentang upaya banding administratif. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 51 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004, sebagai berikut :
â Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan di tingkat pertama sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 â.
Berhubung sengketa TUN selalu berkaitan dengan keputusan Tata Usaha Negara, maka pengajuan gugatan ke Pengadilan dikaitkan pula dengan waktu dikeluarkannya keputusan yang bersangkutan.
Pasal 55 menyebutkan bahwa :
â Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan â.
Dalam hal gugatan didasarkan pada alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 (Keputusan Fiktif-Negatif), maka tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari itu, dihitung setelah lewatnya tenggang waktu yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasarnya, yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan. Seandainya peraturan perundang-undangan yang menjadi dasarnya tidak menentukan tenggang waktunya, maka dihitung sejak sejak lewatnya tenggang waktu 4 (empat) bulan yang dihitung sejak diterimanya permohonan yang bersangkutan. Bilamana tenggang waktu tersebut diatas telah lewat, maka hak untuk menggugat menjadi gugur karena telah daluarsa.
Diajukannya suatu gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara pada prinsipnya tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat. Namun demikian Penggugat dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan agar Surat Keputusan yang digugat tersebut ditunda pelaksanaannya selama proses berjalan, dan permohonan tersebut hanya dapat dikabulkan oleh pengadilan apabila adanya alasan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan Penggugat akan sangat dirugikan jika Keputusan TUN yang digugat itu tetap dilaksanakan (Pasal 67 ayat 4 a).
3.3. Pemeriksaan di persidangan
3.3. 1. Pemeriksaan Pendahuluan.
Berbeda dengan peradilan lainnya, Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai suatu kekhususan dalam proses pemeriksaan sengketa, yaitu adanya tahap Pemeriksaan Pendahuluan.
Pemeriksaan Pendahuluan ini terdiri dari :
a. Rapat permusyawaratan/Proses Dismissal (Pasal 62).
b. Pemeriksaan Persiapan (Pasal 63).
Ad. a. Rapat Permusyawaratan (Proses Dismissal) :
Rapat permusyawaratan yang disebut juga dengan Proses Dismissal atau tahap penyaringan yang merupakan wewenang Ketua Pengadilan, diatur dalam Pasal 62. Dalam proses dismissal ini Ketua Pengadilan, setelah melalui pemeriksaan administrasi di kepaniteraan, memeriksa gugatan yang masuk. Apakah gugatan tersebut telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam UU Peratun dan apakah memang termasuk wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara untuk mengadilinya.
Dalam proses dismissal Ketua Pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan tidak diterima atau tidak berdasar, apabila :
a. Pokok gugatan, yaitu fakta yang dijadikan dasar gugatan, nyata-nyata tidak termasuk wewenang Pengadilan.
b. Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 tidak dipenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah diperingatkan.
c. gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak.
d. Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat.
e. Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.
Penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara mengenai hal ini diucapkan dalam rapat permusyawaratan sebelum hari persidangan ditentukan, dengan memanggil kedua belah pihak. Terhadap penetapan ini dapat diajukan perlawanan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah diucapkan. Perlawanan tersebut harus dengan memenuhi syarat-syarat seperti gugatan biasa sebagaimana diatur dalam Pasal 56.
Perlawanan diperiksa oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dengan acara singkat, yang dilakukan oleh Majelis Hakim. Apabila perlawanan tersebut diterima atau dibenarkan oleh Pengadilan yang bersangkutan melalui acara singkat, maka Penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara yang diambil dalam rapat permusyawaratan tersebut dinyatakan gugur demi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut acara biasa. Terhadap putusan pengadilan mengenai perlawanan tidak dapat digunakan upaya hukum seperti banding dan kasasi, karena putusan tersebut dianggap sebagai putusan tingkat pertama dan terakhir, sehingga telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Ad. b. Pemeriksaan Persiapan.
Pemeriksaan persiapan diadakan mengingat posisi Penggugat di Peratun pada umumnya adalah warga masyarakat yang diasumsikan mempunyai kedudukan lemah dibandingkan dengan Tergugat sebagai Pejabat Tata Usaha Negara sebagai pemegang kekuasaan eksekutif. Dalam posisi yang lemah tersebut sangat sulit bagi Penggugat untuk mendapatkan informasi dan data yang diperlukan untuk kepentingan pengajuan gugatan dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat.
Pemeriksaan Persiapan dilakukan di ruang tertutup bukan di ruang persidangan yang terbuka untuk umum. Dalam Pemeriksaan Persiapan Hakim wajib dan berwenang untuk :
* Memberikan nasehat atau arahan-arahan kepada Penggugat untuk memperbaiki gugatannya dan melengkapai surat-surat atau data-data yang diperlukan dalam tenggang waktu 30 hari.
* Meminta penjelasan kepada pihak Tergugat mengenai segala sesuatu yang mempermudah pemeriksaan sengketa di persidangan
Apabila jangka waktu 30 hari yang ditetapkan untuk memperbaiki gugatannya tersebut tidak dipenuhi oleh Penggugat, maka Majelis Hakim akan memberikan putusan yang menyatakan gugatan Penggugat dinyatakan tidak dapat diterima, dan atas putusan tersebut tidak ada upaya hukum, namun masih dapat diajukan gugatan baru.
3.3.2. Pemeriksaan Tingkat Pertama.
Pemeriksaan di tingkat pertama pada umumnya dilakukan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), terkecuali untuk sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, sengketa tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui upaya administratif sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 48 UU Peratun, maka pemeriksaan di tingkat pertama dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).
Pemeriksaan ditingkat pertama ini dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara :
a. Pemeriksaan dengan acara biasa.
b. Pemeriksaan dengan acara cepat.
Dalam proses pemeriksaan sengketa TUN dimungkinkan pula adanya pihak ketiga yaitu orang atau badan hukum perdata untuk ikut serta atau diikutsertakan dalam proses pemeriksaan suatu sengketa yang sedang berjalan (Pasal 83).
3.4. Putusan Pengadilan
Dalam hal pemeriksaan sengketa telah selesai, mulai dari jawab menjawab, penyampaian surat-surat bukti dan mendengarkan keterangan saksi-saksi, maka selanjutnya para pihak diberikan kesempatan untuk menyampaikan kesimpulan yang merupakan pendapat akhir para pihak yang bersengketa (Pasal 97 ayat 1). Setelah kesimpulan disampaikan, kemudian hakim menunda persidangan untuk bermusyawarah guna mengambil putusan.
Putusan pengadilan yang akan diambil oleh hakim dapat berupa ( Pasal 97 ayat (7) ) :
a. Gugatan ditolak.
b. Gugatan dikabulkan.
c. Gugatan tidak diterima.
d. Gugatan gugur.
Terhadap gugatan yang dikabulkan, maka pengadilan akan menetapkan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan kepada Badan atau Pejabat TUN selaku Tergugat, yaitu berupa ( Pasal 97 ayat (9) ) :
a. Pencabutan Keputusan TUN yang bersangkutan.
b. Pencabutan Keputusan TUN yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan TUN yang baru.
c. Penerbitan Keputusan TUN dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3.
Disamping kewajiban-kewajban tersebut pengadilan juga dapat membebankan kewajiban kepada Tergugat untuk membayar ganti rugi dan pemberian rehabilitasi dalam hal menyangkut sengketa kepegawaian.
IV. UPAYA HUKUM
4.1. Upaya Hukum Banding.
Terhadap para pihak yang merasa tidak puas atas putusan yang diberikan pada tingkat pertama (PTUN), berdasarkan ketentuan Pasal 122 UU Peratun terhadap putusan PTUN tersebut dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh Penggugat atau Tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).
Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya yang khusus diberi kuasa untuk itu, kepada PTUN yang menjatuhkan putusan tersebut, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan diberitahukan kepada yang bersangkutan secara patut.
Selanjutnya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sesudah permohonan pemeriksaan banding dicatat, Panitera memberitahukan kepada kedua belah pihak bahwa mereka dapat melihat berkas perkara di Kantor Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah mereka menerima pemberitahuan tersebut.
Para pihak dapat menyerahkan memori atau kontra memori banding, disertai surat-surat dan bukti kepada Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan, dengan ketentuan bahwa salinan memori dan kontra memori banding diberikan kepada pihak lawan dengan perantara Panitera Pengadilan (Pasal 126).
Pemeriksaan banding di Pengadilan Tinggi TUN dilakukan sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) orang hakim. Dalam hal Pengadilan Tinggi TUN berpendapat bahwa pemeriksaan Pengadilan Tata Usaha Negara kurang lengkap, maka Pengadilan Tinggi tersebut dapat mengadakan sendiri untuk pemeriksaan tambahan atau memerintahkan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan untuk melaksanakan pemeriksaan tambahan.
Setelah pemeriksaan di tingkat banding selesai dan telah diputus oleh Pengadilan Tinggi TUN yang bersangkutan, maka Panitera Pengadilan Tinggi TUN yang bersangkutan, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari mengirimkan salinan putusan Pengadilan Tinggi tersebut beserta surat-surat pemeriksaan dan surat-surat lain kepada Pengadilan TUN yang memutus dalam pemeriksaan tingkat pertama, dan selanjutnya meneruskan kepada pihak-pihak yang berkepentingan (Pasal 127).
Mengenai pencabutan kembali suatu permohonan banding dapat dilakukan setiap saat sebelum sengketa yang dimohonkan banding itu diputus oleh Pengadilan Tinggi TUN. Setelah diadakannya pencabutan tersebut permohonan pemeriksaan banding tidak dapat diajukan oleh yang bersangkutan, walaupun tenggang waktu untuk mengajukan permohonan pemeriksaan banding belum lampau (Pasal 129).
4.2. Upaya Hukum Kasasi dan Peninjauan Kembali.
Terhadap putusan pengadilan tingkat Banding dapat dilakukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan ditingkat Kasasi diatur dalam pasal 131 UU Peratun, yang menyebutkan bahwa pemeriksaan tingkat terakhir di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung. Untuk acara pemeriksaan ini dilakukan menurut ketentuan UU No.14 Tahun 1985 Jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
Menurut Pasal 55 ayat (1) UU Mahkamah Agung, pemeriksaan kasasi untuk perkara yang diputus oleh Pengadilan dilingkungan Pengadilan Agama atau oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dilakukan menurut ketentuan UU ini. Dengan demikian sama halnya dengan ketiga peradilan yang lain, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer, maka Peradilan Tata Usaha Negara juga berpuncak pada Mahkamah Agung.
Sementara itu apabila masih ada diantara para pihak masih belum puas terhadap putusan Hakim Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi, maka dapat ditempuh upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan Peninjauan Kembali diatur dalam pasal 132 UU Peratun, yang menyebutkan bahwa :
Ayat (1) : âTerhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan Peninjauan Kembali pada Mahkamah Agung.â
Ayat (2) : âAcara pemeriksaan Peninjauan Kembali ini dilakukan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.â
V. PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN
Putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan hanyalah putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, demikian ditegaskan dalam Pasal 115 UU Peratun.
Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap artinya bahwa terhadap putusan tersebut telah tidak ada lagi upaya hukum, atau dapat juga masih ada upaya hukum akan tetapi oleh para pihak upaya hukum tersebut tidak ditempuh dan telah lewat tenggang waktu yang ditentukan oleh UU.
Sebagai contoh, putusan PTUN Yogyakarta seharusnya dapat diajukan upaya hukum banding ke PTTUN Surabaya, akan tetapi karena telah lewat waktu 14 hari sebagaimana yang ditetapkan UU, para pihak tidak ada yang mengajukan upaya hukum tersebut, sehingga putusan PTUN Yogyakarta tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang kemudian dapat diajukan permohonan eksekusinya.
Mengenai mekanisme atau prosedur eksekusi ini diatur dalam Pasal 116 s/d 119 UU Peratun. Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, dengan lahirnya UU No. 9 Tahun 2004, putusan Peratun telah mempunyai kekuatan eksekutabel. Hal ini dikarenakan adanya sanksi berupa dwangsom dan sanksi administratif serta publikasi terhadap Badan atau Pejabat TUN (Tergugat) yang tidak mau melaksanakan putusan Peratun.
Lebih lanjut Pasal 116 UU No. 9 Tahun 2004, menyebutkan prosedur eksekusi di Peratun, sebagai berikut :
(1) Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari.
(2) Dalam hal 4 (empat) bulan setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan, Tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, Keputusan yang diperseketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
(3) Dalam hal Tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) haruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya, penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) agar Pengadilan memerintahkan Tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.
(4) Dalam hal Tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.
(5) Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera sejak tidak terpenuhinya<br />
hukum acara pidana<br />
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Pengertian Hukum Acara Pidana
Menurut Simon, Hukum Acara Pidana disebut juga hukum pidana formal untuk membedakannya dengan hukum pidana material. Hukum pidana material atau hukum pidana itu berisi petunjuk dan uraian tentang delik, peraturan tentang syarat-syarat dapatnya dipidana suatu perbuatan, petunjuk tentang orang yang dapat dipidana, dan aturan tentang pemidanaan : mengatur kepada siapa dan bagaimana pidana itu dapat dijatuhkan. Sedangkan Hukum Pidana formal mengatur bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana, jadi berisi acara pidana.
B. Sumber Hukum Acara Pidana
1. UUD 1945, Pasal 24 ayat (1), Pasal 25.
2. KUHAP UU No.8 Tahun 1981, LN 1981 Nomor 76.
3. Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No.14 Tahun 1970 Nomor 74).
4. PP Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP.
5. UU No.5 Tahun 1986 tentang Mahkamah Agung.
C. Asas-Asas atau Prinsip-Prinsip Hukum Acara Pidana
1. Asas / Prinsip Legalitas
2. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum (equality before the law)
3. Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocent)
4. Penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dilakukan berdasarkan perintah tertulis pejabat yang berwenang.
5. Asas Ganti Kerugian dan Rehabilitasi.
6. Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan.
7. Tersangka / Terdakwa berhak mendapat bantuan hukum.
8. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa.
9. Prinsip Peradilan Terbuka untuk umum.
D. Sistem Peradilan pidana di Amerika Serikat dikenal dua macam model menurut Herbert L Packer, yaitu :
1. Crime Control Model, dengan karakteristik speed and finally dan assembly line.
2. Due Process Model, dengan karakteristik ;
⢠Fact Finding (memukan fakta)
⢠Obstacle Course (lari gawang)
Hukum Acara perdata<br />
Ringkasan Hukum Acara Perdata
Mata Kuliah Hukum Acara Perdata adalah sebuah mata kuliah yang sangat spesifikasi untuk bidang acara perdata, khususnya mengenai hukum beracara. Kali ini saya akan coba memposting mengenai ringkasan mata kuliah hokum acara perdata.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pengertian Hukum Acara Perdata
Sebagai bagian dari hokum acara (formeel recht), maka Hukum Acara Perdata mempunyai ketentuan-ketentuan pokok yang bersifat umum dan dalam penerapannya hukum acara perdata mempunyai fungsi untuk mempertahankan, memelihara, dan menegakan ketentuan-ketentuan hukum perdata materil. Oleh karena itu eksistensi hukum acara perdata sangat penting dalam kelangsungan ketentuan hukum perdata materil.
Adapun beberapa pengertian hukum acara perdata menurut beberapa pakar hukum
a. Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH
Beliau mengemukakan batasan bahwa hukum acara perdata sebagai rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan cara bagaimana cara pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan hukum perdata.
b. Prof. Dr. Sudikno Mertukusumo, SH
Member batasan hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata material dengan perantaraan hakim. Dengan perkataan lain, hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menetukan bagaimana caranyamenjamin pelaksanaan hukum perdata material. Lebih kongkrit lagi dapatlah dikatakan bahwa hukum acara perdata mengatur bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya, dan pelaksanaan dari pada putusannya.
c. Prof. Dr. R. Supomo, SH
Dengan tanpa memberikan suatu batasan tertentu, tapi melalui visi tugas dan peranan hakin menjelaskan bahwasanya dalam peradilan perdata tugas hakim ialah mempertahankan tata hukum perdata (burgerlijk rechtsorde) menetapkan apa yang ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara.
Berdasarkan pengertian âpengertian yang dikemukakan diatas serta dengan bertitik tolak kepada aspek toeritis dalam praktek peradilan, maka pada asasnya hukum acara perdata adalah :
1. Peraturan hukum yang mengatur dan menyelenggarakan bagaimana proses seseorang mengajukan perkara perdata kepada hakim/pengadilan. Dalam konteks ini, pengajuan perkara perdata timbul karena adanya orang yang merasa haknya dilanggar orang lain, kemudian dibuatlah surat gugatan sesuai syarat peraturan perundang-undangan.
2. Peraturan hukum yang menjamin, mengatur dan menyelenggarakan bagaimana proses hakim mengadili perkara perdata. Dalam mengadili perkara perdata, hakim harus mendengar kedua belah pihak berperkara (asas Audi Et Alterm Partem). Disamping itu juga, proses mengadili perkara, hakim juga bertitik tolak kepada peristiwanya hukumnya, hukum pembuktian dan alat bukti kedua belah pihak sesuai ketentuan perundang-undangan selaku positif (Ius Constitutum)
3. Peraturan hukum yang mengatur proses bagaimana caranya hakim memutus perkara perdata.
4. Peraturan hukum yang mengatur bagaimana tahap dan proses pelaksanaan putusan hakim (Eksekusi)
1.2 Sumber-sumber hukum acara perdata.
Dalam praktek peradilan di Indonesia saat ini, sumber-sumber hukum acara perdata terdapat pada berbagai peraturan perundang-undangan.
a. HIR (Het Herzine Indonesich Reglemen) atau Reglemen Indonesia Baru, Staatblad 1848.
b. RBg (Reglemen Buitengwesten) Staatblad 1927 No 277
c. Rv (Reglemen Hukum Acara Perdata Untuk golongan Eropa) Staatblad No 52 Jo Staatblad 1849 No.63. namun sekarang ini Rv tidak lagi digunakan karena berisi ketentuan hukum acara perdata khusus bagi golongan Eropa dan bagi mereka yang dipersamakan dengan mereka dimuka (Raad van Justitie dan Residentiegerecht. Tetapi Raad Van Justitie telah dihapus, sehingga Rv tidak berlaku lagi. Akan tetapi dalam praktek peradilan saat ini eksistensi ketentuan dalam Rv oleh Judex Facti (pengadilan negeri dan pengadilan tinggi) serta mahkamah agung RI tetap dipergunakan dan dipertahankan. Mis : Ketentuan tentang Uang paksa(dwangsom) dan intervensi gugatan perdata.
d. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
e. Undang-Undang.
1. UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
2. UU No.5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung, yang mengatur tentang hukum acara kasasi
3. UU No.8 Tahuun 2004 Tentang Peradilan Umum.
4. UU No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
5. UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan beserta peraturan pelaksanaannya.
6. UU No.2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
1.3 Asas-Asas Hukum Acara Perdata Indonesia
Bertitik tolak kepada praktek peradilan Indonesia maka dapatlah disebutkan beberapa asas-asas umum hukum acara perdata Indonesia.
a. Peradilan yang terbuka untuk umum (Openbaarheid Van Rechtsspraak)
Peradilan yang terbuka untuk umum merupakan aspek fundamental dari hukum acara perdata. Sebelum perkara disidangkan, maka hakim ketua harus menyatakan bahwa âpersidangan terbuka untuk umumâ sepanjang undang-undang tidak menentukan lain. (Mis : dalam perkara persidangan perkara perceraian siding dinyatakan tertutup untuk umum. Apabila hal ini tidak dipenuhi maka akan mengakibatkan putusan batal demi hukum (Pasal 19 Ayat 1 dan 2 UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
b. Hakim bersifat Pasif (Lijdelijkeheid Van De Rehter)
Dalam asas ini terdapat sebuah aturan yang dikenal dengan (Nemo Judex Sine Actore) yang artinya apabila gugatan tidak diajukan oleh para pihak, maka tidak ada hakim yang mengadili perkara bersangkutan.
c. Mendengar Kedua belah pihak.
d. Pemeriksaan dalam dua instansi (Onderzoek In Tween Instanties)
e. Pengawasan Putusan Lewat Kasasi.
f. Peradilan dengan membayar biaya.
Peradilan perkara perdata pada asanya dikenakan biaya perkara (Pasal 4 Ayat 2, Pasal 5 Ayat 2, UU No 4 Tahun 2004. Pasal 121 Ayat 4 HIR/Pasal 145 Ayat 4, 192, 194 RBg. Bagi mereka yang tidak mampu membayar biaya perkara dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri setempat untuk berperkara secara Cuma-Cuma (Pro Deo).
1.4 Susunan Badan Peradilan di Indonesia.
Menurut UUD 1945 bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh mahkamah agung dan badan peradilan dibawahnya. Jenis dan dasar badan peradilan di Indonesia terdapat dalam pasal 10 ayat (1) UU No 4 Tahun 2004, dikenal empat lingkungan peradilan di Indonesia yaitu :
a. Peradilan Umum (UU No 8 Tahun 2004)
b. Peradilan Agama (UU No 3 Tahun 2006)
Dalam perdalilan agama membawahi Pengadilan Agama Neger
c. Peradilan Militer (UU No 31 Tahun 1997)
d. Peradilan Tata Usaha Negara (UU No 9 Tahun 2004)
Keempat badan peradilan tersebut kesemuanya dibawah Mahkamah Agung RI. Berdasarkan pasal 11 (1) UU No 4 Tahun 2004. Mahkamah Agung RI merupakan pengadilan Negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan sebagaimana disebutkan diatas. Selanjutnya pada ayat dua (2) disebutkan, kewenangan Mahkamah Agung RI adalah :
a. Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan dimana semua lingkungan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung.
b. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
c. Kewenangan lain yang diberikan undang-undang.
Peradilan umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai perkara perdata maupun pidana yang dijalankan oleh pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Di dalam peradilan umum diberntuk beberapa pengadilan khusus yang berada dilingkungan pengadilan negeri yaitu :
1. Pengadilan niaga (pasal 280 UU No.4 Tahun 1998 Tentang kepailitan)
2. Pengadilan anak (pasal 2 UU No.3 Tahun 1997 Tentang pengadilan anak)
3. Pengadilan hak asasi manusia (pasal 2 UU No.26 Tahun 2000 Tentang pengadilan HAM)
4. Pengadilan tindak pidana korupsi
5. Pengadilan hubungan industrial (pasal 1 angka 17 UU No.2 Tahun 2004 Tentang penyelesaian Perselisihan hubungan industrial.)
6. Pengadilan perikanan.
Peradilan Agama, Militer dan Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus karena mengadili perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu. Berdasarkan UU No.3 Tahun 2006 Tentang Pengadilan Agama, kewenangan pengadilan agama diperluas sebagaimana diatur dalam pasal 49 yaitu :pengadilan agama bertugas dan berwewenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang beragama Islam di bidang : perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, infaq, zakat, dan ekonomi syariâah.
BAB II
PEMBERIAN KUASA (LASTGEVING)
2.1 Pemberian Kuasa (Lastgeving)
A. Pengertian Kuasa.
Secara Umum, surat kuasa tunduk pada prinsip hukum yang diatur dalam BAB ke enambelas, buku III KUHPerdata tentang perikatan. Sedangkan aturan khususnya diatur dan tunduk pada ketentuan hukum acara yang digariskan HIR dan RBG. Untuk memahami arti dari pengertian kuasa secara umum dapat dirujuk pada pasal 1792 KUHPerdta yang berbunyi âPemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusanâ
Bertitik tolak dari pasal 1792 KUHPerdata tersebut diatas, dalam perjanjian kuasa terdapat dua pihak terdiri dari :
a. Pemberi kuasa atau letsgever (Instruction, Mandate)
b. Penerima kuasa yang diberi perintah atau mandate melakukan sesuatu untuk dan atas nama pemberi kuasa.
B. Berakhirnya Kuasa
Berdasarkan pasal 1813 KUHPerdata, hal-hal yang dapat mengakhiri pemberian kuasa adalah sebagai berikut :
1. Pemberi kuasa menarik kembaliu secara sepihak.
Ketentuan pencabutan kembali kuasa oleh pemberi kuasa, diatur lebih lanjut dalam pasal 1814 KUHPerdata dengan acuan. :
a. Pencabutan tanpa melakuakan persetujuan dari penerima kuasa
b. Pencabutan dapat dilakuakan secara tegas dalam bentuk mencabut secara tegas dan tertulis atau meminta kembali surat kuasa dari penerima kuasa.
c. Pencabutan secara diam-diam berdasarkan pasal 1816 KUHPerdata.
2. Salah satu puhak meninggal dunia
Dengan sendirinya pemberian kuasa berakhir demi hukum.
3. Penerima kuasa melepas kuasa.
Pasal 1817 KUHPerdata member hak secara sepihak kepada kuasa untuk melepas kuasa yang diterimanya dengan syarat :
a. Hsarus memberitahu kehendak pelepasan itu kepada pemberi kuasa
b. Pelepasan tidak boleh dilakuakan pada saat yang tidak layak. Ukuran tentang hal ini didasarkan pada perkiraan objektif, apakah pelepasan itu dapat menimbulkan kerugian kepada pemberi kuasa.
C. Jenis-Jenis Kuasa.
1. Kuasa Umum (pasal 1795 KUHPerdata)
2. Kuasa khusus (pasal 1795 KUHPerdata)
3. Kuasa Istimewa (pasal 1796 KUHPerdata)
4. Kuasa perantara (pasal 1792 KUHPerdata dan pasal 62 KUHD)
D. Kuasa Menurut Hukum
Kuasa menurut hukum disebut juga Wettelijke Vertegnwoording atau Legal Mandatory. Maksudnya undang-undang sendiri telah menetapkan seseorang atau suatu badan untuk dengan sendirinya bertindak mewakili. Beberapa kuasa hukum adalah sebagai berikut :
1) Wali terhadap anak dibawah umur (pasal 51 UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan)
2) Curator atas orang tidak waras.
3) Orang tua terhadap anak yang belum dewasa (pasal 45 (2) UU No 1 Tahun 1974
4) BPH sebagai curator kepailitan
5) Direksi atau pengurus badan hukum
6) Direksi perusahaan persoroan (persero)
7) Pimpinan perwakilan perusahaan asing
8) Pimpinan cabang perusahaan domestic.
KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA<br />
Advokat Sebagai Profesi
Profesi berasal dari bahasa Inggris, profession, yang mempunyai arti sebagai bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan, dsb) tertentu. Pengertian lain profesi adalah suatu pekerjaan pelayanan:- penerapan seperangkat pengetahuan secara sistematis untuk mengatasi persoalan-persoalan , persoalan-persoalan tersebut termasuk ke dalam wawasan nilai-nilai utama yang mempunyai relevansi tinggi dalam masyarakat.
Menurut Soebijakto, untuk dapat disebut sebagai profesi diperlukan kriteria sebagai berikut.
1. pengetahuan.
2. keahian kemahiran.
3. mengabdi kepada kepentingan orang banyak.
4. tidak mengutamakan keuntungan materi.
5. adanya organisAsi atau asosiasi profesi.
6. pengakuan masyarakat.
7. kode etik.
Kalangan advokat mengartikan profesi dengan unsur-unsur:
1. harus ada ilmu hukum yang diolah di dalamnya;
2. harus ada kebebasan, tidak boleh ada hubungan dinas/hirarkis;
3. mengabdi pada kepentingan umum, mencari nafkah tidak menjadi tujuan.
Pengertian profesi advokat adalah suatu pekerjaan di bidang hukum yang didasari oleh keahlian dan sumpah atau ikrar atau komitmen untuk bersedia bekerja demi tujuan hukum; kebenaran dan keadilan di tengah-tengah masyarakat. Keahlian adalah suatu kecakapan khusus berdasarkan pengetahuan dan pengalaman memadai berdasarkan pengakuan dari institusi resmi untuk menjalankan pekerjaan profesi advokat. Sumpah, ikrar atau komitmen diartikan sebagai janji profesi untuk memegang idealisme, moral dan integritas yang dimuat dalam kode etik profesi.
Pengertian Kode Etik
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika adalah:
1. ilmu tentag apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak kewajiban moral;
2. kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
3. nilai mengenai benar atau salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Pengertian lain tentang etika menurut Ensiklopedi Indonesia dijelaskan bahwa etika yang mengandung ilmu tentang kesusilaan, yang menentukan bagaimana patutnya manusia hidup dalam masyarakat mengenai:
1. apa yang baik dan apa yang buruk;
2. segala ucapan harus senantiasa berdasarkan hasil pemeriksaan tentang keadaan hidup dalam arti kata seluas-luasnya.
Pengertian kode etik mempunyai arti tulisan atau tanda-tanda etis yang mempunyai tujuan tertentu, mengandung norma-norma hidup yang etis, aturan tata susila, sikap, akhlak, berbudi luhur yang pelaksanaanya diserahkan atas keinsyafan dan kesadaran dirinya sendiri.
Kode etik dapat dibuat dan diberlakukan secara luas dan sempit. Kode etik dibuat dan diberlakukan secara luas adalah etika yang nilai-nilainya terkandung dalam moral dan susila dan diciptakan dan diberlakukan untuk seluruh umat manusia secara universal. Kode etik dalam arti sempit adalah etika yang diciptakan dan diberlakukan untuk golongan atau kelompok manusia dalam masyarakat.
Etika yang diberlakukan secara sempit inilah yang disebut sebagai etika profesi. Etika profesi diciptakan dan diberlakukan untuk kalangan profesi tertneu. Contohnya adalah etika profesi dokter berlaku untuk kalangan dokter, etika profesi akuntan berlaku bagi kalangan akuntan, etika profesi advokat berlaku bagi kalangan advokat.
Kode Etik Advokat
Kode etik advokat adalah Kode Etik Advokat Indonesia yang ditetapkan pada tanggal 23 Mei 2002 berdasarkan kesepakatan 7 (tujuh) organisasi advokat Indonesia yang terdiri dari:
1. Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN);
2. Asosiasi Advokat Indonesia (AAI);
3. Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI);
4. Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI);
5. Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM);
6. Serikat Pengacara Indonesia (SPI);
7. Himpunan advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI).
Berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyatakan Kode etik dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Profesi Advokat yang telah ditetapkan oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), pada tanggal 23 Mei 2002 dinyatakan mempunyai kekuatan hukum secara mutatis mutandis menurut Undang-Undang ini sampai ada ketentuan yang baru yang dibuat oleh Organisasi Advokat.
Selanjutnya organisasi advokat Kongres Advokat Indonesia telah menetapkan Kode Etik Advokat Indonesia dengan
SURAT KEPUTUSAN
KONGRES ADVOKAT INDONESIA I TAHUN 2008 NOMOR: 08/KAI-I/V/2008
TENTANG KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA pada tanggal 30 Mei 2008.
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/13505667582003710930noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8550374304110771050.post-65176902327183185652011-09-24T05:03:00.001-07:002011-09-24T05:03:34.677-07:00PRAKTEK PERADILAN PERDATAPRAKTEK PERADILAN PERDATA
Pendahuluan
Dalam era reformasi dan dan situasi krisis moneter yang sekarang ini terjadi membuat banyak perusahaan maupun bank-bank menjadi tak berdaya. Bahkan banyak diantara menjadi bangkrut sehingga timbul berbagai macam perkara.
Dengan banyaknya perkara yang timbul akibat situasi tersebut disatu sisi memberikan banyak pekerjaan bagi para ahli hukum, salah satunya yang bergerak sebagai Pengacara litigasi. Namun untuk menjadi Pengacara yang tangguh dalam bidang perdata diperlukan pengalaman dan keahlian diantaranya adalah dalam membuat gugatan atau menganalisa suatu gugatan yang kemudian akan dituangkan dalam membuat suatu Gugatan atau Jawaban. Kadangkala walaupun pokok perkaranya benar namun bila cara membuat gugatannya tidak tepat atau keliru, maka hal itu akan membuat gugatan menjadi kandas ditengah jalan. Demikian pula dalam kasus tertentu bila tidak dapat memberikan analisa hukum yang tepat atau keliru sehingga dalam membuat Gugatan atau Jawabannya tidak sempurna atau keliru maka hal ini tentunya merugikan kepentingan klien. Untuk itu diperlukan pemantapan keahlian yang harus dimiliki sebelum terjun di bidang litigasi di Pengadilan.
Untuk menanggulangi hal tersebut maka diperlukan pendalaman pemahaman terhadap masalah-masalah dasar yang akan sering dijumpai dalam melakukan praktek beracara perdata di Pengadilan .
Pemahaman mengenai bagaimana bila akan beracara (perdata) di Pengadilan baik itu dalam kaitan gugat menggugat biasa atau dalam Pengadilan Niaga adalah sangat penting sekali. Pemahaman yang benar akan dapat memberikan jalan keluar atau âproblem solvingâ atas masalah yang diserahkan oleh klien untuk dicarikan jalan keluarnya tersebut. Kadangkala Pengacara Litigasi dapat berperan sebagai Kuasa Tergugat yang harus mampu mengaplikasikan pengetahuan hukum perdatanya baik dari aspek acaranya (formil) maupun dari aspek hukum perdata materiilnya. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan karena kesempurnaan dalam membuat suatu Jawaban dapat menggagalkan suatu guatan dari lawannya. Karenanya tidak ada salahnya kita untuk mempelajari kembali masalah-masalah ini sebagai suatu ârefreshingâ semasa kuliah dulu sekaligus untuk dapat dijadikan sebagai salah satu pegangan dalam menerapkan ilmunya dalam praktek khususnya dalam Praktek Hukum Perdata.
Surat Kuasa (khusus)
Pendahuluan
Dalam setiap beracara di Pengadilan maupun di lembaga-lembaga lain yang sifatnya mewakili, maka setiap pihak yang mewakili salah satu pihak harus dapat menunjukkan keabsahannya dalam mewakili tersebut. Keabsahan tersebut diwujudkan dalam suatu surat pelimpahan yang dikenal dengan sebutan Surat Kuasa.
Surat Kuasa dilihat dari bentuknya dikenal dua macam yaitu Kuasa yang diberikan secara lisan dan Surat Kuasa yang diberikan secara tertulis.
Kuasa secara lisan diatur dalam HIR dimana seseorang dapat secara lisan memberikan kuasanya kepada pihak lain dihadapan Hakim yang dilakukan di depan persidangan. Walaupun kuasa dapat diberikan secara lisan namun dalam praktek hal tersebut jarang dilakukan , tentu saja hal tersebut akan menyulitkan terutama terhadap pihak yang menerima kuasa, karena tidak ada bukti autentik.
Disamping itu juga tidak ada jaminan kepastian hukum baik bagi pemberi kuasa maupun bagi penerima kuasa, dan karena tidak ada batasan kewenangan mengenai apa yang dikuasakan maka hal itu merupakan bibit konflik persengketaan dikemudian hari bagi pihak yang merasa dirugikan.
Karena hal-hal tersebut diatas maka guna menghindari adanya perselisihan mengenai batasan apa yang dikuasakan orang pada umumnya lebih menyukai surat kuasa diberikan dalam bentuk tertulis. Surat Kuasa secara tertulis ini sifat pelimpahannya dapat dilakukan secara umum dan dapat dibuat dalam pelimpahan yang sifatnya khusus. Adapun pembuatan Surat Kuasa ini dapat dilakukan secara dibawah tangan atau dilakukan didepan Notaris. Dalam hal-hal tertentu adakalanya seorang kuasa/ penerima kuasa lebih menyukai pemebrian kuasa ini dilakukan di depan Notaris atau menjadi suaatu akte yang autentik. Dengan dibuatnya kuasa di depan Notaris tersebut selain mempunayi kekuatan bukti yang sempurna juga pihak [pemberi kauas tidak mudah untuk mencabut kuasa tersebut, terutama bila pihak penerima kuasa merasa keberatan serta tidak menyetujui pencabutan tersebut. Bila surat kuasa diberikan dibawah tangan maka pencabutannya dapat mudah dilakukan, salah satu caranya adalah dengan mengirim pencabutan surat kuasanya tersebut kepada Majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut dimana tembusannya diberikan kepada penerima kuasa. Namun bila pemberian surat kuasa dilakukan di depan Notaris maka pencabutannya tidak dapat dilakukan dengan pencabutan hanya kepda Notaris dan tembusanya kepada penerima kuasa saja. Bila penerima kuasa tidak setuju maka pencabutannya harus dilakukan dengan suatau gugatan di Pengadilan. Dalam praktek hal ino jarang terjadi karena si pemberi kuasa tersebut dalam waktu bersamaan akan mengahdapi satu masalah lagi disamping masalah yang diserahkan kepada penerima kuasanya tersebut.
Maka diharapkan dengan bentuk tertulis jelas dan tegas hal-hal apa saja yang diberikan dalam suatu surat kuasa.
Dengan demikian semakin menjadi jelas batasan hak yang dikuasakan baik bagi pemberi kuasa maupun bagi penerima kuasa sendiri. Pemberi kuasa tak dapat menuntut terhadap hal-hal yang tidak dikuasakan, sedangkan penerima kuasa juga tak dapat melakukan kuasa melebihi kuasa yang diberikan.
Bila hal ini terjadi maka pihak yang dirugikan dapat menuntut kepada penerima kuasa secara pribadi kepada penerima kuasa, sedangkan tindakan yang dilakukan penerima kuasa yang tidak dikuasakan tersebut menjadi batal demi hukum.
Surat kuasa secara tertulis dibagi atas dua macam , pertama surat kuasa umum dan surat kuasa khusus.
Dalam kaitan ini yang akan diuraikan adalah mengenai surat kuasa yang dipakai dalan praktek baik di Pengadilan-Pengadilan, Kepolisian maupun Kejaksaan. Surat Kuasa (khusus) perlu dicermati dengan baik karena kesalahan atau kekeliruan dalam pembuatan surat kuasa tersebut akan membuat batal demi hukum apa yang telah dikuasakan tersebut.
Kekeliruan dalam pembuatan surat kuasa( khusus) yang tidak memenuhi syarat formil maupun syarat materiil akan membuat gugatan yang diajukan menjadi batal atau dinyatakan tak dapat diterima oleh Pengadilan.
Bahkan ada dalam perkara kepailitan dimana Penasehat Hukumnya begitu yakin akan keabsahan Surat kuasanya sehingga dalam permohonan pailit yang diajukannya baik di tingkat Pengadilan Niaga maupun kasasi di Mahkamah Agung ternyata hanya melulu membahas dan lebih menekankan pada keabsahan suarat kuasa (khusus) yang dibuat tersebut, walaupun pada akhirnya dua permohonan pailitnya akhirnya kandas ditengah jalan dimana Mahkamah Agung menyatakan permohonan pailit yang diajukan tak dapat diterima karena tidak dipenuhinya persyaratan keabsahan yang telah ditentukan dalam peraturan perundangan yang berlaku.( Putusan No. 09K/N/1999 tertanggal 11 Mei 1999 dan Putusan No. 10K/N/1999 tertanggal 11 Mei 1999).
Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusannya tertanggal 16 Desember 1986 No. 2339/K/Pdt/1985 telah membatalkan putusan judeks fakti yaitu putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 6 November 1984 No. 398/Pdt/1984 yang isinya memperkuat putusan Pengadilan Negri Jakarta Pusat tanggal 31 Januari 19784 No. 516.1983/G yang menyatakan gugatan Penggugat tak dapat diterima.
Adapun pertimbangan Mahkamah Agung dalam putusan tersebut antara lain menilai judeks fakti telah salah menerapkan hukum.
Dan bahwa pasal 123 HIR tidak diwajibkan adanya penyebutan dengan tegas nama Pengadilan Negri hukum mana gugatan harus diajukan.
Walaupun dalam pasal 123 HIR tidak diatur secara spesifik mengenai perincian hal-hal apa yang harus dimuat dalam suatu suirat kuasa (khusus)namun dalam pembuatan Surat kuasa (khusus) sekurang-kurangnya harus memuat:
1. Nama para pihak, subjek (identitas);
2. Pokok Sengketa atau obyek sengketa
3. Nama Pengadilan
4. Apa berlaku juga untuk banding/kasasi
Ad.1 Nama Para Pihak
Untuk menentukan para pihak dalam pembuatan surat kuasa juga sangat penting sekali, karena kekeliruan dalam menentukan siapa yang berhak memberi kuasa dalam suatu surat kuasa juga dapat membuat gugatan menjadi kandas ditengah jalan. Kekekeliruan dalam menentukan siapa yang berhak bertindak memberi kuasa terutama bila pemberi kuasa itu suatu badan hukum akan menimbulkan masalah dalam gugatan.
Seperti putusan Mahkamah Agung terhadap gugatan tanah adat terhadap Gubenur Kepala daerah Irian Barat (sekarang papua) ternyata dal;am tingkat Peninjauan Kembali putusan kasasi yang memenangkan penggugat seorang warga negara tersebut dibatalkan karena ada kesalahan dalam menentukan subjek siapa yang harus digugat. Padahal proses gugatan itu telah berlangsung lebih dari lima tahun, maka hal ini sungguh ironis sekali.
Mengenai tidak dipenuhi keabsahan surat kuasa khusus dapat membuat kandas suatu gugatan. Pihak yang bertanggung jawab dalam membuat surat kuasa khusus tentunya adalah pengacaranya, kekeliruan dalam membuat surat kuasa yang tidak sesuai dengan keketntuan dalam pasal 123 ayat(1) HIR juga dapat mengakibatkan tidak diterimanya suatu gugatan.
Agar tidak terjadi kekeliruan dalam hal siapa yang berwenang memberikan kuasa maka dalam hal ini perlu diperhatian hal-hal sebagai berikut :
a. Apakah pemberi kuasa merupakan orang perorangan ?
Apabila yang memberikan orang perorangan (persoonlijke) maka hal-hal yang seyogyanya diperhatikan adalah si pemberi kuasa termasuk dalam pengertian cakap hukum diantaranya dia adalah pemilik barang yang disengketakan, tidak hilang ingatan, tidak berada dalam pengampuan/curatele. Bila pada waktu proses gugatan berjalan pemberi kuasa meninggal dunia dan ternyata tidak ada persetujuan dari semua ahli waris untuk melajutkan gugatan maka gugatan dapat gugur.
b. Apakah pemberi kuasa merupakan kumpulan orang-orang yang tidak berbadan hukum atau yang berbadan hukum ?
Seperti kita ketahui bersama bahwa pemberi kuasa dapat merupakan suatu kumpulan orang âorang namun tidak berbadan hukum seperti Persekutuan Perdata (matschaap), Firma dan Naamloze Vennoschap/CV. Bentuk persekutuan perdata banyak kita jumpai pada praktek dokter bersama, law firm (kantor hukum) .
Pada bentuk persekutuan perdata maupun firma maka yang berhak memberi kuasa adalah mereka para sekutu yang tercantum dalam akta pendirian persekutuan tersebut. Sedangkan pada CV maka pemberi kuasa adalah sekutu komanditer.
Apabila pemberi kuasa berbentuk suatu badan hukum maka harus dibedakan antara badan hukum yang berlatar belakang ketentuan sebagian hukum publik dan sebagian hukum privat dalam hal ini hukum perdata, juga ada badan hukum yang murni tunduk dan diatur dalam ketentuan hukum perdata.
Mengenai badan hukum publik yang juga terikat dengan ketentuan hukum perdata diantaranya adalah Perusahaan Jawatan, Perusahaan Umum dan Perusahaan Perseroan maka pihak yang dapat memberi kuasa masing-masing adalah Kepala Jawatan untuk
Perusahaan Jawatan, Direksi Perum untuk Perusahaan Umum dan Direksi Perseroan untuk Perusahaan Perseroan.
Sedangkan untuk badan hukum lain yang murni tunduk pada hukum perdata adalah Perseroan Terbatas, Yayasan, Koperasi dan Dana Pensiun. Untuk Persroan Terbatas dibedakan anatara PT Tertutup dan PT Terbuka. Sedang pada PT Terbuka yaitu PT yang telah melakukan go public masih tregantung pada para pemegang sahamnya sehingga dapat berupa Penanaman Modal Asing, Penanaman Modal Dalam Negeri atau yang bergerak dibidang Perbankan.
Karenanya dalam mencermati siapa yang berhak dalam memberikan kuasa tergantung dari anggaran dasar PT tersebut yang tidak hanya mengacu pada Undang-Undang Perseroan Terbatas saja tapi juga memperhatian ketentuan yang diatur dalan peraturan perundangan pasar modal, Perbankan.
Seperti misalnya dalam perbankan maka bila bank tersebut masih sehat maka pihak yang dapat memberikan kuasa adalah direksi yang ditunjuk dalam anggaran dasarnya. Namun bila bank tersebut telah diambil alih oleh Pemerintah karena dianggap tidak sehat lagi maka sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.17 tahun 1998 Direksi tidak dapat memberi kuasa kepada pihak lain sebelum ada persetujuan dari pihak BPPN.
Hal ini pernah terjadi dalam perkara permohonan kepailitan dimana pihak kuasa hukum tidak memperhatikan ketentuan-ketentuan baru yang telah berkembang serhingga dalam permohonan pailit yang dilakukan tidak memperoleh sasaran artinya permohonan pailitnya kandas ditengah jalan karena syarat formil dalam suatu suarat kuasa khusus yaitu siapa yang berwenang dalam memberikan kuasa tidak diperhatikan. .( Putusan No. 09K/N/1999 tertanggal 11 Mei 1999 dan Putusan No. 10K/N/1999 tertanggal 11 Mei 1999).
Sedangkan Penerima Kuasa disini adalah mereka yang telah menjadi Sarjana Hukum dan telah mempunyai ijin beracara baik yang dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi setempat yang dikenal dengan Pengacara atau yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman yang dikenal sebagai Penasehat hukum atau Advokat. Untuk Pengacara yang perijinannya dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi setemapat setelah memenuhi persyaratan tertentu maka Pengacara yang dapat ijin tersebut hanya dapat beracara di Pengadilan Tinggi setempat. Bila beracara diwilayah Pengadilan Tinggi lain kadang-kadang dapat juga tapi dengan ijin insidentiil dari Pengadilan Tinggi tersebut. Namun dalam praktek kebijaksanaan tersebut tidak merata, karena ada Pengadilan Tinggi yang dapat memberikan ijin insidentiil tapi ada yang tidak dapat.
Namun ijin praktek Pengacara sesuai dengan surat edaran Mahkamah Agung hanya dapat beracara di wilayah Pengadilan Tinggi setempat saja.
Untuk Penasehat Hukum dimana perijinannya diberikan oleh Menteri Kehakiman(dulu) dengan melalui persetujuan dari Mahkamah Agung lebih dulu dengan memenuhi persyaratan yang dikeluarkan Pengadilan Tinggi setempat maka barulah ijin diberikan.
Ijin ini berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Namun bila praktek di Pengadilan Tinggi diluar wilayah Pengadilan Tinggi yang menjadi domisili Penasehat hukum tersebut maka sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Penasehat hukum tersebut hanya cukup memberitahukan rencana beracaranya saja diwilayah Pengadilan Tinggi yang dituju tersebut dengan beberapa tembusannya.
Dalam praktek Penerima Kuasa dapat lebih dari satu orang, karenanya dalam Surat Kuasa tersebut para Penerima Kuasa yang namanya tercantum harus menandatangani surat kuasa tersebut.
Konsekwensinya adalah dalam membuat gugatan bila sebagai Penggugat atau membuat Jawaban sebagai Terrgugat maka para Penerima Kuasa seluruhnya harus menandatangani surat-surat tersebut .
Kadang-kadang sering dalam praktek salah satu penerima kuasa sedang menghadiri persidangan di luar kota tentunya penandatangan surat tersebut tidak dapat ditunda karena jadwal persidangan telah ditentukan.
Maka untuk menghindari hal tersebut dalam surat kuasa pada kolom penerima kuasa harus dimasukkan klausul, baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri sebagai penerima kuasa. Dengan dimasukannya klausul tersebut maka bila ada salah satu atau lebih penerima kuasa tidak dapat menandatangani baik itu gugatan atau Jawaban karena sedang berada di luar kota, maka penandatangan surat tersebut cukup oleh salah satu penerima kuasa saja.
Ad.b. Obyek gugatan
Kemudian obyek dari gugatan juga harus ditentukan dan dituliskan dalam kolom khusus tersebut misalnya apakah gugatan itu berkaitan dengan wan prestasi atau cidera janji ataukah berkaitan dengan perbuatan melawan hukum.
Dalam praktek mengenai banyaknya kasus sungguh bervariasi misalnya ada perkara yang berkaitan dengan penyerobotan, sewa menyewa, sengketa hak milik, kredit macet dan sebagainya.
Secara umum dapat dikatakan dalam persengketaan yang dianggap merugikan hak perdata salah satu pihak terdiri dari dua hal sebagaimana diatas yaitu cidera janji/wan prestasi dan perbuatan melawan hukum. Suatu perkara dianggap merupakan suatu sengketa wan prestasi bila ada salah satu pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Hubungan hukum antara para pihak biasanya dibuat secara tertulis lebih dulu. Sehingga bila ada hal-hal yang dilanggar sebagaimana yang telah tertuang dalam perjajian itu maka terhadap sengketa ini termasuk sebagai sengketa wan prestasi/cidera janji. Sedangkan bila anatara para pihak tidak ada hubungan hukum seperti suatu perjanjian dinatara mereka, namun kemudian ada pelanggaran yang dilakukan salah satu pihak dan kemudian dianggap merugikan hak perdata pihak lain dimana pelanggaran itu dianggap tindakan yang melanggar peraturan hukum yang berlaku maka terhadap sengketa ini termasuk sebagai sengketa perbuatan melawan hukum.
Ad.c. Nama Pengadilan
Pada kolom khusus ini maka pengisian hak-hak apa saja yang dimasukkan harus benar benar diperhatikan, apakah dalam hal ini sebagai Penggugat atau sebagai Tergugat juga harus ditegaskan. Demikian pula juga harus diperhatikan bila sebagai Penggugat maka untuk menentukan di pengadilan mana gugatan ini akan diajukan ini juga penting. Karena salah menentukan pengadilan akan timbul bermacam-macam eksepsi baik yang merupakan eksepsi yang absolut atau eksepsi yang relatif atau mungkin berkaitan dengan eksepsi-eksepsi yang berkaitan dengan pokok perkara. Untuk menentukan di pengadilan mana gugatan ini diajukan biasanya mengacu pada dua hal yaitu ketentuan pada pasal 118 HIR bila para pihak tidak mencantumkan secara khusus dalam suatu perjanjian yang telah disepakati. Namun bila para pihak yang bersengketa telah menyepakati dalam perjanjian diantara mereka adanya ketentuan yang mengatur mengenai tempat penyelesaian misalnya di Pengadilan Negri Jakarta Pusat maka walau para pihak tidak berada diwilayah di Pengadilan Negri Jakarta Pusat maka gugatan tetap diiajukan di Pengadilan Negri Jakarta Pusat. Akan tetapi bila diantara para pihak yang bersengketa tidak ada perjanjian tertulis tentang penyelesaian bila terja di sengketa maka gugatannya diajukan dengan mengacu pada pasal 118 HIR.
Kemudian pada tahap berikutnya adalah menentukan siapa saja para pihak yang akan digugat. Untuk menentukan para Tergugat juga kadang berkaitan dengan penentuan di Pengadilan mana gugatan itu diajukan terutama bila ada Tergugat yang paling dianggap menimbulkan kerugian bagi Penggugat berada bersama sama dengan para Tergugat lainnya. Maka para Tergugat lainnya yang secara tidak langsung dianggap turut terlibat maka harus juga dimasukan sebagai Turut Tergugat. Hal ini untuk menghindari adanya eksepsi yang mungkin diajukan oleh lawan tentang eksepsi kurangnya para pihak sebagaimana yang telah diputus dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia.mengenai persona standi dari pihak-pihak yang digugat juga memerlukan kecermatan dan kalau perlu membuat sedikit investigasi untuk menentukan status dan alamatnya secara tepat. Dalam menentukan status pihak Tergugat juga harus dipahami sebelumnya mengenai apakah Tergugat dituntut sebagai pribadi atau sebagai (Direksi) suatu badan hukum tertentu, atau mungkin dituntut dalam 2 kapasitas sebagaimana diatas. Dalam menentukan alamat maka kita harus yakin bila si Tergugat memang bertempat tinggal atau berdomisili di tempat tersebut. Bila si Tergugat mempunyai beberapa alamat maka alamat yang terakhir sebagai tempat domisili terakhir. Namun kadang-kadang seluruh alamat Tergugat dalam hal tertentu ditulis semua agar gugatan dapat diajukan pada Pengadilan Negri dimana akan banyak asset dari para Tergugat yang harus disita dalam pengajuan gugatan tersebut.
Ad.d Hak Banding dan Kasasi
Dalam mencantumkan klausul hak banding dan kasasi ini memang tidak ada yang seragam diantara kantor hukum atau law firm. Ada kantor yang secara standar dalam surat kuasanya selalu mencantumkan adanya hak untuk menyatakan banding atau hak untuk menyatakan kasasi ini. Tapi ada pula kantor hukum lain tidak mencantumkan hak banding untuk pada saat berperkara di tingkat Pengadilan Negri. Dalam praktek setelah perkara diputus maka pihak-pihak yang merasa tidak puas dengan isi putusan itu sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan undang-undang akan mengajukan hak bandingnya untuk putusan pengadilan negri dan hak mengajukan kasasi untuk putusan Pengadilan Tinggi. Hak banding ini dimasukan tersendiri dalam suatu surat kuasa yang baru. Sebenarnya bisa saja memakai surat kuasa yang lama sepanjang dalam surat kuasa tersebut dicantumkan hak banding atau hak kasasi. Namun kadang-kadang ada hambatan dimana pada saat telah diputus di tingkat Pengadilan Negri ternyta panitera pengganti belum melaporkan adanya putusan ini pada bagain banding dan kasasi. Kadang-kadang berkas perkara tertinggal atau masih ditangan panitera pengganti dengan alasan sedang mengetik putusan. Sedangkan dalam pengajuan banding atau kasasi tersebut harus ditunjukan suarat kuasa aslinya bukan salinannya. Oleh karena itu untuk menghindari kesuulitan tehnis administrasi tersebut biasanya para Pengacara lebih memilih membuat suarat kuasa khusus baru, sekaligus sebagai bukti bahwa kliennya tetap masih mempercayainya untuk membantu perkaranya di tingkat tersebut.
Sebenarnya masih ada hak-hak penerima kuasa yang harus dicantumkan dalam setiap surat kuasa. Seperti hak untuk mengajukan dan menerima Jawaban, Replik, Duplik, saksi-saksi dann bukti-bukti, kesimpulan dan termasuk mendengarkan putusan. Kadangkala terjadi suatu debat seru antara kuasa hukum dengan majelis hakim mengenai hak-hak tertentu yang tidak dicantumkan terutama bila si kuasa hukum ini adalah kuasa subtitusi. Maka apabila ada hak âhak tertentu tidak dicantumkan seperti hak menerima Jawaban, Duplik dsb maka Hakim akan menolak permintaan kuasa hukum menerima Jawaban atau Duplik bila tidak dicantumkan hak-hak tersebut. Sering terjadi ternyata dalam kuasa subtitusi hanya dicantumkan hak untuk menerima Jawaban saja sehingga pada sidang berikutnya kuasa hukum tersebut ditolak hadir dalam persidangan karena tidak ada hak untuk tahap Replik atau Duplik, apalagi bila perkara tersebut menyangkut masalah gugatan perceraian .
Demikian pula dengan hak untuk membuat dan menandatangani dading/perdamaian serta mencabut perkara dari rol sebaiknya hak ini dicantumkan. Karena pernah terjadi perdamaian yang telah ditandatangani kuasa hukum diingkari oleh klienya dengan alasan dia tidak memberikan hak tersebut. Hal ini kadang-kadang bisa membuat si kuasa hukum digugat kliennya di Pengadilan dan biasanya sekaligus ingin membatalkan apa yang telah disepakati dalam akta dading sebelumnya.Hak untuk mencabut perkara dari rol ini bila tidak dicantumkan akan membuat si kuasa hukum tidak dapat mencabut perkara begitu saja bila telah terjadi suatu perdamaian dengan pihak lawan. Perkara tersebut baru dapat dicabut bila ada kuasa baru yang mencantumkan hak tersebut. Sedangkan hak rekopensi sangat penting untuk dicantumkan terutama bila kita sebagai Tergugat dan mempunyai kesempatan untuk mengajukan gugatan balik atau yang dikenal dengan gugatan rekopensi. Kalau si kuasa hukum sebagai kuasa Tergugat tidak mencantumkan hak tersebut kemudian dalam Jawabannya dia membuat dan mengajukan pula gugatan rekopensi, maka gugatan rekopensi ini tidak mempunyai dasar hukum karena si kuasa hukum tidak mempunyai hak untuk mengajukan hal itu. Dengan perkataan lain gugatan rekopensinya menjadi batal demi hukum. Hak penting yang lain yang harus dicantumkan adalah hak subtitusi baik sebagian atau seluruhnya. Dalam praktek kadang-kadang dalam perkara tertentu misanya menyangkut peraturan pertanahan maka ada hal-hal tertentu yang tidak dapat dikuasai secara sempurna kemudian ditengah perjalananan persidangan ada orang yang dianggap menguasai hal itu maka dengan adanya hak subtitusi ini akan memberikan kemudian bagi si kuasa hukum untuk melimpahkan kuasanya baik sebagian atau seluruhnya kepada pihak lain yang dipercayai tersebut. Atau bisa juga dalam jadwal persidangan tersebut ada beberapa perkara yang ditangani secara bersamaan sehingga mau tidak mau harus dikuasakan kepada pihak lain yang namanya tidak tercantum dalam surat kuasa semula.
Setelah surat kuasa tersebut dibuat dan isinya telah dianggap cukup oleh baik Pemberi Kuasa maupun Penerima Kuasa maka sebagai perwujudan terjadinya pendelegasian wewenang tersebut diwujudkan dalam penandatanganan surat kuasa khusus tersebut oleh kedua pihak. Dan penandatanganannya dilakukan diatas meterai yang berlaku sesuai dengaan ketentuan pemeteraian.
Memang antara satu Kantor Hukum/Law Firm dengan kantor lainnya tidak ada semacam standarisasi mengenai hal-hal apa saja yang harus dimasukkan dalam surat kuasa. Demikian pula Mahkamah Agung-Republik Indonesia dalam beberapa putusannya mengenai surat kuasa tidak pernah memberikan suatu standarisasi surat kuasa. Namun dari hasil Raker Mahkamah Agung-Republik Indonesia paling tidak dalam surat kuasa dimasukan 4 hal sebagaimana diatas.
Contoh-contoh Surat Kuasa Khusus :
SURAT KUASA
Yang bertanda tangan di bawah ini :
N a m a :
Pekerjaan :
Alamat : ;untuk selanjutnya
sebagai Pemberi Kuasa.
Dalam hal ini memilih domisili hukum di Kantor Kuasanya tersebut di bawah ini, menerangkan dengan ini memberikan kuasa kepada :
Advokat, pengacara dan Penasehat hukum pada Kantor Pengacara ......., beralamat di ...... yang bertindak baik bersama-sama atau sendiri-sendiri; untuk selanjutnya sebagai Penerima Kuasa.
KHUSUS:
Untuk dan atas nama pemberi kuasa sebagai .(Penggugat)..... lawan ...(nama)..... yang beralamat sebagai Tergugat di .......mengenai(perkara apa) ......., di Pengadilan Negeri ...... .
Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang berkaitan dengan perkara tersebut, mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading, mengajukan dan menerima Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti, mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol, menjalankan perbuatan-perbuatan, atau memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum harus dijalankan atau diberikan oleh seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani kuitansi-kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara ini, mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.
Surat kuasa dan kekuasaan ini dapat dialihkan kepada orang lain dengan hak substitusi serta secara tegas dengan hak retensi dan seterusnya menurut hukum seperti yang dimaksudkan dalam pasal 1812 KUHPerdata dan menurut syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam undang-undang.
Jakarta,
Pemberi Kuasa
(.......................) Penerima kuasa
(. . . . . . . . . . . . .)
SURAT KUASA (Tergugat)
Yang bertanda tangan di bawah ini :
N a m a :
Pekerjaan :
Alamat : ; selanjutnya sebagai
Pemberi Kuasa.
Dalam hal ini memilih domisili hukum di Kantor Kuasanya tersebut di bawah ini, menerangkan dengan ini memberikan kuasa kepada :
Advokat, pengacara dan Penasehat hukum pada Kantor Pengacara ......., beralamat di ...... yang baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri untuk selanjutnya sebagai Penerima Kuasa.
KHUSUS :
Untuk dan atas nama pemberi kuasa selaku Tergugat. . ..di Pengadilan Negri. . . . . . yang terdaftar dalam rol perkara No.. âŚ/Pdt.G/âŚâŚâŚâŚ.mengenaiâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚlawanâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚsebagai Penggugat.
Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang berkaitan dengan perkara tersebut, mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading, mengajukan dan menerima Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti, mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol, menjalankan perbuatan-perbuatan, atau memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum harus dijalankan atau diberikan oleh seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani kuitansi-kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara ini, mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.
Surat kuasa dan kekuasaan ini dapat dialihkan kepada orang lain dengan hak substitusi, hak rekopensi serta secara tegas dengan hak retensi dan seterusnya menurut hukum seperti yang dimaksudkan dalam pasal 1812 KUHPerdata dan menurut syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam undang-undang.
Jakarta,
Pemberi Kuasa
(.......................) Penerima kuasa
(. . . . . . . . . . . . .)
( . . . . . . . . .. . . . .)
SURAT KUASA (gugatan perceraian)
Yang bertanda tangan di bawah ini :
N a m a :
Pekerjaan :
Alamat : ; selanjutnya sebagai
Pemberi Kuasa.
Dalam hal ini memilih domisili hukum di Kantor Kuasanya tersebut di bawah ini, menerangkan dengan ini memberikan kuasa kepada :
Advokat, pengacara dan Penasehat hukum pada Kantor Pengacara ......., beralamat di ...... yang baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri untuk selanjutnya sebagai Penerima Kuasa.
KHUSUS
Untuk dan atas nama pemberi kuasa selaku Penggugat, mengajukan dan menanda-tangani gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta .......... mengenai ...perceraian....
terhadap (nama)......, (pekerjaan) ............., bertempat tinggal di Jalan ............sebagai Tergugat.
Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang berkaitan dengan perkara tersebut, mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading, mengajukan dan menerima Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti, mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol, menjalankan perbuatan-perbuatan, atau memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum harus dijalankan atau diberikan oleh seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani kuitansi-kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara ini, mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.
Surat kuasa dan kekuasaan ini dapat dialihkan kepada orang lain dengan hak substitusi, serta secara tegas dengan hak retensi dan seterusnya menurut hukum seperti yang dimaksudkan dalam pasal 1812 KUHPerdata dan menurut syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam undang-undang.
Jakarta,
Pemberi Kuasa
(.......................) Penerima kuasa
(. . . . . . . . . . . . .)
SURAT KUASA (Tergugat perceraian)
Yang bertanda tangan di bawah ini,
N a m a :
Pekerjaan :
Alamat : ; selanjutnya sebagai
Pemberi Kuasa.
Dalam hal ini memilih domisili hukum di Kantor Kuasanya tersebut di bawah ini, menerangkan dengan ini memberikan kuasa kepada :
Advokat, pengacara dan Penasehat hukum pada Kantor Pengacara ......., beralamat di ...... yang baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri untuk selanjutnya sebagai Penerima Kuasa.
KHUSUS
Untuk dan atas nama pemberi kuasa selaku Tergugat. . ..di Pengadilan Negri. . . . . . yang terdaftar dalam rol perkara No..âŚ/Pdt.G/âŚâŚâŚâŚ. mengenaiâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚ lawanâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚsebagai Penggugat.
Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang berkaitan dengan perkara tersebut, mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading, mengajukan dan menerima Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti, mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol, menjalankan perbuatan-perbuatan, atau memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum harus dijalankan atau diberikan oleh seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani kuitansi-kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara ini, mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.
Surat kuasa dan kekuasaan ini dapat dialihkan kepada orang lain dengan hak substitusi,hak rekopensi serta secara tegas dengan hak retensi dan seterusnya menurut hukum seperti yang dimaksudkan dalam pasal 1812 KUHPerdata dan menurut syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam undang-undang.
Jakarta,
Pemberi Kuasa
(.......................) Penerima kuasa
(. . . . . . . . . . . . .)
( . . . . . . . . .. . . . .)
SURAT KUASA SUBSTITUSI
Yang bertanda tangan di bawah ini :
N a m a :
Pekerjaan :
Alamat : ; berdasar Surat
Kuasa Khusus tertanggalâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚ(terlampir); selanjutnya sebagai Pemberi Kuasa.
Dengan ini memberikan Kuasa Substitusi kepada :
N a m a :
Pekerjaan :
Alamat : ; yang baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri untuk selanjutnya sebagai Penerima Kuasa.
KHUSUS
Untuk dan atas nama pemberi kuasa selaku Tergugat/Penggugat. . ..di Pengadilan Negri. . . . . . yang terdaftar dalam rol perkara No.. âŚ/Pdt.G/âŚâŚâŚâŚ.mengenaiâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚlawanâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚsebagai Penggugat/Tergugat.
Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang berkaitan dengan perkara tersebut, mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading, mengajukan dan menerima Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti, mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol, menjalankan perbuatan-perbuatan, atau memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum harus dijalankan atau diberikan oleh seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani kuitansi-kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara ini, mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.
Surat kuasa dan kekuasaan ini dapat dialihkan kepada orang lain dengan hak substitusi,hak rekopensi serta secara tegas dengan hak retensi dan seterusnya menurut hukum seperti yang dimaksudkan dalam pasal 1812 KUHPerdata dan menurut syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam undang-undang.
Jakarta,
Pemberi Kuasa
(.......................) Penerima kuasa
(. . . . . . . . . . . . .)
( . . . . . . . . .. . . . .)
SURAT KUASA (Banding)
Yang bertanda tangan di bawah ini :
N a m a :
Pekerjaan :
Alamat : ; selanjutnya sebagai Pemberi Kuasa.
Dalam hal ini memilih domisili hukum di Kantor Kuasanya tersebut di bawah ini, menerangkan dengan ini memberikan kuasa kepada :
Advokat, pengacara dan Penasehat hukum pada Kantor Pengacara ......., beralamat di ...... yang baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri untuk selanjutnya sebagai Penerima Kuasa.
KHUSUS :
Untuk dan atas nama Pemberi Kuasa selaku Pembanding, mewakili, mengajukan dan menanda-tangani banding di Pengadilan TinggiâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚatas Putusan Pengadilan Negri NoâŚâŚâŚ/Pdt.G/2000/âŚâŚâŚâŚtertanggalâŚâŚâŚâŚlawanâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚ.selaku Terbanding.
Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang berkaitan dengan perkara tersebut, mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading, mengajukan dan menerima Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti, mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol, menjalankan perbuatan-perbuatan, atau memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum harus dijalankan atau diberikan oleh seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani kuitansi-kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara ini, mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.
Surat kuasa dan kekuasaan ini dapat dialihkan kepada orang lain dengan hak substitusi,hak rekopensi serta secara tegas dengan hak retensi dan seterusnya menurut hukum seperti yang dimaksudkan dalam pasal 1812 KUHPerdata dan menurut syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam undang-undang.
Jakarta,
Pemberi Kuasa
(.......................) Penerima kuasa
(. . . . . . . . . . . . .)
( . . . . . . . . .. . . . .)
SURAT KUASA (Terbanding)
Yang bertanda tangan di bawah ini :
N a m a :
Pekerjaan :
Alamat : ; selanjutnya sebagai Pemberi Kuasa.
Dalam hal ini memilih domisili hukum di Kantor Kuasanya tersebut di bawah ini, menerangkan dengan ini memberikan kuasa kepada :
Advokat, pengacara dan Penasehat hukum pada Kantor Pengacara ......., beralamat di ...... yang baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri untuk selanjutnya sebagai Penerima Kuasa.
KHUSUS :
Untuk dan atas nama Pemberi Kuasa selaku Terbanding, mewakili, mengajukan dan menanda-tangani memori banding di Pengadilan TinggiâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚatas Putusan Pengadilan Negri NoâŚâŚâŚ/Pdt.G/2000/âŚâŚâŚâŚtertanggalâŚâŚâŚâŚlawanâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚselaku Pembanding.
Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang berkaitan dengan perkara tersebut, mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading, mengajukan dan menerima Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti, mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol, menjalankan perbuatan-perbuatan, atau memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum harus dijalankan atau diberikan oleh seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani kuitansi-kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara ini, mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.
Surat kuasa dan kekuasaan ini dapat dialihkan kepada orang lain dengan hak substitusi,hak rekopensi serta secara tegas dengan hak retensi dan seterusnya menurut hukum seperti yang dimaksudkan dalam pasal 1812 KUHPerdata dan menurut syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam undang-undang.
Jakarta,
Pemberi Kuasa
(.......................) Penerima kuasa
(. . . . . . . . . . . . .)
( . . . . . . . . .. . . . .)
SURAT KUASA (Kasasi)
Yang bertanda tangan di bawah ini :
N a m a :
Pekerjaan :
Alamat : ; selanjutnya sebagai Pemberi Kuasa.
Dalam hal ini memilih domisili hukum di Kantor Kuasanya tersebut di bawah ini, menerangkan dengan ini memberikan kuasa kepada :
Advokat, pengacara dan Penasehat hukum pada Kantor Pengacara ......., beralamat di ...... yang baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri untuk selanjutnya sebagai Penerima Kuasa.
KHUSUS :
Untuk dan atas nama Pemberi Kuasa selaku Pemohon Kasasi, mewakili, mengajukan dan menanda-tangani kasasi di Mahkamah Agung atas Putusan Pengadilan TinggiâŚâŚâŚâŚâŚâŚ NoâŚâŚâŚ/Pdt/2000/âŚâŚâŚâŚtertanggalâŚâŚâŚâŚlawanâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚselakuTermohon Kasasi.
Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang berkaitan dengan perkara tersebut, mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading, mengajukan dan menerima Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti, mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol, menjalankan perbuatan-perbuatan, atau memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum harus dijalankan atau diberikan oleh seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani kuitansi-kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara ini, mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.
Surat kuasa dan kekuasaan ini dapat dialihkan kepada orang lain dengan hak substitusi,hak rekopensi serta secara tegas dengan hak retensi dan seterusnya menurut hukum seperti yang dimaksudkan dalam pasal 1812 KUHPerdata dan menurut syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam undang-undang.
Jakarta,
Pemberi Kuasa
(.......................) Penerima kuasa
(. . . . . . . . . . . . .)
( . . . . . . . . .. . . . .)
SURAT KUASA ( Termohon Kasasi)
Yang bertanda tangan di bawah ini :
N a m a :
Pekerjaan :
Alamat : ; selanjutnya sebagai Pemberi Kuasa.
Dalam hal ini memilih domisili hukum di Kantor Kuasanya tersebut di bawah ini, menerangkan dengan ini memberikan kuasa kepada :
Advokat, pengacara dan Penasehat hukum pada Kantor Pengacara ......., beralamat di ...... yang baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri untuk selanjutnya sebagai Penerima Kuasa.
KHUSUS
Untuk dan atas nama Pemberi Kuasa selaku Termohon Kasasi, mewakili, mengajukan dan menanda-tangani memori kasasi kasasi di Mahkamah Agung atas Putusan Pengadilan TinggiâŚâŚâŚâŚâŚâŚNoâŚâŚâŚ/Pdt/2000/âŚâŚâŚâŚtertanggalâŚâŚâŚâŚlawanâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚâŚselaku Pemohon Kasasi.
Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang berkaitan dengan perkara tersebut, mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading, mengajukan dan menerima Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti, mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol, menjalankan perbuatan-perbuatan, atau memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum harus dijalankan atau diberikan oleh seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani kuitansi-kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara ini, mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.
Surat kuasa dan kekuasaan ini dapat dialihkan kepada orang lain dengan hak substitusi,hak rekopensi serta secara tegas dengan hak retensi dan seterusnya menurut hukum seperti yang dimaksudkan dalam pasal 1812 KUHPerdata dan menurut syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam undang-undang.
Jakarta,
Pemberi Kuasa
(.......................) Penerima kuasa
(. . . . . . . . . . . . .)
( . . . . . . . . .. . . . .)
Langkah-Langkah Dalam Pembuatan Gugatan
I.Pendahuluan
Seseorang atau badan hukum atau kumpulan orang-orang bila merasa dirugikan hak perdatanya oleh pihak lain dapat melakukan gugatan kepada pihak yang merugikan tersebut. Diantara para pihak mutlak harus ada perselisihan hukum. Adapun pihak yang merugikan tersebut juga dapat berupa perorangan, kumpulan orang-orang ataupun suatu badan hukum.
Apabila pihak yang dirugikan bermaksud menggugat pihak yang merugikan kemudian datang pada pengacara, maka bila kita berperan sebagai seorang pengacara atau penasehat hukumnya tentunya harus membuat langkah-langkah persiapan dalam proses membuat gugatan.
Dalam membuat gugatan tidaklah semudah yang diperkirakan oleh kebanyakan para pengacara. Kesalahan dalam membuat gugatan sehingga secara formil tidak terpenuhi akan membuat gugatan menjadi kandas ditengah perjalanan. Bahkan bisa jadi masalah pokoknya menjadi tidak terlindungi, justru malah berdebat dengan dalil-dalil yang berkaitan dengan eksepsi.
Namun yang merugikan klien apabila dalam membuat gugatan cara penyusunan dalil-dalil tidak disesuai dengan bukti-bukti yang ada dapat membuat gugatan tidak dapat dibuktikan. Atau dengan perkataan lain dapat membuat suatu gugatan menjadi ditolak.
Oleh karena itu dalam membuat gugatan kita harus hati-hati dan cermat jangan sampai kekeliruan dan ketidak-cermatan akan membuat gugatan menjadi kandas ditengah perjalanan.
II.Tahap Persiapan
Dalam membuat suatu gugatan memang diperlukan kecermatan dan kehati-hatian, karena kekeliruan-kekeliruan yang dibuat dalam membuat gugatan baik itu yang mengakibatkan syarat formil dan materiil gugatan tidak terpenuhi akan membuat gugatan kandas ditengah jalan. Demikian pula sebagimana seperti pada saat pembuatan Surat Kuasa Khusus maka dalam membuat gugatan ada hal-hal yang harus benar-benar diperhatikan diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Siapa yang akan digugat, apakah sebagai pribadi ataukah sebagai suatu badan hukum ataukah pula sebagai keduanya ?
2. Di- pengadilan mana gugatan akan diajukan, apakah gugatan ini mengenai suatu perjanjian dan apakah dalam perjkanjian telah disepakati mengenai penyelesaian terjadinya sengketa; bagaimana bila pihak yang akan digugat tidak ada hubungan hukum sebelumnya ?
3. Bukti-bukti apakah yang dimiliki oleh klien, apakah buktinya lengkap atau hanya sebagian ataukah hanya berupa foto copi saja?
4. Apakah Tergugat mempunyai asset yang akan disita sebagai jaminan gugatan agar tidak menjadi sia-sia ?
Dalam membuat suatau gugatan sebenarnya harus dikumpulkan lebih dulu data-data yang dimiliki klien. Tentunya data-data tersebut berkaitan dengan bukti-bukti yang dimiliki oleh klien. Kadang âkadang bukti-bukti yang diajukan klien kita tidak relevan dengan permasalahan yang dihadapi. Bila terjadi demikian maka kita harus pandai mengingatkannya sehingga seluruh data-data bukti diserahkan seluruhnya. Dengan data bukti yang lengakap akan memudahkan kita menentukan langkah-langkah hukum yang akan menyelesaikan masalah tersebut.Apabila data bukti yang akan mendukung gugatan klien kita sudah terkumpul maka adakalanya diperlukan suatu investigasi terhadap para pihak yang akan digugat. Apakah pihak yang akan digugat merupakan orang perorangan , kumpulan orang-orang atau suatu badan hukum. Kadang-kadang dapat digugat sebagai perorangan dan sekaligus badan hukumnya juga bila kita sulit mengklarifikasi siapa yang bertanggung jawab atas kerugian yang diderita klien kita.Kemudian juga perlu diteliti alamat tempat tinggal terakhir perorangan yang akan digugat, domisli dari badan hukum yang terakhir. Demikian pula bila yang digugat adalah bank cabang maka terhadap bank cabang tersebut dapat digugat secara berdiri sendiri dan bukannya kantor pusat bank tersebut yang digugat karena bank cabang.
Pada waktu melakukan investigasi tersebut juga perlu dicheck kembali asset asset yang masih dimiliki oleh pihak yang akan digugat tersebut. Letak batas-batas tanah yang mungkin akan diajukan sebagai jaminan atas gugatan klien kita harus jelas diketahui batas-batasnya juga data-data pendukungnya.
Kalau perlu diminta pula kronologis masalah yang menimbulkan sengketa yang merugikan klien kita kemudian dikonfirmasikan kembali kepada klien bila masih ada data-data yang tidak jelas.
Setelah data-data bukti telah lengkap sebagimana yang dimiliki klien kita dan peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi telah membentuk suatu kelengkapan dalam pembuatan suatu gugatan maka langkah pertama adalah membuat surat kuasa lebih dulu sebagaimana yang telah pernah diuraikan.
III. Menentukan siapa yang menjadi Penggugat
Untuk dapat menntukan siapa yang akan menjadi Penggugat atau yang berhak secara hukum memberikan kuasa kepada kita maka diperlukan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Bila klien kita yang dirugikan berupa perorangan maka yang perlu diteliti adalah apakah dia mempunyai hubungan hukum dengan pihak yang akan digugat atau ada hak perdatanya yang dilanggar dimana pelanggaran dilakukan secara melawan hukum.
Demikian pula bila klien kita merupakan kumpulan orang-orang baik yang berupa firma, matschaap atau namloze vennoschap (cv) maka yang dapat bertindak sebagai penggugat sekaligus pemberi kuasa adalah para sekutu yang sah sebagaimana tercantum dalam anggaran dasarnya. Bila Penggugatnya berupa badan hukum maka kita harus lebih cermat untuk menentukan siapa yang dapat mewakili dari badan hukum itu.
Tapi secara umum yang dapat memberikan kuasa atau mewakili sebagai penggugat adalah Direksi yang memang berwenang sebagaimana yang telah ditentukan dalam anggaran dasarnya. Namun dalam hal tertentu kita harus hati-hati menentukan siapa yang mewakili sebagai penggugat (yang memberi kuasa). Seperti Bank yang disamping tunduk dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas juga pada Undang-Undang Perbankan dapat pula diatur dengan peraturan-peraturan lain yang membuat siapa yang berwenang dan mewakili sebagai penggugat menjadi berubah. Untuk itu kita harus mengikuti adanya perkembangan peraturan-peraturan baru.
IV. Menentukan siapa yang menjadi Tergugat
Sebagaimana dalam pembuatan Surat kuasa Khusus maka dalam menentukan para pihak yang akan digugat juga harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Apakah ada pihak yang dianggap telah melakukan tindakan yang merugikan hak keperdataan klien kita dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum ?
2. Apakah diantara klien kita dengan para pihak yang merugikan tersebut mempunyai hubungan hukum ?
3. Bila mempunyai hubungan hukum apakah dalam perjanjian yang telah disepakati ada ketentuan yang mengatur penyelesian sengketa ?
4. Perlunya informasi yang terakhir mengenai domisili dari para pihak dan data-data sepanjang assets para pihak yang akan digugat tersebut.
Dalam hubungan dimasyarakat kadangkala mungkin terjadi ada tindakan kita yang dianggap pihak lain merugikan hak keperdataannya padahal kita tidak merasa melakukannya.
Secara hukum apabila ada perbuatan yang dilakukan yang menurut pandangan satu pihak wajar dan tidak ada masalah namun oleh pihak lain dianggap merugikan dianggap sebagai suatu tindakan kelalaian yang menurut pasal 1365 dan pasaaal 1366 KUHPerdata dapat dituntut secara hukum penggantian kerugiannya.
Kemudian pihak yang dianggap merugikan secara langsung tersebut dimasukan sebagai Tergugat utama baru ditentukan pihak-pihak lain yang secara tidak langsung dianggap turut serta merugikan tersebut. Kaitan yang harus diperhatikan adalah dal;am penyusunan gugatan terhadap perkara yang demikian penyusunan para tergugat tersebut harus memperhatikan ketentuan pasal 118 dari ayat 1 sampai ayat 4 HIR. Ketentuan ini harus diperhatikan agar tidak ada eksepsi yang berkaitan dengan kompetensi relatif.
Namun apabila diantara para pihak kemudian ternyata ada hubungan hukum sbelumnya dimana hubungan hukum itu berbentuk suatu perjanjian; kemudian dalam perjanjian tersebut para pihak telah sepakat mengenai pengadilan atau badan tertentu sebagai penyelesaian bila terjadi perselisihan hukum maka pengajuan gugatan dilakukan ditempat yang yang telah disepakati tersebut.
Sedangkan para pihak yang akan digugat adalah pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian yang telah dilanggar tersebut.
Dalam penentuan pihak-pihak yang akan digugat biasanya dipersiapkan pula sekaligus kelengkapan data-data baik itu mngenai alamat terakhir pihak yang akan digugat juga data-data mengenai harta kekayaan tergugat yang diperkirakan akan dimasukkan dalam daftar sita jaminan. Data-data harta kekayaan tersebut sebaiknya dibuat selengkap mungkin sehingga tidak terjadi kekeliruan sita. Bila terjadi kekeliruan tersebut akan membuat biaya sita menjadi membengkak karena adanya duakali atau lebih permohonan sita. Kalau perlu harus diketahui batas-batas dari tanah yang akan disita tersebut seperti batas sebelah utara dengan tanah siapa sebelah timur dengan jalan apa, sebelah selatan dengan tanah siapa dan sebelah barat dengan tanah siapa pula, dan kadang-kadang gugatan bisa menjadi batal.
Detail yang lengkap ini diperlukan agar pada waktu pendaftaran sita jaminan di BPN menjadi lebih mengikat atau merupakan sita jaminan yang sah dan berharga.
Kadangkala bila tanahnya belum bersertifikat maka tembusan penetapan sita jaminan dan berita acaranya diberikan ke pihak Kelurahan dan Kecamatan. Ini dimaksudkan bila terjadi jual beli atas tanah girik tersebut pihak terkait dalam hal ini Camat sebagai PPAT dan Lurah sebagai saksi tidak bersedia melakukan pembuatan akte jual beli tersebut.
V. Persona Standi in Judicio
Setelah menentukan siapa Penggugat dan siapa saja yang menjadi Tergugat sekaligus menentukan di Pengadilan mana gugatan itu akan diajukan maka hal itu merupakan bagian dari persona standi dari gugatan ini.
Untuk lebih meyakinkan lagi sebaiknya dicheck lebih dulu apakah antara Penggugat dengan para Tergugat jumlah dan alamatnya sama sebagaimana yang telah tertuang dalam surat kuasa (khusus). Bila tidak sama maka dapat membuat pihak Tergugat kemungkinan untuk mengajukan eksepsi atas kekurangan ini.
Dalam menuliskan data-data baik dari penggugat maupun dari Tergugat maka baik data-data seperti nama, pekerjaan dan alamatnya serta kapasitas sebagai Tergugat harus jelas benar. Apakah Tergugat digugat dalam kapasitas pribadi atau personafikasi dari suatu badan hukum. Atau dapat pula digugat dalam kapasitas sebagai pribadi dan badan hukumnya sekaligus.
VI. Posita Gugatan
Dalam penyusunan posita dalam praktek dapat diklasifikasikan ada 3 macam model yang sering dipakai.
Model pertama, bila data-data atau bukti-bukti yang akan digunakan memang sudah lengkap, dan hubungan hukum dianatara para pihak memang sudah jelas maka pada bagian posita gugatan akan disusun sedemikian rupa dari masalah yang luas menjadi menyempit seperti kerucut. Sehingga setiap orang akan mudah memahami bila gugatan tersebut adalah merupakan gugatan wan prestasi atau perbuatan melawan hukum. Disamping itu runtutan peristiwa hukum telah disusun dengan baik. Penyusunan model demikian akan nampak jelas mudah dipahami karena peristiwa-peristiwa hukum (rechtfeits) yang merupakan dalil-dalil yang didukung bukti-bukti yang dikemukakan seluruhnya. Dari peristiwa-peristiwa hukum yang disusun jelas nampak kapan tergugat wan prestasi atau kapan tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. Penyusunan dengan cara ini akan lebih sempurna bila gugatannya dibuat dengan memperhatikan syarat formil dan materiil suatu gugatan.
Model kedua, dalam penyusunan gugatan maka peristiwa hukum-pertistiwa hukum yang diajukan hanya merupakan dalil-dalil yang hanya didukung oleh sebagian bukti-bukti yang dimiliki. Sedang sebagian bukti lainnya diajukan dapat tahap berikutnya setelah ada Jawaban dari tergugat.Biasanya model yang demikian dipakai bila kuasa hukumnya sendiri belum begitu yakin akan bukti-bukti yang dimiliki kliennya. Namun bisa juga karena ada hubungan hukum tertentu dari peristiwa hukum yang diajukan masih samar-samar. Oleh karena itu biasanya pada tahap Replik baru sebagian lagi bukti-buktinya diajukan. Strategi ini biasanya dipakai juga bila kliennya hanya memiliki sebagai bukti-bukti saja sedang sebagian lain ada di tangan tergugat. Atau dengan perkataan lain hanya memiliki sebagian bukti saja sedang sebagian lagi biasanya hanya foto copinya saja karena aslinya berada di tangan tergugat atau pihak lain.
Model ketiga, bila klienya hanya memiliki sebagian kecil bukti saja maka penyusunan positanya biasanya merupakan dalil-dalil pernyataan yang sifatnya memancing. Namun karena disusun seolah juga mempunyai bukti, sehingga biasanya lawan akan terpancing dan memberikan tanggapannya dalam Jawaban dan lebih mempertegas lagi dalam Dupliknya . Kadangkala ada juga pengacara yang begitu mudah terpancing sehingga dia dalam menyusun Jawabannya akan membuat dalil penjelasan yang berikut bukti-buktinya tanpa menyadari bila hal itu adalah strategi lawannya.
Namun sering pula dalam praktek kuasa hukum lawan tidak mau terpancing, terutama pengacara senior. Bahkan pada waktu pembuktian dia akan menyatakan akan menyakan bukti aslinya pada kliennya lebih dulu bila lawannya menyatakan buktinya ada pada kliennya. Sehingga pada sidang berikutnya pasti akan menyatakan bukti asli tidak ada pada kliennya.
Hal-hal lain yang harus diperhatikan dalam membuat posita maka setelah peristiwa-peristiwa disusun tentunya ada tjuan yang hendak dicapai dalam pengajuan gugatan tersebut yaitu sita jaminan (conservatoir beslag). Permohonan sita jaminan sebagai jaminan agar gugatan tersebut tidak menjadi sia-sia belaka harus diajukan bersama-sama dalam gugatan. Kadang-kadang walau telah diajukan dalam posita gugatan juga diajukan lagi dalam permohonan tersendiri. Apabila kita melihat adanya indikasi si tergugat berusaha mengalihkan harta kekayaannya kepada piohak lain guna menghindari tanggung jawab dari gugatan ini maka permohonan sita jaminan dapat diajukan pada saat berkas masih berada dalam kewenangan Ketua Pengadilan ( berkas belum dibagi). Disamping itu permohonan sita jaminan dapat diajukan pada saat di periksa Mejelis hakim dan biasanya dikabulkan atau tidak setelah melalaui proses pembuktian. Dalam bagian posita setidak-tidaknya dimasukkan pula alasan-alasan permohonan putusan serta merta akan diajukan, uraian mengenai dwangsom, perincian ganti rugi matriil dan immateriil dalam gugatan gantirugi atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan tergugat serta hal-hal ini disesuaikan dengan kasus-kasus yang dihadapi.
VII. Petitum Gugatan
Apabila kita membuat petitum dalam suatau gugatan maka dalil-dalil yang akan dituntut dalam petitum harus diuraikan lebih dulu dalam bagian posita, baru dapat dimntaakan dalan bagian petitumnya. Jadi kalau tidak pernah diuraikan terlebih dulu alasan-alasan hukumnya pada bagian posita maka hal itu tak dapat dituntut dan diajukan pada bagian petitumnya. Secara standar yang dimuat pertama kali pada petitum dalam perkara wan prestasi adalah klausul :
âMengabulkan gugatan Penggugat seluruhnyaâ;
âMenyatakan secara hukum Tergugat telah cidera janji â
âMenyatakan batal demi hukum atau menyatakan sah demi hukum perjanjianâŚ..â
âMenyatakan secara hukum para tergugat secara tanggung renteng membayar ganti rugiâŚ..â
Bila ada persengketaan bezitrecht maka klausulnya adalah â Menghukum Tergugat/para Tergugat atau siapapun yang memperoleh dari Tergugat untuk menyerahkan sebidang tanah dan bangunan aquo kepada Penggugat dalam keadaan kosong dan baikâ.
âMenyatakan sah dan berharga sita jaminan yang telah dilakukanâ.
âMenghukum Tergugat/para Tergugat untum membayar dwangsom sebesarâŚâŚâ.
âdan seterusnya sesuai dengan masalahnya.
â Biaya perkara menurut hokum.
Kemudian kebanyakan ditambah pula petitum subsidairnya dengan klausul,
â A t a u, bila Mejelis berpandangan lain mohon diberikan putusan seadil-adilnya berdasarkan Ketuhanan YMEâ.
Sedangkan kalau gugatan itu merupakan gugatan melawan hukum maka petitum yang diajukan adalah ;
âMengabulkan gugatan Penggugat seluruhnyaâ.
âMenyatakan bahwa Tergugat/para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukumâ
âMenghukum Tergugat/para Tergugat untuk membayar ganti rugi (secara tanggung renteng) secara tunai kepada Penggugat meliputi,
- Ganti rugi materiil sebesarâŚâŚ..
- Ganti rugi immateril sebesarâŚ
âMenyatakan sah dan berharga sita jaminan yang telah dilakukanâ
âMenghukum Tergugat/para Tergugat membayar dwangsom sebesarâŚ.â
â.Biaya perkara menurut hukumâ
Dapat pula dimasukkan permohonan subsidair atau ex aquo et bono
Untuk lebih jelasnnya dapat dilihat pada contoh-contoh model terlampir
Ref.No.:___/IHP/DN-YAS/III/99 Jakarta, __Maret 1999
Kepada Yth,
Bapak Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
di Jakarta
Hal:Gugatan Wanprestasi
Dengan hormat,
Dani Indrawan, SH dan, Eva Rahayu SH., Penasehat Hukum di INDRAWAN, HEISKY & PARTNERS, beralamat di Gedung Arthaloka Lantai 15, Jalan Jenderal Asudirman Kav. 2, Jakarta 10220, berdsarkan Surat Kuasa Khusus No. _____ tanggal _________, bertindak untuk dan atas nama PT. BANK UNIVERSAL Tbk., berkantor pusat di ___________ , yang dalam hal ini diwakili oleh _________ selaku ________, berlamat di ____________, selanjutnya disebut sebagai âPenggugatâ.
Penggugat bersama ini mengajukan gugatan terhadap :
1. PT. Berkatama Raya Finance, beralamat di Jl. Abdul Muis No. 6-8-10, Jakarta 10160 dan Kompleks Harmoni Plaza Blok K 4-5, Jl. Suryo Pranoto 2, Jakarta, selanjutnya disebut âTergugat Iâ.
2. Saderah Susantadiredja, berlamat di Jalan Tomang Rawa Kepa Utama No. 22 Rt 003/013, Kel. Tomang, Kec. Grogol Petamburan, Jakarta Barat 11440, selanjutnya disebut sebagai âTergugat IIâ.
Adapun alasan-alasan yang menjadi dasar gugatan adalah sebagai berikut:
1. Bahwa Tergugat II , semula adalah Direktur Utama dari Tergugat I, yang bergerak di bidang pembiayaan yang menjalankan kegiatan usaha antara lain berupa pemberian kredit dengan cara cicilan/angsuran untuk pembelian kendaraan kepada nasabah bank dalam keadaan baru atau bekas pakai, merek-merek tertentu kepada nasabahnya dengan cara pembiayaan angsuran dalam pemberian kredit untuk membiayai tagihan debitur kepada Supplier (factoring) yang dibuat berdasarkan kontrak atau perjanjian lainnya.
2. Bahwa Tergugat II dalam mengajukan permohonan-permohonan dalam proposal mengenai kegiatan usahanya tersebut untuk meyakinkan Penggugat sebagai pihak Bank yang membantu kegiatan usaha Tergugat tersebut yaitu memberikan fasilitas kredit berupa pinjaman uang kepada debitur/tergugat untuk membiayai piutang yang timbul dari kontrak yang disetujui.
3. Bahwa Tergugat I melalui Tergugat II dalam beberapa kali presentasi begitu meyakinkan, apalagi Tergugat disamping sebagai Direksi Perusahaan tersebut bersama-sama dengan pemegang saham lainnya menjamin usaha tersebut dengan jaminan harta kekayaan pribadinya masing-masing [vide P.1].
4. Bahwa karena prospek usaha PT. Berkatama Raya Finance nampak baik pada waktu itu dan ada jaminan yang diberikan tersebut di atas, maka Penggugat dan Tergugat I yang diwakili oleh Tergugat II sepakat mengikatkan dirinya untuk terikat dalam kontrak Perjanjian Kredit No. 316/ABF/STR/XII/96 sebesar Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar Rupiah) tanggal 13 Desember 1996 yang telah disahkan oleh Notaris H. Parlindungan Lumban Tobing, SH., dibawah No. 5726/MONO (âPerjanjian Kreditâ)[vide P.2] dan Perjanjian Pengalihan Hak (cessie) Tagihan tanggal 13 Desember 1996 yang telah disahkan oleh Notaris H. Parlindungan Lumban Tobing, SH., dibawah No. 5727/MONO [vide P.3].
5. Bahwa semenjak Perjanjian Kredit ditandatangani, maka terlihat kegiatan usaha Perusahaan berkembang baik dan bahkan usaha Tergugat I menunjukkan terdapat banyak peningkatan jumlah nasabahnya, oleh karena itu maka Perusahaan memerlukan tambahan biaya lagi.
Bahwa karena hal tersebut di atas, maka pada tahun 1997 berturut-turut Penggugat mengucurkan dana lagi kepada Tergugat I yaitu sebagai berikut :
5.1 Perubahan Perjanjian Kredit (penambahan plafond) No. 028/ABF/STR/III/97 tanggal 17 Maret 1997 (âPerubahan Iâ), dimana plafond kreditnya ditambah Rp. 5. 000.000.000,- (lima milyar Rupiah) lagi sehingga jumlah kredit yang diterima Tergugat setelah Perubahan I menjadi sebesar Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar Rupiah); [vide P.4]
5.2 Perubahan Perjanjian Kredit (penambahan plafond) No. 073/ABF/STR/VI/97 tanggal 30 April 1997 (âPerubahan IIâ), dimana plafond kreditnya ditambah Rp. 5.000.000.000,- (lima milayar Rupiah) lagi sehingga jumlah kredit yang diterima Tergugat setelah Perubahan II menjadi sebesar Rp. 15.000.000.000,- (lima belas milyar Rupiah);[videP.5]
5.3 Perubahan Perjanjian Kredit (penambahan plafond) No. 122/ABF/STR/VII/97 tanggal 9 Juli 1997 (âPerubahan IIIâ), dimana plafond kreditnya ditambah Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar Rupiah) lagi sehingga jumlah kredit yang diterima Tergugat setelah Perubahan III menjadi sebesar Rp. 17.000.000.000,- (tujuh belas milyar Rupiah).[vide P.6]
6. Bahwa sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam Perjanjian Kredit pada butir 7.7 telah disepakati sebagai berikut :
âDebitur tidak diperkenankan, tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Bank, (i) mengubah struktur permodalan atau dengan cara bagaimanapun mengubah atau mengijinkaan agar akta pendirian atau anggran dasarnya diubah, kecuali meningkatkaan modal dasarnya yang diambil daari laba yang ditahan atau penempatan modal baru oleh pemegang saham, (ii) mengijinkan, mengganti atau mengubah susunan pemegang saham, (iii) mengubah atau mengganti atau mengganti susunan anggota Direksi, DewanKomisaris atau staff
inti, akan tetapi jika perubahan atau penggantian tersebut disebabkan karena
pensiun, mengundurkan diri atau meninggal dunia, hal mana tidak mengakibatkaan pelanggaran terhadap ayat ini jika kekososngan tersebut diisi dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak terjadinya kekososngan tersebut dengan orang yang disetujui oleh bank, kecuali untuk menyesuaikan dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
7. Bahwa Para Tergugat kemudian secara diam-diam merubah anggaran dasar Perseroan tanpa seijin tertulis dari Penggugat pada tanggal 15 Juli 1998; tindakan Para Tergugat ini jelas bertentangan dengan butir 7.7 Perjanjian Kredit [vide P.2].
8. Bahwa karena Perjanjian Kredit tersebut telah disepakati antara Penggugat dengan Tergugat yang waktu itu berkapasitas sebagai pihak yang mewakili Perusahaan, karenanya sesuai dengan Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Perjanjian Kredit tersebut harus ditaati oleh kedua pihak. Oleh karena itu tindakan perubahan anggaran dasar tanpa ada persetujuan tertulis dari Penggugat adalah batal demi hukum.
9. Bahwa kemudian diketahui setelah pengalihan Dewan Direksi tersebut dimaksudkan agar Tergugat II tidak bertanggung jawab lagi akan Perjanjian Kredit, segala perubahan-perubahan Perjanjian Kredit, dan Perjanjian Pengalihan Hak (cessie) Tagihan [vide P.2 s/d P.6]) dengan Penggugat atau dengan perkataan lain merupakan usaha Tergugat II dengan itikad buruk untuk mengalihkan tanggung jawabnya kepada pihak lain.
10. Bahwa ternyata setelah dilakukan pemeriksaan keuangan oleh Penggugat ternyata dana-dana kredit yang telah Penggugat berikan tidak dapat dipertanggungjawabkan lagi oleh Tergugat II yang pada waktu itu berkapasitas sebagai Direktur Utama dari Tergugat I, karena nampak berusaha untuk mengalihkan tanggung jawabnya pada pihak lain.
11. Bahwa setelah Penggugat berkali-kali menghubungi Para Tergugat untuk menyelesaikan tanggung jawab pengembalian kredit tersebut, ternyata tidak ada tanggapan yang baik dari Tergugat I dan Tergugat II untuk menyelesaikannya.
12. Bahwa Penggugat pada tanggal 28 Agustus 1998 mendapat surat pemberitahuan dari 2 (dua) orang pemegang saham Perusahaan yang pada pokoknya menyatakan bila Tergugat II adalah penanggung jawab dalam Perusahaan [vide P.7].
13. Bahwa wajar bila Penggugat dalam hal ini hanya menuntut tanggung jawab Tergugat II karena dalam penandatanganan Perjanjian Kredit, segala perubahan-perubahan Perjanjian Kredit, dan Perjanjian Pengalihan Hak (cessie) Tagihan [vide P.2 s/d P.6]) dilakukan oleh Tergugat II, demikian pula pengelolaan uang dari tanggal 13 Desember 1996 sampai dengan tanggal 10 Juni 1998 berada dalam tanggung jawab Tergugat II, sedangkan gugatan terhadap pengurus atau pemegang saham lain akan dilakukan dalam gugatan tersendiri.
14. Bahwa dengan demikian dalam penandatanganan Perjanjian Kredit tersebut maupun pengelolaan keuangan pada waktu itu berada dalam tanggung jawab Tergugat II dan telah terbukti bahwa Tergugat II telah lalai dalam menjalankan kewajibannya, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 85 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, Tergugat II dapat dituntut untuk bertanggung jawab penuh secara pribadi.
15. Bahwa kerugian akibat kredit macet yang diderita Penggugat per tanggal ________________ dengan perincian sebagai berikut:
ď .
ď .
ď .
16. Bahwa karena adanya jaminan pribadi dari Tergugat II [vide P.1] dan dengan adanya surat dari pemegang saham lainnya [vide P.7] dimana pengurusan dari pengelolaan pinjaman kredit pada waktu itu berada ditangan Tergugat II, maka secara hukum baik Tergugat I mauapun Tergugat II bertanggung jawab secara tanggung renteng.
17. Bahwa untuk menjamin agar gugatan ini tidak sia-sia dan guna menghindari usaha tergugat untuk mengalihkan hartanya pada pihak lain, maka Penggugat mohon agar dapat dilakukan sita jaminan terhadap:
17.1 Sebidang tanah dan bangunan__________(milik Tergugat I);
17.2 Sebidang tanah dan bangunan terletak di Jl. Tomang Rawa Kepa Utama Rt 003/013 No. 22, Kel. Tomang, Kec. Grogol Petamburan, Jakarta Barat 11440 yang terdaftar di Kantor Pertanahan Jakarta Barat atas nama Tergugat II;
17.2 Sebidang tanah dan bangunan terletak di Jl. Rawa Kepa Raya No. 3, Kel. Tomang, Kec. Grogol Petamburan, Jakarta barat 11440 yang terdaftar di Kantor Pertanahan Jakarta Barat atas nama Tergugat II.
18. Bahwa karena gugatan ini didudkung oleh bukti-bukti yang otentik, maka Penggugat mohon agar putusan perkara ini dapat dijalankan lebih dulu walau ada banding, kasasi maupun verzet (iut voerbaar bij voorraad).
19. Bahwa wajar pula bila Penggugat membebankan adanya uang paksa / dwangsom yang harus dibayar Tergugat bila lalai dalam melaksanakan putusan ini yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap yaitu sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta) per hari.
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas maka Tergugat dengan segala kerendahan hati mohon agar Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berkenan untuk memutuskan sebagai berikut :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya;
2. Menyatakan Tergugat telah melakukan wanprestasi;
3. Menyatakan secara hukum Tergugat sebagai salah satu pemegang saham yang turut bertanggung jawab secara pribadi atas Perjanjian Kredit (berikut segala perubahannya dan perjanjian yang terkait [vide P.2âP.6]) yang dibuat antara Perusahaan dengan Penggugat;
4. Menghukum Tergugat untuk membeyar ganti rugi sebesar Rp. _________ kepada Penggugat secara tunai;
5. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang telah dilakukan;
6. Menyatakan putusan ini dapat dijalankan lebih dulu walau ada banding, kasasi, damupun verzet (iut voerbaar bij voorraad);
7. Menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta Rupiah) perhari bila lalai dalam melaksanakan putusan ini, terhitung sejak tanggal putusan ini sampai dengan tanggal dilunasinya seluruh hutangnya;
8. Biaya perkara menurut hukum
Atau bila Pengadilan berpendapat lain, mohon diberikan putusan yang seadil-adilnya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Hormat kami,
Kuasa Hukum Penggugat
INDRAWAN, HEISKY & PARTNERS
Dani Indrawan, SH., Eva Rahayu, SHAnonymoushttp://www.blogger.com/profile/13505667582003710930noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8550374304110771050.post-78720470425593790912011-09-24T05:01:00.001-07:002011-09-24T05:01:24.787-07:00contoh surat kuasa khususSURAT KUASA KHUSUS
Yang bertanda tangan dibawah ini;
Nama : Ir. Mus Jaya bin Hasim
Umur : 32 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : S-1/ Strata 1
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jalan Parameswara No. 143 Rt. 13 Kelurahan Bukit Lama, Palembang.
Dalam hal ini memilih domisili hukum di kantor Advokat Rahmattullah, SH dan Rekan di Jl. Jend. Sudirman No. 612 Palembang. Menerangkan bahwa dengan ini memberi kuasa penuh kepada:
Rahmattullah, SH.
Yang akan bertindak untuk dan atas nama serta mewakili kepentingan hukum Pemberi
Kuasa.
--------------------------------------------------KH US US ------------------------------------------------
Untuk mengurus dan membela kepentingan hukum Pemberi Kuasa sebagai Pemohon melawan Mindarsih S.Pd, Umur 29 tahun, Agama Islam, Pendidikan S-1/ Strata 1, Pekerjaan Guru, Alamat Jalan Demang Lebar Daun No.14 Palembang Sebagai termohon. Dalam permohonan ikrar talak, hak asuh anak dan pembagian harta bersama Pemohon Termohon. Dan untuk mengajukan Permohonan ini ke Pengadilan Agama Palembang.
Dan selanjutnya Penerima Kuasa;
-
Dapat mewakili didepan dan menghadap dihadapan Pejabat/Instansi-instansi, jawatan- jawatan, pejabat-pejabat, pembesar-pembesar, hakim-hakim Pengadilan Agama, menghadiri semua persidangan di Pengadilan Agama,
-
Dapat memberikan keterangan secara lisan/tertulis, mengajukan serta menandatangani segala surat-surat, permohonan/pengaduan/gugatan, bantahan, perlawanan, jawaban- jawaban, kesimpulan, memori-memori, akta, berita acara, mengajukan dan meminta didengar saksi-saksi dan lain-lain alat bukti, menyangkal saksi lawan dan menolak pembuktian lainnya, meminta menjalankan segala keputusan/penetapan Hakim, membalas segala perlawanan atas segala hal yang merugikan. Dan pada pokoknya Penerima Kuasa diberikan hak penuh untuk mengerjakan segala sesuatu yang dianggap perlu untuk mempertahankan kepentingan hukum Pemberi Kuasa berkenaan dengan permasalahan tersebut diatas sesuai dengan peraturan perundang yang berlaku. Dapat mempergunak an kuasa ini dalam tingka Kembali. Diberikan hak untuk melimpahkan kuasa ini (substitusi) kepada orang lain baik seluruh maupun sebagian dalam hal tertentu dan menarik kembali kuasa ini. Penerima Kuasa, Rahmattullah, SH. dengan permasalahan tersebut diatas sesuai dengan peraturan p erundang Dapat mempergunakan kuasa ini dalam tingkat Banding, Kasa si, dan Peninjauan Diberikan hak untuk melimpahkan kuasa ini (substitusi) kepa da orang lain baik seluruh maupun sebag ian dalam hal tertentu dan menarik kembali kuasa ini.
Penerima kuasa Palembang, 5 Desember 2008
Pemberi Kuasa,
Ir. Mus Jaya bi n Hasim
Rahmatulah sh
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/13505667582003710930noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8550374304110771050.post-85761069981592231822011-09-24T05:00:00.002-07:002011-09-24T05:00:23.715-07:00hukum adat<h1 class="firstHeading" id="firstHeading">
Hukum adat</h1>
<b>Hukum adat</b> adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Asia" title="Asia">Asia</a> lainnya seperti <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Jepang" title="Jepang">Jepang</a>, <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/India" title="India">India</a>, dan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Tiongkok" title="Tiongkok">Tiongkok</a>. Hukum adat adalah hukum asli bangsa <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia" title="Indonesia">Indonesia</a>. Sumbernya adalah peraturan-peraturan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum" title="Hukum">hukum</a>
tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan
kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak
tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan
menyesuaikan diri dan elastis. Selain itu dikenal pula masyarakat hukum
adat yaitu sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya
sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat
tinggal ataupun atas dasar keturunan.<br />
<table class="toc" id="toc">
<tbody>
<tr>
<td>
<div id="toctitle">
<h2>
Daftar isi</h2>
<span class="toctoggle">[<a class="internal" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat#" id="togglelink">sembunyikan</a>]</span></div>
<ul>
<li class="toclevel-1 tocsection-1"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat#Terminologi"><span class="tocnumber">1</span> <span class="toctext">Terminologi</span></a></li>
<li class="toclevel-1 tocsection-2"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat#Perdebatan_istilah_Hukum_Adat"><span class="tocnumber">2</span> <span class="toctext">Perdebatan istilah Hukum Adat</span></a></li>
<li class="toclevel-1 tocsection-3"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat#Perdebatan_Definisi_Hukum_Adat"><span class="tocnumber">3</span> <span class="toctext">Perdebatan Definisi Hukum Adat</span></a></li>
<li class="toclevel-1 tocsection-4"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat#Definisi_Hukum_Adat"><span class="tocnumber">4</span> <span class="toctext">Definisi Hukum Adat</span></a>
<ul>
<li class="toclevel-2 tocsection-5"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat#Prof._Mr._Cornelis_van_Vollenhoven"><span class="tocnumber">4.1</span> <span class="toctext">Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven</span></a></li>
<li class="toclevel-2 tocsection-6"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat#Ter_Haar"><span class="tocnumber">4.2</span> <span class="toctext">Ter Haar</span></a></li>
</ul>
</li>
<li class="toclevel-1 tocsection-7"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat#Lingkungan_Hukum_Adat"><span class="tocnumber">5</span> <span class="toctext">Lingkungan Hukum Adat</span></a>
<ul>
<li class="toclevel-2 tocsection-8"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat#Penegak_hukum_adat"><span class="tocnumber">5.1</span> <span class="toctext">Penegak hukum adat</span></a></li>
<li class="toclevel-2 tocsection-9"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat#Aneka_Hukum_Adat"><span class="tocnumber">5.2</span> <span class="toctext">Aneka Hukum Adat</span></a></li>
<li class="toclevel-2 tocsection-10"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat#Pengakuan_Adat_oleh_Hukum_Formal"><span class="tocnumber">5.3</span> <span class="toctext">Pengakuan Adat oleh Hukum Formal</span></a></li>
</ul>
</li>
<li class="toclevel-1 tocsection-11"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat#Referensi"><span class="tocnumber">6</span> <span class="toctext">Referensi</span></a></li>
<li class="toclevel-1 tocsection-12"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat#Daftar_Pustaka"><span class="tocnumber">7</span> <span class="toctext">Daftar Pustaka</span></a></li>
</ul>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<h2>
<span class="editsection"></span><span class="mw-headline" id="Terminologi">Terminologi</span></h2>
Ada dua pendapat mengenai asal kata <i>adat</i> ini. Disatu pihak ada yang menyatakan bahwa <i>adat</i> diambil dari bahasa <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Arab" title="Arab">Arab</a> yang berarti <i>kebiasaan</i>. Sedangkan menurut <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Amura&action=edit&redlink=1" title="Amura (halaman belum tersedia)">Prof. Amura</a>, istilah ini berasal dari bahasa <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Sansekerta" title="Sansekerta">Sansekerta</a> karena menurutnya istilah ini telah dipergunakan oleh orang <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Minangkabau" title="Minangkabau">Minangkabau</a> kurang lebih 2000 tahun yang lalu. Menurutnya <i>adat</i> berasal dari dua kata, <i>a</i> dan <i>dato</i>. A berarti tidak dan dato berarti sesuatu yang bersifat kebendaan.<br />
<h2>
<span class="editsection"></span> <span class="mw-headline" id="Perdebatan_istilah_Hukum_Adat">Perdebatan istilah Hukum Adat</span></h2>
Hukum Adat dikemukakan pertama kali oleh <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Snouck_Hurgrounje&action=edit&redlink=1" title="Snouck Hurgrounje (halaman belum tersedia)">Prof. Snouck Hurgrounje</a> seorang Ahli Sastra Timur dari <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Belanda" title="Belanda">Belanda</a> (<a href="http://id.wikipedia.org/wiki/1894" title="1894">1894</a>). Sebelum istilah Hukum Adat berkembang, dulu dikenal istilah <i>Adat Recht</i>. <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Snouck_Hurgrounje&action=edit&redlink=1" title="Snouck Hurgrounje (halaman belum tersedia)">Prof. Snouck Hurgrounje</a> dalam bukunya <i>de atjehers</i> (Aceh) pada tahun <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/1893" title="1893">1893</a>-<a href="http://id.wikipedia.org/wiki/1894" title="1894">1894</a> menyatakan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum" title="Hukum">hukum</a> rakyat <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia" title="Indonesia">Indonesia</a> yang tidak dikodifikasi adalah <i>de atjehers</i>.<br />
Kemudian istilah ini dipergunakan pula oleh <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Cornelis_van_Vollenhoven" title="Cornelis van Vollenhoven">Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven</a>, seorang Sarjana Sastra yang juga Sarjana Hukum yang pula menjabat sebagai Guru Besar pada <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Universitas_Leiden" title="Universitas Leiden">Universitas Leiden</a> di <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Belanda" title="Belanda">Belanda</a>. Ia memuat istilah <i>Adat Recht</i> dalam bukunya yang berjudul <i>Adat Recht van Nederlandsch Indie</i> (Hukum Adat Hindia Belanda) pada tahun <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/1901" title="1901">1901</a>-<a href="http://id.wikipedia.org/wiki/1933" title="1933">1933</a>.<br />
Perundang-undangan di <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hindia_Belanda" title="Hindia Belanda">Hindia Belanda</a> secara resmi mempergunakan istilah ini pada tahun <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/1929" title="1929">1929</a> dalam <i>Indische Staatsregeling</i> (Peraturan Hukum Negeri <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Belanda" title="Belanda">Belanda</a>), semacam <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Undang_Undang_Dasar&action=edit&redlink=1" title="Undang Undang Dasar (halaman belum tersedia)">Undang Undang Dasar</a> <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hindia_Belanda" title="Hindia Belanda">Hindia Belanda</a>, pada pasal 134 ayat (2) yang berlaku pada tahun <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/1929" title="1929">1929</a>.<br />
Dalam masyarakat <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia" title="Indonesia">Indonesia</a>, istilah <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum" title="Hukum">hukum</a> adat tidak dikenal adanya. <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Hilman_Hadikusuma&action=edit&redlink=1" title="Hilman Hadikusuma (halaman belum tersedia)">Hilman Hadikusuma</a> mengatakan bahwa <i>istilah tersebut hanyalah istilah teknis saja.</i> Dikatakan demikian karena istilah tersebut hanya tumbuh dan dikembangkan oleh para ahli <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum" title="Hukum">hukum</a> dalam rangka mengkaji <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum" title="Hukum">hukum</a> yang berlaku dalam masyarakat <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia" title="Indonesia">Indonesia</a> yang kemudian dikembangkan ke dalam suatu sistem keilmuan.<br />
Dalam bahasa <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Inggris" title="Inggris">Inggris</a> dikenal juga istilah <i>Adat Law</i>, namun perkembangan yang ada di <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia" title="Indonesia">Indonesia</a> sendiri hanya dikenal istilah <b>Adat</b> saja, untuk menyebutkan sebuah sistem hukum yang dalam dunia ilmiah dikatakan Hukum Adat.<br />
Pendapat ini diperkuat dengan pendapat dari <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Muhammad_Rasyid_Maggis&action=edit&redlink=1" title="Muhammad Rasyid Maggis (halaman belum tersedia)">Muhammad Rasyid Maggis Dato Radjoe Penghoeloe</a> sebagaimana dikutif oleh <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Amura&action=edit&redlink=1" title="Amura (halaman belum tersedia)">Prof. Amura</a> : <i>sebagai
lanjutan kesempuranaan hidupm selama kemakmuran berlebih-lebihan karena
penduduk sedikit bimbang dengan kekayaan alam yang berlimpah ruah,
sampailah manusia kepada adat</i>.<br />
Sedangkan pendapat <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Nasroen&action=edit&redlink=1" title="Nasroen (halaman belum tersedia)">Prof. Nasroe</a> menyatakan bahwa adat <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Minangkabau" title="Minangkabau">Minangkabau</a> telah dimiliki oleh mereka sebelum bangsa Hindu datang ke <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia" title="Indonesia">Indonesia</a> dalam abad ke satu tahun masehi.<br />
<a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Mohammad_Koesnoe&action=edit&redlink=1" title="Mohammad Koesnoe (halaman belum tersedia)">Prof. Dr. Mohammad Koesnoe, S.H.</a> di dalam bukunya mengatakan bahwa istilah Hukum Adat telah dipergunakan seorang Ulama <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Aceh" title="Aceh">Aceh</a><sup class="reference" id="cite_ref-0"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat#cite_note-0">[1]</a></sup> yang bernama <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Syekh_Jalaluddin&action=edit&redlink=1" title="Syekh Jalaluddin (halaman belum tersedia)">Syekh Jalaluddin bin Syekh Muhammad Kamaluddin Tursani</a> (Aceh Besar) pada tahun 1630.<sup class="reference" id="cite_ref-1"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat#cite_note-1">[2]</a></sup> <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=A._Hasymi&action=edit&redlink=1" title="A. Hasymi (halaman belum tersedia)">Prof. A. Hasymi</a>
menyatakan bahwa buku tersebut (karangan Syekh Jalaluddin) merupakan
buku yang mempunyai suatu nilai tinggi dalam bidang hukum yang baik.<br />
<h2>
<span class="editsection"></span> <span class="mw-headline" id="Perdebatan_Definisi_Hukum_Adat">Perdebatan Definisi Hukum Adat</span></h2>
Menurut <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kamus_Besar_Bahasa_Indonesia" title="Kamus Besar Bahasa Indonesia">Kamus Besar Bahasa Indonesia</a>,
adat adalah aturan (perbuatan dsb) yg lazim diturut atau dilakukan
sejak dahulu kala; cara (kelakuan dsb) yg sudah menjadi kebiasaan; wujud
gagasan kebudayaan yg terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum,
dan aturan yg satu dng lainnya berkaitan menjadi suatu sistem. Karena
istilah Adat yang telah diserap kedalam Bahasa Indonesia menjadi
kebiasaan maka istilah hukum adat dapat disamakan dengan <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Hukum_kebiasaan&action=edit&redlink=1" title="Hukum kebiasaan (halaman belum tersedia)">hukum kebiasaan</a>.<sup class="reference" id="cite_ref-2"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat#cite_note-2">[3]</a></sup><br />
Namun menurut <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Van_Dijk&action=edit&redlink=1" title="Van Dijk (halaman belum tersedia)">Van Dijk</a>, kurang tepat bila hukum adat diartikan sebagai <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Hukum_kebiasaan&action=edit&redlink=1" title="Hukum kebiasaan (halaman belum tersedia)">hukum kebiasaan</a>.<sup class="reference" id="cite_ref-3"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat#cite_note-3">[4]</a></sup> Menurutnya <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Hukum_kebiasaan&action=edit&redlink=1" title="Hukum kebiasaan (halaman belum tersedia)">hukum kebiasaan</a>
adalah kompleks peraturan hukum yang timbul karena kebiasaan berarti
demikian lamanya orang bisa bertingkah laku menurut suatu cara tertentu
sehingga lahir suatu peraturan yang diterima dan juga diinginkan oleh
masyarakat. Jadi, menurut <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Van_Dijk&action=edit&redlink=1" title="Van Dijk (halaman belum tersedia)">Van Dijk</a>, hukum adat dan <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Hukum_kebiasaan&action=edit&redlink=1" title="Hukum kebiasaan (halaman belum tersedia)">hukum kebiasaan</a> itu memiliki perbedaan.<br />
Sedangkan menurut <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Soejono_Soekanto&action=edit&redlink=1" title="Soejono Soekanto (halaman belum tersedia)">Soejono Soekanto</a>, hukum adat hakikatnya merupakan hukum kebiasaan, namun kebiasaan yang mempunyai akhibat hukum (<i>das sein das sollen</i>).<sup class="reference" id="cite_ref-4"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat#cite_note-4">[5]</a></sup>
Berbeda dengan kebiasaan (dalam arti biasa), kebiasaan yang merupakan
penerapan dari hukum adat adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan
berulang-ulang dalam bentuk yang sama menuju kepada <i>Rechtsvaardige Ordening Der Semenleving</i>.<br />
Menurut <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Ter_Haar&action=edit&redlink=1" title="Ter Haar (halaman belum tersedia)">Ter Haar</a> yang terkenal dengan teorinya <i>Beslissingenleer</i> (teori keputusan)<sup class="reference" id="cite_ref-5"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat#cite_note-5">[6]</a></sup>
mengungkapkan bahwa hukum adat mencakup seluruh peraturan-peraturan
yang menjelma didalam keputusan-keputusan para pejabat hukum yang
mempunyai kewibawaan dan pengaruh, serta didalam pelaksanaannya berlaku
secara serta merta dan dipatuhi dengan sepenuh hati oleh mereka yang
diatur oleh keputusan tersebut. Keputusan tersebut dapat berupa sebuah
persengketaan, akan tetapi juga diambil berdasarkan kerukunan dan
musyawarah. Dalam tulisannya <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Ter_Haar&action=edit&redlink=1" title="Ter Haar (halaman belum tersedia)">Ter Haar</a> juga menyatakan bahwa hukum adat dapat timbul dari keputusan warga masyarakat.<br />
<a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Syekh_Jalaluddin&action=edit&redlink=1" title="Syekh Jalaluddin (halaman belum tersedia)">Syekh Jalaluddin</a><sup class="reference" id="cite_ref-6"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat#cite_note-6">[7]</a></sup>
menjelaskan bahwa hukum adat pertama-tama merupakan persambungan tali
antara dulu dengan kemudian, pada pihak adanya atau tiadanya yang
dilihat dari hal yang dilakukan berulang-ulang. Hukum adat tidak
terletak pada peristiwa tersebut melainkan pada apa yang tidak tertulis
dibelakang peristiwa tersebut, sedang yang tidak tertulis itu adalah
ketentuan keharusan yang berada dibelakang fakta-fakta yang menuntuk
bertautnya suatu peristiwa dengan peristiwa lain.<br />
<h2>
<span class="editsection"></span> <span class="mw-headline" id="Definisi_Hukum_Adat">Definisi Hukum Adat</span></h2>
<h3>
<span class="editsection"></span> <span class="mw-headline" id="Prof._Mr._Cornelis_van_Vollenhoven"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Cornelis_van_Vollenhoven" title="Cornelis van Vollenhoven">Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven</a></span></h3>
Menurut <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Cornelis_van_Vollenhoven" title="Cornelis van Vollenhoven">Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven</a>, hukum adat adalah <i>keseluruhan
aturan tingkah laku positif yang disatu pihak mempunyai sanksi (hukum)
dan dipihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasi (adat).</i> Tingkah
laku positif memiliki makna hukum yang dinyatakan berlaku disini dan
sekarang. Sedangkan sanksi yang dimaksud adalah reaksi (konsekuensi)
dari pihak lain atas suatu pelanggaran terhadap norma (hukum). Sedang
kodifikasi dapat berarti sebagai berikut.<br />
<ul>
<li>menurut <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kamus_Besar_Bahasa_Indonesia" title="Kamus Besar Bahasa Indonesia">Kamus Besar Bahasa Indonesia</a>
kodifikasi berarti himpunan berbagai peraturan menjadi undang-undang;
atau hal penyusunan kitab perundang-undangan; atau penggolongan hukum
dan undang-undang berdasarkan asas-asas tertentu dl buku undang-undang
yg baku.</li>
<li>menurut <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Djojodigoeno&action=edit&redlink=1" title="Djojodigoeno (halaman belum tersedia)">Prof. Djojodigoeno</a> kodifikasi adalah pembukuan secara sistematis suatu daerah / lapangan bidang <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum" title="Hukum">hukum</a>
tertentu sebagai kesatuan secara bulat (semua bagian diatur), lengkap
(diatur segala unsurnya) dan tuntas (diatur semua soal yang mungkin
terjadi).</li>
</ul>
<h3>
<span class="editsection"></span> <span class="mw-headline" id="Ter_Haar">Ter Haar</span></h3>
<a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Ter_Haar&action=edit&redlink=1" title="Ter Haar (halaman belum tersedia)">Ter Haar</a> membuat dua perumusan yang menunjukkan perubahan pendapatnya tentang apa yang dinamakan hukum adat.<br />
<ul>
<li>Hukum adat lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan warga
masyarakat hukum adat, terutama keputusan yang berwibawa dari
kepala-kepala rakyat (kepala adat) yang membantu pelaksanaan-pelaksanaan
perbuatan-perbuatan hukum, atau dalam hal pertentangan kepentingan
keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang
keputusan-keputusan tersebut karena kesewenangan atau kurang pengertian
tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, melainkan senafas dan
seirama dengan kesadaran tersebut, diterima, diakui atau setidaknya
tidak-tidaknya ditoleransi.<sup class="reference" id="cite_ref-7"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat#cite_note-7">[8]</a></sup></li>
<li>Hukum adat yang berlaku tersebut hanya dapat diketahui dan dilihat
dalam bentuk keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (kekuasaan
tidak terbatas pada dua kekuasaan saja, eksekutif dan yudikatif)
tersebut. Keputusan tersebut tidah hanya keputusan mengenai suatu
sengketa yang resmi tetapi juga diluar itu didasarkan pada musyawarah
(kerukunan). Keputusan ini diambil berdasarkan nilai-nilai yang hidup
sesuai dengan alam rohani dan hidup kemasyarakatan anggota-anggota
persekutuan tersebut.<sup class="reference" id="cite_ref-8"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat#cite_note-8">[9]</a></sup></li>
</ul>
<br />
<h2>
<span class="editsection"></span> <span class="mw-headline" id="Lingkungan_Hukum_Adat">Lingkungan Hukum Adat</span></h2>
<a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Cornelis_van_Vollenhoven" title="Cornelis van Vollenhoven">Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven</a> membagi <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia" title="Indonesia">Indonesia</a> menjadi 19 lingkungan hukum adat (<i>rechtsringen</i>). Satu daerah yang garis-garis besar, corak dan sifat hukum adatnya seragam disebutnya sebagai <i>rechtskring</i>. Setiap lingkungan hukum adat tersebut dibagi lagi dalam beberapa bagian yang disebut <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kukuban_Hukum&action=edit&redlink=1" title="Kukuban Hukum (halaman belum tersedia)">Kukuban Hukum</a> (<i>Rechtsgouw</i>). Lingkungan hukum adat tersebut adalah sebagai berikut.<br />
<ol>
<li>Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Semeuleu)</li>
<li>Tanah Gayo, Alas dan Batak
<ol>
<li>Tanah Gayo (Gayo lueus)</li>
<li>Tanah Alas</li>
<li>Tanah Batak (Tapanuli)
<ol>
<li>Tapanuli Utara; Batak Pakpak (Barus), Batak karo, Batak Simelungun, Batak Toba (Samosir, Balige, Laguboti, Lumbun Julu)</li>
<li>Tapanuli Selatan; Padang Lawas (Tano Sepanjang), Angkola, Mandailing (Sayurmatinggi)</li>
<li>Nias (Nias Selatan)</li>
</ol>
</li>
</ol>
</li>
<li>Tanah Minangkabau (Padang, Agam, Tanah Datar, Limapuluh Kota, tanah Kampar, Kerinci)</li>
<li>Mentawai (Orang Pagai)</li>
<li>Sumatera Selatan
<ol>
<li>Bengkulu (Renjang)</li>
<li>Lampung (Abung, Paminggir, Pubian, Rebang, Gedingtataan, Tulang Bawang)</li>
<li>Palembang (Anak lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasemah, Semendo)</li>
<li>Jambi (Batin dan Penghulu)</li>
<li>Enggano</li>
</ol>
</li>
<li>Tanah Melayu (Lingga-Riau, Indragiri, Sumatera Timur, Orang Banjar)</li>
<li>Bangka dan Belitung</li>
<li>kalimantan (Dayak Kalimantan Barat, Kapuas, Hulu, Pasir, Dayak,
Kenya, Dayak Klemanten, Dayak Landak, Dayak Tayan, Dayak Lawangan, Lepo
Alim, Lepo Timei, Long Glatt, Dayat Maanyan, Dayak Maanyan Siung, Dayak
Ngaju, Dayak Ot Danum, Dayak Penyambung Punan)</li>
<li>Gorontalo (Bolaang Mongondow, Boalemo)</li>
<li>Tanah Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree, Toraja Barat,
Sigi, Kaili, Tawali, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kep. Banggai)</li>
<li>Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar, Makasar, Selayar, Muna)</li>
<li>Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Tobelo, Kep. Sula)</li>
<li>Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Banda, Kep. Uliasar, Saparua, Buru, Seram, Kep. Kei, Kep. Aru, Kisar)</li>
<li>Irian</li>
<li>Kep. Timor (Kepulauan Timor, Timor, Timor Tengah, Mollo, Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada, Roti, Sayu Bima)</li>
<li>Bali dan Lombok (Bali Tanganan-Pagrisingan, Kastala, Karrang Asem, Buleleng, Jembrana, Lombok, Sumbawa)</li>
<li>Jawa Pusat, Jawa Timur serta Madura (Jawa Pusat, Kedu, Purworejo, Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, Madura)</li>
<li>Daerah Kerajaan (Surakarta, Yogyakarta)</li>
<li>Jawa Barat (Priangan, Sunda, Jakarta, Banten)<sup class="reference" id="cite_ref-9"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat#cite_note-9">[10]</a></sup></li>
</ol>
<h3>
<span class="editsection"></span> <span class="mw-headline" id="Penegak_hukum_adat">Penegak hukum adat</span></h3>
Penegak hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat
disegani dan besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk
menjaga keutuhan hidup sejahtera.<br />
<h3>
<span class="editsection"></span> <span class="mw-headline" id="Aneka_Hukum_Adat">Aneka Hukum Adat</span></h3>
Hukum Adat berbeda di tiap daerah karena pengaruh<br />
<ol>
<li>Agama : Hindu, Budha, Islam, Kristen dan sebagainya. Misalnya : di
Pulau Jawa dan Bali dipengaruhi agama Hindu, Di Aceh dipengaruhi Agama
Islam, Di Ambon dan Maluku dipengaruhi agama Kristen.</li>
<li>Kerajaan seperti antara lain: Sriwijaya, Airlangga, Majapahit.</li>
<li>Masuknya bangsa-bangsa Arab, China, Eropa.</li>
</ol>
<h3>
<span class="editsection"></span> <span class="mw-headline" id="Pengakuan_Adat_oleh_Hukum_Formal">Pengakuan Adat oleh Hukum Formal</span></h3>
Mengenai persoalan penegak <b>hukum adat</b> Indonesia, ini memang sangat <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Prinsipil&action=edit&redlink=1" title="Prinsipil (halaman belum tersedia)">prinsipil</a>
karena adat merupakan salah satu cermin bagi bangsa, adat merupkan
identitas bagi bangsa, dan identitas bagi tiap daerah. Dalam kasus sala
satu adat <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Suku_Nuaulu&action=edit&redlink=1" title="Suku Nuaulu (halaman belum tersedia)">suku Nuaulu</a> yang terletak di daerah <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Maluku" title="Maluku">Maluku</a>
Tengah, ini butuh kajian adat yang sangat mendetail lagi, persoalan
kemudian adalah pada saat ritual adat suku tersebut, dimana proses adat
itu membutuhkan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kepala" title="Kepala">kepala</a> manusia sebagai alat atau prangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut. Dalam penjatuhan pidana oleh sala satu Hakim pada <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Perngadilan_Negeri&action=edit&redlink=1" title="Perngadilan Negeri (halaman belum tersedia)">Perngadilan Negeri</a> Masohi di Maluku Tengah, ini pada penjatuhan hukuman mati, sementara dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman <b>Nomor 4 tahun 2004. dalam Pasal 28</b>
hakim harus melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam
menjatuhan putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat
setempat.<br />
Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/24_Juni" title="24 Juni">24 Juni</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/1999" title="1999">1999</a>,
telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah
Hak <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Ulayat&action=edit&redlink=1" title="Ulayat (halaman belum tersedia)">Ulayat</a> Masyarakat Hukum Adat.<br />
Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan
dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta
langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Tanah_ulayat" title="Tanah ulayat">tanah ulayat</a>.<br />
Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan
terhadap "hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum
adat" sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. Kebijaksanaan tersebut
meliputi :<br />
<ol>
<li>Penyamaan persepsi mengenai "hak ulayat" (Pasal 1)</li>
<li>Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).</li>
<li>Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)</li>
</ol>
Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum,
dimana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam
prakteknya (deskritif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat
untuk mengelola ketertiban di lingkungannya.<br />
Di tinjau secara preskripsi (dimana hukum adat dijadikan landasan
dalam menetapkan keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi,
diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya. Beberapa contoh
terkait adalah UU dibidang agraria No.5 / 1960 yang mengakui keberadaan
hukum adat dalam kepemilikan tanah.<br />
<h2>
<span class="editsection"></span> <span class="mw-headline" id="Referensi">Referensi</span></h2>
<div class="references-small references-column-count references-column-count-2" style="-moz-column-count: 2; -webkit-column-count: 2; column-count: 2; list-style-type: decimal;">
<ol class="references">
<li id="cite_note-0"><b><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat#cite_ref-0">^</a></b> <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Mohammad_Koesnoe&action=edit&redlink=1" title="Mohammad Koesnoe (halaman belum tersedia)">Prof. Dr. Mohammad Koesnoe, S.H.</a> Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum</li>
<li id="cite_note-1"><b><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat#cite_ref-1">^</a></b> <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Syekh_Jalaluddin&action=edit&redlink=1" title="Syekh Jalaluddin (halaman belum tersedia)">Syekh Jalaluddin bin Syekh Muhammad Kamaluddin Tursani</a>. <i>Safinatul Hukaam Fi Tahlisil Khasam</i> (Bahtera Segala Hakim dalam Menyelesaikan Segala Orang Berkesumat/Bersengketa)</li>
<li id="cite_note-2"><b><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat#cite_ref-2">^</a></b> H. Noor Ipansyah Jastan, S.H. dan Indah Ramadhansyah. <i>Hukum Adat</i>. Hal. 15.</li>
<li id="cite_note-3"><b><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat#cite_ref-3">^</a></b> .</li>
<li id="cite_note-4"><b><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat#cite_ref-4">^</a></b> .</li>
<li id="cite_note-5"><b><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat#cite_ref-5">^</a></b> .</li>
<li id="cite_note-6"><b><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat#cite_ref-6">^</a></b> <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Syekh_Jalaluddin&action=edit&redlink=1" title="Syekh Jalaluddin (halaman belum tersedia)">Syekh Jalaluddin</a>. <i>Safinatul Hukam fi Tahlisil Khasam</i></li>
<li id="cite_note-7"><b><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat#cite_ref-7">^</a></b> <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Ter_Haar&action=edit&redlink=1" title="Ter Haar (halaman belum tersedia)">Ter Haar</a>. <i>Peradilan Lanraad berdasarkan Hukum Tak Tertulis</i>. Dalam pidato Dies Natalies. 1930.</li>
<li id="cite_note-8"><b><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat#cite_ref-8">^</a></b> <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Ter_Haar&action=edit&redlink=1" title="Ter Haar (halaman belum tersedia)">Ter Haar</a>. <i>Hukum
Adat Hindia Belanda didalam Ilmu, praktek dan pengajaran Hukum Adat itu
dengan mengabaikan bagian-bagiannya yang tertulis dan keseluruhan
peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan fungsionaris hukum
yang mempunyai wibawa serta pengaruh dan dalam pelaksanaannya berlaku
serta merta dan dipatuhi sepenuh hati</i>. Dalam orasi. 1937.</li>
<li id="cite_note-9"><b><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat#cite_ref-9">^</a></b> H. Noor Ipansyah Jastan, S.H. dan Indah Ramadhansyah. <i>Hukum Adat</i>. Hal. 76-78. (disadur dari <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Cornelis_van_Vollenhoven" title="Cornelis van Vollenhoven">Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven</a>)</li>
</ol>
</div>
<h2>
<span class="editsection"></span> <span class="mw-headline" id="Daftar_Pustaka">Daftar Pustaka</span></h2>
<ul>
<li>Pengantar Hukum Adat Indonesia Edisi II, TARSITO, Bandung.</li>
<li>Hilman H, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju,Bandung.</li>
<li>Mahadi, 1991, Uraian Singkat Tentang Hukum Adat, Alumni, Bandung.</li>
<li>Moh. Koesnoe, 1979, Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga University Press.</li>
<li>Seminar Hukum Nasional VII, Jakarta, 12 s/d 15 Oktober 1999. Djaren Saragih, 1984</li>
<li>Soerjo W, 1984, Pengantardan Asas-asas Hukum Adat, P.T. Gunung Agung.</li>
<li>Soemardi Dedi, SH. Pengantar Hukum Indonesia, IND-HILL-CO Jakarta.</li>
<li>Soekamto Soerjono, Prof, SH, MA, Purbocaroko Purnadi, Perihal Kaedah Hukum, Citra Aditya Bakti PT, Bandung 1993</li>
<li>Djamali Abdoel R, SH, Pengantar hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada PT, Jakarta 1993.</li>
<li>Tim Dosen UI, Buku A Pengantar hukum Indonesia</li>
</ul>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/13505667582003710930noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8550374304110771050.post-16499860050417899542011-09-24T05:00:00.001-07:002011-09-24T05:23:17.624-07:00Cara Menyusun Surat Gugatan Perdata Di Peradilan Di Negara IndonesiaCara Menyusun Surat Gugatan Perdata Di Peradilan Di Negara Indonesia
Pendahuluan
- Setiap orang yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang dianggap merugikan lewat pengadilan.
- Gugatan dapat diajukan secara lisan (ps 118 ayat 1 HIR 142 ayat 1) atau tertulis (ps 120 HIR 144 ayat 1 Rbg) dan bila perlu dapat minta bantuan Ketua Pengadilan Negeri
- Gugatan itu harus diajukan oleh yang berkepentingan
- Tuntutan hak di dalam gugatan harus merupakan tuntutan hak yang ada kepentingan hukumnya, yang dapat dikabulkan apabila kabenarannya dapat dibuktikan dalam sidang pemeriksaan
- Mengenai persyaratan tentang isi daripada gugatan tidak ada ketentuannya, tetapi kita dapat melihat dalam Rv Psl 8 No.3 yang mengharuskan adanya pokok gugatan yang meliputi :
1) Identitas dari pada para pihak
2) Dalil-dalil konkret tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan daripada tuntutan. Dalil-dalil ini lebih dikenal dengan istilah fundamentum petendi
3) Tuntutan atau petitum ini harus jelas dan tegas. HIR dan Rbg sendiri hanya mengatur mengenai cara mengajukan gugatan
Identitas Para Pihak
Yang dimaksud dengan identitas adalah cirri-ciri daripada penggugat dan tergugat ialah nama, pekerjaan, tempat tinggal.
Fundamentum Petendi
Fundamentum petendi adalah dalil-dalil posita konkret tentang adanya hubungan yang merupakan dasar serta ulasan daripada tuntutan
1. Fundamentum petendi ini terdiri dari dua bagian :
a. Bagian yang menguraikan tentang kejadian atau peristiwa (feitelijke gronden) dan
b. Bagian yang menguraikan tentang dasar hukumnya (rechtgronden)
2. Uraian tentang kejadian merupakan penjelasan duduknya perkara tetang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yurudis daripada tuntutan
3. Mengenai uraian yuridis tersebut tidak berarti harus menyebutkan peraturan-peraturan hukum yang dijadikan dasar tuntutan melainkan cukup hak atau peristiwa yang harus dibuktikan di dalam persidangan nanti sebagai dasar dari tuntutan, yang member gambaran tentang kejadian materiil yang merupakan dasar tuntutan itu
4. Mengenai seberapa jauh harus dicantumkannya perincian tentang peristiwa yang dijadikan dasar tuntutan ada bebarapa pendapat :
a. Menurut Subtantieringstheori, tidak cukup disebutkan hukum yang menjadi dasar tuntutan saja, tetapi harus disebutkan pula kejadian-kejadian yang nyata yang mendahului peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan itu, dan menjadi sebab timulnya peristiwa hukum tersebut misalnya ; bagi penggugat yang menuntut miliknya, selain menyebutkan bahwa sebagai pemilik, ia juga harus menyebutkan asal-asul pemilik itu.
b. Menurut individualiseringtheori sudah cukup dengan disebutkannya kajadian-kejadian yang dicantumkan dalam gugatan yang sudah dapat menunjukan adanya hubungan hukum yang menjadi dasar tuntutan. Dasar atau sejarah terjadinya hubungan tersebut tidak perlu dijelaskan, karena hal tersebut dapat dikemukakan didalam sidang-sidang yang akan datang dengan disertai pembuktian.
c. Menurut putusan Mhkamah agung sudah cukup dengan disebutkannya perumusan kejadian materiil secara singkat.
Petitum atau Tuntutan
1. Petitum atau Tuntutan adalah apa yang dimintakan atau diharapkan penggugat agar diputuskan oleh hakim. Jadi tuntutan itu akan terjawab didalam amar atau diktum putusan. Oleh karenanya petitum harus dirumuskan secara jelas dan tegas
2. Tuntutan yang tidak jelas atau tidak sempurna dapat barakibat tidak diterimanya tuntutan tersebut. Demikian pula gugatan yang berisi pernyataan-pernyataan yang bertentangan satu sama lain disebut abscuur libel ( guagatan yang tidak jelas dan tidak dapat dijawab dengan mudah oleh pihak oleh pihak tergugat sehungga menyebabkan ditolaknya gugatan) berakibat tidak diterimanya gugatan tersebut.
3. Sebuah tuntutan dapat dibagi 3 (tiga) ialah :
a. Tuntutan primer atau tuntutan pokok yang langsung berhubungan dengan pokok perkara.
b. Tuntutan tambahan, bukan tuntutan pokok tetapi masih ada hubungannya dengan pokok perkara.
c. Tuntutan subsidiair atau pengganti.
4. Meskipun tidak selalu tapi seringkali di samping tuntutan pokok masih diajukan tuntutan tamabahan yang merupakan pelengkap daripada tuntutan pokok.
5. Biasanya sebagai tututan tambahan berwujud :
a. Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar biaya perkara.
b. Tuntutan âuivoerbaar bij voorraadâ yaitu tuntutan agar putusan dapat dilaksanakan lebih dulu meskipun ada perlawanan, banding atau kasasi. Didalam praktik permohonan uivoerbaar bij voorraad sering dikabulkan. Namun demikian Mahkamah Agung mengintruksikan agar hakim jangan secara mudah memberikan putusan uivoerbaar bij voorraad.
c. Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar bunga (moratoir) apabila tuntutan yang demikian oleh penggugat berupa sejumlah uang tertentu.
d. Tuntutan agar tergugat dihukum untuk mambayar uang paksa (dwangsom), apabila hukuman itu tidak berupa pembayaran sejumlah uang selama ia tidak memenuhi isi putusan
e. Dalam hal gugat cerai sering disertai juga dengan tuntutan nafka bagi istri atau pembagian harta.
6. Mengenai tuntutan subsidiair selalu diajukan sebagai pengganti apabila hakim berpendapat lain. Biasanya tuntutan subsidiair itu berbunyi â agar hakim mengadili menurut keadilan yang benarâ atau â mohon putusan yang seadil-adilnyaâ (aequo et bono)
Jadi tujuan daripada tuntutan subsidiair adalah agar apabila tuntutan primer ditolak masih ada kemungkinan dikabulkannya gugatan yang didasarkan atas kebebesan hakim serta keadilan.
7. Didalam berpekara di Pengadilan kita mengenal gugatan biasa/ pada umumnya dan gugatan yang bersifat referte.
8. Sebuah gugatan dapat dicabut selama putusan pengadilan belum dijatuhkan dengan catatan :
a. Apabila gugatan belum sampai dijawab oleh tergugat, maka penggugat dapat langsung mengajukan pencabutan gugatan.
b. Apabila pihak tergugat sudah memberikan jawaban maka pencabutan gugatan dapat dilaksanakan apabila ada persetujuan dari tergugat.
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/13505667582003710930noreply@blogger.com0